Cluster Casablanca, Sentul City, Bogor - Jawa Barat - 16810 | Hotline: 0813-1112-5384 (Call/SMS/WA)

06 November 2025

 Pendidikan & Akal Manusia           

Bagi Ibnu Khaldun, ide pemikiran manusia harus mengarah pada kemaslahatan bersama, bukan sekadar memuaskan ego atau naluri dasarnya. Dalam hal ini, Imam Al-Ghazali mengatakan, "Kalaulah tidak karena pendidikan, maka manusia itu seperti bahā’im (binatang ternak)." Ini adalah kritik tajam terhadap sifat dasar manusia yang tanpa pendidikan akan kembali pada naluri hewani—hidup hanya untuk memenuhi hawa nafsu, tanpa rasa malu dan tanpa arah moral.

#ulilamrisyafri

Ali Abdul Halim Mahmud, ulama tersohor al-Azhar Mesir, pernah menulis topik penting tentang ‘pendidikan akal’. Pendidikan akal yang dimaksud adalah mengarahkan, menghargai, membebaskan, atau memerdekaan akal dari penyimpangan, serta menjaganya dari hilangnya kemuliaan. Pendidikan akal manusia dilakukan agar bisa menuju pada derajat yang terbaik (ahsanul mustawa).

Lebih jelas disampaikan Ali Abdul Halim Mahmud bahwa pendidikan akal memiliki tujuan, antara lain membiasakan akal berkembang dan mendapatkan pencerahan, mengokohkan akal berpikir secara saintis, hingga tidak dipenuhinya pikiran dengan khurafat dan hawa nafsu; kemudian membebaskan akal tapi juga merawatnya, seperti adanya ruang bagi akal untuk berijtihad, menolak taklid buta, dimubahkan melakukan kritik, bahkan juga mubah untuk berbeda pendapat. Ini semua berfungsi untuk menghargai akal tersebut, sekaligus menegaskan posisi akal dalam kehidupan dan memberi ruang pada akal untuk bermusyawarah pada perselisihan. Hal itu semua menjadi bagian dari proses pendididikan untuk akal. Berbeda dengan pandangan filsuf Barat seperti Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa "manusia adalah serigala bagi manusia lainnya" (homo homini lupus), Ibnu Khaldun justru memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi luhur. Naluri memang ada, bahkan tak jarang manusia berperilaku seperti binatang—membunuh, menyakiti, dan merusak. Namun, manusia diberikan akal sebagai penuntun untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Di sinilah pendidikan memainkan peran krusial. Pendidikan membimbing manusia untuk mengendalikan nafsu dan memaksimalkan potensi berpikirnya. Ini ada kemiripan dengan teori Plato (w. 347 SM) yang mengatakan bahwa rasio bertugas mengendalikan roh dan nafsu agar ketiganya selaras. Dengan demikian, argumen Ibnu Khaldun dan Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa manusia bukan sekadar makhluk berpikir seperti yang diyakini René Descartes, melainkan makhluk yang memiliki akal, yang kecerdasannya diproses melalui pendidikan, agar mencapai martabat yang sebenarnya.

#ulilamrisyafri



0 komentar:

Post a Comment