Cluster Casablanca, Sentul City, Bogor - Jawa Barat - 16810 | Hotline: 0813-1112-5384 (Call/SMS/WA)

30 October 2021

PERSIS BANGIL

Tujuan awal dari ide pendirian pesantren A. Hassan adalah untuk menyediakan tenaga muballigh yang memiliki kompetensi penyiaran Islam, serta membela dan mempertahankan ajaran Islam di tengah masyarakat. Tentu saja apa yang digariskan ustadz A. Hassan itu sangat berkait dengan alam yang sedang dihadapai umat Islam ketika itu.
Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, para santri dibekali skill untuk menjadi guru. Dalam hal ini, M.Natsir-lah yang banyak memberi bahan ajar tentang ilmu-ilmu keguruan ketika pesantren masih di Bandung.
Corak Pesantren mengikuti arah pikiran dan gaya A. Hassan yang memang terkenal sebagai pemikir keislaman yang merdeka, ia kerap kali menghidupkan cara dialog dan debat untuk menyampaikan beberapa pemikirannya kepada masyarakat khusus sebelum kemerdekaan.

Hanya saja sangat disayangkan, tak lama setelah penjajah Jepang masuk Indonesia, banyak sekolahan partikelir yang harus ditutup, termasuk Persis Bangil. Pesantren ini baru dibuka kembali pada tahun 1951 oleh A. Hassan. Namun tepat tujuh tahun setelah dibuka, A. Hassan meninggal dunia diusia 71 tahun dan dimakamkan di pekuburan umum Segok Bangil.

Letak Pesantren Persis Bangil berdekatan dengan Pesantren Cangaan, salah satu pondok pesantren tua nan klasik yang terkenal itu. Jika melihat kehidupan sosial budaya yang berkembang di Bangil hingga saat ini, ditambah banyaknya ragam Pesantren yang ada dimana Pesantren Persis Bangil juga ikut tumbuh dan berkembang bersama, maka Pesantren milik A. Hassan ini sudah terbiasa dengan keragaman dan perbedaan yang amat mencolok sekalipun.

Dalam buku “Ulama Pendiri, Penggerak dan Intelektual NU dari Jombang”, nama A. Hassan disebut sebelum beliau menetap di Bandung pernah bersilaturrahim dan bertemu dengan KH. Wahab Habullah rahimahullah (1888-1971), salah satu kader terbaik dari Hadratusy syakh KH. Hasyim Asy’ari rahimahullah (1871-1947) dan juga tokoh penting dalam proses pendirian organisasi Nahdlatul Ulama (1926). 

baca selengkapnya Pendidikan Bukan_Bukan  Dr. Ulil Amri Syafri




21 October 2021

Selamat Hari Santri Indonesia 2021- Resolusi Jihad dan KH. M. Hasyim Asy’ari.

Banyak yang mengenal KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh dan ulama karismatik yang pernah dimiliki Indonesia. Beliau sosok penting di balik pendirian gerakan keagamaan dan kemasyarakatan kaum santri dan Kiai yang dikenal dengan nama Nadhatul Ulama (1926).
Tak hanya oleh kalangan para kaum cerdik pandai, para kiai, dan para santri, sosok Sang Kiai pun dihormati secara kenegaraan. Di jajaran pemerintahan, pengormatan itu dilakukan dengan penyematan gelar Pahlawan Nasional kepada Sang Kiai melalui keppres no 249/1964 yang diterbitkan oleh Presiden RI pertama Sukarno.
Dalam sejarah, melalui inisiatif Sang Kiai mengumpulkan para kiai di Jawa dan Madura guna membahas persoalan bangsa yang amat genting, yang kesemuanya undangan itu tergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Dari pertemuan itu hingga keluarlah fatwa sang Sang Kiai yang dikenal sebagai “Resolusi Jihad”. Fatwa tersebut bisa dimaknai sebagai maklumat dan kebijakan berbasis teks-teks serta kajian mendalam keagamaan yang pada akhirnya sangat menentukan langkah-langkah perjuangan Indonesia ketika itu yang mayoritas muslim.
Poin-poin revolusi Jihad 20 Oktober 1945 dari Sang Kiai yang sangat terkenal itu antara lain:
1. Kemerdekaaan Indonesia yang di proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan, 2. Republik Indonesia satu-satunya pemerintahan yang sah wajib dipertahankan,
3. Musuh RI utamanya Belanda yang datang membawa sekutu tentu akan menjajah lagi,
4. Umat Islam—utamanya warga NU—wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan sekutu,
5. Kewajiban tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban setiap orang muslim (fardhu ‘ain) 
yang berada dalam jarak radius 94 KM. sementara bagi mereka yang berada diluar jarak tersebut berkewajiban membantu saudaranya yang berada dalam jarrah 94 KM.

Dari musyawarah tersebut, setidaknya ada beberapa fatwa dari Sang Kiai yang dikeluarkan berkenaan dengan perhatian beliau kepada kebangsaan dan anti terhadap penjajah Belanda, yaitu:
1. perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan umat Islam Indonesia;
2. kaum muslimin diharamkan melakukan perjalanan ke Hajji mengunakan kapal penjajah Belanda;
3. kaum muslimin diharamkam memakai dasi dan atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah. 

Dari sekilas kisah di atas, Sang Kiai hadir laksana pelita untuk bumi Nusantara. Perjalanan hidup beliau sebagai ulama amat dihormati oleh semua lapisan anak negeri. Tentu saja kisah tersebut hanya bagian kecil dari goresan indah dan perjuangan heroik seorang kiai kharismatik. Maka, semangat dan kiprah Sang Kiai insyaAllah bisa menjadi referensi baik untuk perjuangan keagamaan dan sekaligus kebangsaannya.

Silakan baca selengkapnya di Pendidikan Bukan-Bukan. Dr, Ulil Amri Syafri, Lc., MA
Pendidikan Bukan-Bukan

09 October 2021

Surau Roboh, tapi Pesantren Kokoh, kenepa?

 

#Pendidikan Bukan-bukan


Sejak awal kemunculannya, surau tak mudah terhempas oleh tekanan kolonial Belanda dan gaya sekolah sekuler mereka. Namun, surau justru malah dihempaskan oleh gerakan perubahan dari saudara sendiri, yaitu geliat modernisasi pendidikan Islam.  

Namun demikian, apa yang terjadi saat itu bisa dipahami karena memang kebijakan kolonial Belanda yang kurang menguntungkan terhadap perkembangan pendidikan Islam di bumi Nusantara secara umum, dan di Minangkabau secara khusus, walaupun gagasan dan gerakan pembaruan itu berdampak besar pada peran dan fungsi surau yang bersifat kultural. Wallahu a’lam

baca selengkapnya di Pendidikan Bukan-Bukan, Dr. #UlilAmriSyafri,MA

Karismatik Sang Kiai Tak Lekang oleh Waktu

Dalam satu buku yang mengulas ketokohan Sang Kiai Hasyim Asy’ari, disebutkan oleh Muhammad Rifai, penulisnya, bahwa Sang Kiai merupakan seorang ‘pembaru’. Meski tidak dijelaskan secara spesifik, namun dapat dipahami bahwa makna ‘pembaru’ yang disematkan pada diri Sang Kiai adalah terkait hal pembaruan dalam pendidikan. Disebutkan dalam tulisan itu bahwa Sang Kiai telah membuat pembaruan dalam sistem pendidikan di Pesantren Tebu Ireng dengan memasukan ilmu-ilmu sekuler ke kurikulum pesantren.[1]

Pendapat itu mungkin tidak memiliki tendensi buruk, bahwa Sang Kiai juga berpikiran maju dalam mengelola dan mengembangkan lembaga pendidikan pesantren saat itu. Namun, jika kita ikuti kultur dan budaya pembaruan yang umum berlaku di Nusantara sejak awal abad ke-20, maka terasa kurang tepat bila beliau dianggap sebagai tokoh ‘pembaru’, baik dalam gagasan sistem pendidikan, apalagi dalam pemikiran keislaman.

Setidaknya ada dua alasan yang melatarbelakangi mengapa penyematan ‘pembaru’ itu terasa kurang tepat. Pertama, sosok Sang Kiai adalah khadimun al-‘ilmi, satu julukan yang beliau berikan sendiri pada dirinya saat menyelesaikan tulisannya. Artinya, dapat dimaknai bahwa beliau sangat mencintai tradisi keilmuan dan metodologi Islam dalam khazanah pengetahuan, khususnya yang bercorak klasik. Hal ini telah dibuktikan dalam fase-fase perjalanan proses thalabul ilmi Sang Kiai. Dalam persoalan fikih, akidah, dan tauhid, Sang Kiai juga merupakan sosok yang istikamah dalam merujuk pendapat atau qaul ulama-ulama sebelumnya. Oleh karena itu, penyebutan ‘pembaru’ kepada Sang Kiai tidaklah cocok. Sebab, tradisi merujuk pada pendapat para ulama dan imam mazhab bukanlah ciri yang dimiliki kalangan yang menyebut dirinya sebagai tokoh ‘pembaru’.

Tokoh pembaruan biasanya mengedepankan olah pikir, menggunakan logika pada persoalan agama, dan tidak mengutamakan rujukan yang berasal dari pendapat para ulama klasik, meskipun mereka berdalih menggunakan basis al-Qur’an dan Hadis juga.


Baca selengkapnya Pendidikan Bukan-Bukan. Dr. Ulil Amri Syafri, MA




[1]Muhammad Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: Garasi, 2020, hlm. 13.

07 October 2021

Amazing Natsir

 Satu kata yang terucap ketika membaca pemikiran dan melihat potret pendidikan ala PENDIS Natsir: Amazing! Ya, ibarat pembuat roti, produknya hadir dengan rasa spesial, rupa dan bentuknya pun belum pernah terlihat sebelumnya. Itulah PENDIS Natsir di Bandung tempo dulu.

Sekilas bisa saja orang akan menyamakan PENDIS dengan HIS Adabiyah Padang tempo dulu, dimana Natsir pernah belajar dan menjadi  murid di sekolahan yang didirikan Syaikh Abdullah Ahmad itu. Namun seperti yang sudah penulis jelaskan, ada perbedaan yang cukup signifikan diantara keduanya, serupa tapi tak sama. Pun demikian apa yang dilakukan Natsir dengan PENDIS-nya ditahun 1932-1942 akan bisa diceritakan dengan lebih indah oleh orang-orang yang ada di masanya.

Menurut penulis, masa kecil seorang Natsir sama seperti seperti kebanyakan anak Indonesia saat itu, miskin dan pas-pasan. Namun beliau terus tumbuh dan berkembang dengan semangat juangnya. Qadarullah, beasiswa Belanda--meskipun diskriminatif—telah membawa Natsir menjadi berbeda. Jalan hidupnya membawa warna tersendiri dalam rangkaian kisah tempo dulu para tokoh negeri ini yang terlahir kaya dan berkecukupan. Misalnya Sutan Syahrir kecil (1909-1966), Perdana Menteri Indonesia Pertama. Ia berasal dari keluarga kaya, sekolah dasarnya saja di kelas lebih mahal dan bayar sendiri, yaitu ELS, sekolah dasar untuk kelas anak-anak Eropa (Europeesche lagere School) bukan di HIS, Hollandsch Inlandsche School (sekolah dasar untuk anak pribumi berbahasa Belanda). Demikian pula sosok tokoh Ki Hajar Dewantara (1889-1959). Karena ia anak dari bangsawan Jawa, maka ia berhak menempuh pendidikan sekelas anak-anak Eropa dan bersekolah juga di ELS. Juga tokoh Bahder Djohan (1902-1981) yang kelak menjadi menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan di era Kabinet Natsir. Seorang Bahder Djohan bisa bersekolah di HIS Padang karena ia anak orang kaya dan ayahnya jaksa terpandang di Sumatra Barat saat itu. Kesemua jalan hidup para tokoh ini tentunya amat berbeda dengan Natsir yang bisa sekolah hingga AMS karena bergantung pada beasiswa karena prestasinya.

Natsir, meskipun sejak kecil tumbuh dengan segala keterbatasan, memiliki kecerdasan akal dan ruhani. Sikapnya kritis, peduli dengan penderitaan rakyat, dan memiliki nalarasasi yang baik, sehingga dengan bekal tersebut membawa Natsir muda mengawali karir kemasyarakatannya dengan berhidmat secara totalitas pada Pendidikan Islam yang dirancangnya. Natsir memang bukan produk sistem madrasah atau Diniyah School masa itu. Juga bukan menempuh jalan santri seperti KH. Hasyim Asy’ari (1871-1847) yang usianya jauh diatas Natsir. Pendidikan agama Natsir lebih banyak berupa pengajaran sikap beragama dari pada teori-teori ilmu agama. Namun demikian mulazamah beliau dengan Tuan Guru A. Hassan turut mempengaruhi cara pikir keagamaan dan cita-cita hidupnya, termasuk rancang bangun PENDIS.

Kegiatan kepemudaan masa di AMS juga membuat Natsir muda bertemu banyak tokoh besar termasuk dengan H. Agus Salim (1884-1954), H.O.S. Tjokroaminoto (1883-1934), dan lainnya. Hal ini juga yang menjadi bagian dari proses pendidikan dan pengajaran yang didapatnya. Artinya, pendidikan bagi Natsir tidak dihalangi oleh batas tembok dan dinding sekolahan, tapi alam ciptaan-Nya juga bisa menjadi guru berharga, termasuk orang-orang hebat yang ditemuinya.

Dengan berbagai latar belakang yang dilalui seorang Natsir, PENDIS menjelma menjadi pendidikan Islam yang punya kebaruan meski tidak berada dalam basis istilah tafaqquh fī al-dīn. Ia tidak bisa dimasukan dalam klasifikasi model pendidikan Islam masa itu. PENDIS bukanlah Diniyah School, bukan madrasah, bukan juga pesantren, apalagi surau. Lalu?, yang jelas PENDIS  bukan ‘pendidikan bukan-bukan’ Wallahu a’lam

(baca selengkapnya Pendidikan Bukan-Bukan Dr. Ulil Amri Syafri, MA)

Ahmad Hassan Sang Inspirator dari Melayu

Pesantren PERSIS Bangil berdiri pasca era perubahan dan pergolakan pendidikan Islam di Nusantara, khususnya di tanah Minangkabau. Hasil pergolakan tersebut telah menghasilkan model pendidikan kombinasi dengan desain kurikulum kombinasi. Meskipun PERSIS Bangil dinamai pesantren, tapi kurikulumnya sudah mengunakan kurikulum madrasah sejak awal berdirinya, sehingga bisa disebut pesantren kombinasi. Desain kurikulum ini juga berwujud di pesantren Tebu Ireng (1933) setelah KH. Wahid Hasyim, putra dari KH. Hasyim Asy’ari kembali dari Makkah. Namun perubahan tersebut tetap menjaga implementasi model belajar pesantren salafiyah berbasis kultur klasik.

Dibanding pesantren umumnya masa itu, pesantren ala A. Hassan ini memiliki ciri khas tersendiri pada proses pembelajarannya. Model berpikir merdeka dalam pembelajarannya menghasilkan proses riset mandiri yang melatih santri untuk melakukan implementasi berbagai macam keilmuan, seperti bahasa Arab, kaidah fikih, usul fikih, ilmu hadis, ilmu mantik, dan lainnya, menuju istimbath ahkam. Tentu saja cara pembelajaran seperti ini tidaklah mudah karena memerlukan nalarisasi dan sikap kritis yang tinggi, diikuti kecerdasan santri. Akan selalu ada nilai positif dan negatifnya, akan selalu tampak kelebihan dan kelemahannya.

Kelemahan yang dimaksud adalah bahwa tidak semua santri punya kesiapan dengan pola belajar seperti itu, sehingga outcome yang ada biasanya ‘jomplang’, antara mereka yang cerdas plus disiplin dengan pribadi santri yang sebaliknya. Bagi santri yang lulus tidak sesuai harapan, tentu saja tidak bisa hadir dalam masyarakat dengan kemampuan riset dan nalarisasi yang berkembang. Mereka cenderung stag seperti masa-masa nyantri dulu. Padahal konteks-konteks keagamaan yang terkait hukum Islam terus berkembang, apalagi berkenaan dengan hukum muamalah.

Ke depan, ada baiknya bila proses pengajaran yang unik dan luar biasa ala pesantren PERSIS Bangil ini mempertimbangkan dua hal berikut, pertama memperkaya bahan ajar dan obyek pembahasan yang bersifat komparasi pada sistem istimbath ahkam. Ini bisa dilakukan pada metode istimbath ahkam imam-imam fikih, khususnya imam mazhab yang empat. Hal ini bisa dilaksanakan di kelas akhir untuk memperluas wawasan dan sikap santri, khususnya pada pemahaman tentang metodologi hukum Islam. Kemudian dilakukan penataan secara disiplin pada ilmu-ilmu alat: bahasa Arab, ilmu usul fikih, ilmu mantik. Setidaknya mulai tahun ketiga atau keempat para santri sudah menguasai dan memahami ilmu-ilmu tersebut, sehingga proses integrasi pembelajarannya bisa meminimalkan hambatan-hambatan yang terkait penguasaan ilmu alat dan tentunya para santri akan lebih menikmati proses pembelajarannya.  

Kedua, karena metode dan proses pembelajaran tersebut sangat unik, maka perlu juga setiap tahunnnya diadakan evaluasi secara menyeluruh. Bagi santri yang kemampuannya di bawah standar, harus dicarikan solusi yang tepat terkait proses pembelajarannya, tanpa terbebani oleh metode tersebut. Tentu saja hal ini sebagai usaha assesment menyeluruh agar para santri bisa berhasil dengan maksimal. Kemudian pada tahun keempat, para santri bisa saja diklasifikasikan menjadi 3-4 kelompok belajar setelah dievaluasi oleh pihak pesantren. Sehingga pada ujian akhir tahun keenam berupa paper bisa lebih bervariasi dan sesuai minat para santri. Ibaratnya, pohon rambutan jangan dipaksa berbuah mangga, tapi diupayakan bisa menghasilkan buah rambutan yang berkualitas. 

Kini, setelah puluhan tahun tetap eksis sebagai bagian dari ikon pendidikan Islam di Indonesia, kebaruan apa saja yang bisa dihadirkan oleh pesantren ala Tuan Guru A. Hassan ke depan? Wallahu a’lam

(baca selengkapnya di Pendidikan Bukan-Bukan Dr. Ulil Amri Syafri, MA)

Pendidikan Bukan-bukan


Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari Pelita Nusantara

 

Pendidikan Bukan-Bukan
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari mendasari pemikiran pendidikannya pada orisinalitas keilmuan dan keulamaan sesuai dengan kultur Islam yang penuh kearifan. Praktek pendidikannya bersifat konstan, stabil atau tsabit berbasis masyarakat natural, dengan tetap menjaga narasi ahlu sunnah wal jamaah.

Praktek pendidikannya hampir tak memiliki pengaruh gaya pendidikan Belanda masa itu. Bisa dibilang, pemikiran Sang Kiai merupakan representatif kultur budaya pendidikan Islam klasik yang sangat apik dengan visi tafaqquh fī al-dīn.

Dengan pola konstan tersebut, kualitas pembelajaran dan hasil lulusannya sangat berbeda dengan pola yang selalu mengalami perubahan, apalagi dengan lembaga yang suka mengerdilkan pendidikan Islam, meskipun masih menyematkan istilah tafaqquh fī al-dīn pada lembaga pendidikan mereka.

Dalam hal ini, ada dua pemikiran pendidikan Sang Kiai yang amat istimewa. Pertama, konsep ilmu. Ilmu yang Sang Kiai maksud dalam proses pendidikannya adalah ilmu yang menjadikan para pelajar atau santrinya kelak menjadi ulama. Karena arahnya melahirkan ulama, maka proses yang dilalui calon ulama tersebut betul-betul meniti standar jalan orang-orang alim. Konsep inilah yang pada akhirnya membuahkan hasil yang sangat mulia hingga berwujud munculnya para kiai yang turun-temurun menghadirkan tempat tafaqquh fī al-dīn yang baik pula. Artinya, cita-cita Sang Kiai tampak rimbun, kokoh, kuat, dan berkarakter dalam bentuk pendidikan Islam yang khas.

Jika kita melongok pada era tersebut dan juga beberapa masa sebelumnya, tempat tafaqquh fī al-dīn yang ada betul-betul melahirkan ulama dengan sempurna, semisal guru-guru Sang Kiai itu sendiri atau ulama-ulama besar Nusantara tempo dulu seperti Imam Nawawi al-Bantani, dan lainnya. Mereka lahir menjadi ulama dalam arti yang ‘sesungguhnnya karena proses dan jalan yang dilaluinya adalah proses pendidikan yang tepat dengan meniti jalan yang tepat pula.

Kini, yang jadi problem adalah banyak para pelajar yang bermimpi dan bercita-cita menjadi ulama, tapi proses pembelajaran yang dilalui mereka tidak sesuai dengan konsep tafaqquh fī al-dīn, meskipun pemilik lembaga pendidikan tempat para pelajar itu menimba ilmu menamakan sekolahannya atau programnya dengan konsep tafaqquh fi aldin. Apalagi di era teknologi ini, bila tidak melakukan mujahadah yang tepat dan benar, meskipun bergelar S3, bisa jadi derajat keulamaannya masih amat jauh dari kenyataan. Hal ini bisa saja terjadi karena pemahaman dan penguasaan terhadap turats dan khazanah ilmu-ilmu naqliyah mereka sangat terbatas, namun mereka ‘dipaksa’ untuk terus berpikir dan melakukan penelitian ilmiah modern. Tentu saja ini berbeda dengan pendidikan Sang Kiai masa itu. Mereka tidak saja hapal ilmu-ilmu naqliyah, tapi juga disiplin dalam istimbath keilmuan, dan menjunjung tinggi sikap kehati-hatian dalam memutuskan suatu perkara.

Sang Kiai dengan gelar hadratussyaikh’-nya lahir dengan segala proses dan kedalaman ilmunya. Jadi bila ada program dan usaha ingin melahirkan ‘ulama sungguhan’, bisa bercermin pada pemikiran Sang Kiai baik filosofisnya, teoritisnya, konsep ilmu, juga proses pembelajaran dan seterusnya. Tentu saja melahirkan ulama sebagai usaha yang mulia tidak ringan. Seperti yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa penyebutan istilah ulama saat ini jangan terkesan merendahkan kualifikasi proses pendidikan dan keadaban ulama itu sendiri, tapi penyebutan dan penggunaan istilah itu juga harus be-ADAB. Apalagi ada istilah ‘ulama saintis’. Jangankan kualifikasi ulama yang benar, ditambah dengan embel-embel saintis jadinya bagai pungguk merindukan bulan.

Kedua, sakralisasi nilai adab. Sebagai bagian dari proses pendidikan dan pengajaran calon ulama, konsep sakralisasi adab dan akhlak dalam perspektif Sang Kiai adalah keniscayaan yang sangat tepat. Hal ini sudah menjadi model sekaligus pemikiran para ilmuwan muslim dan ulama tabi’in masa lampau, bahkan ijma diantara para shababat nabi. Hingga ada istilah dan ungkapan al-adāb fawqa ilm, al-adāb qabla ilm, faman lā adābu lahu lā syarīatun wa lā ‘īmanun wa lā tawhidun lahu, (adab di atas ilmu, adab itu sebelum ilmu, siapa yang tidak beradab, maka seakan mereka sama saja tidak memiliki syariah, iman dan tauhid), juga istilah lainnya. Dalam hal ini, sudah banyak yang dijelaskan oleh para ulama masa lalu tentang sakralisasi adab dalam kontek thalabul ilmi.

Kini, pembicaraan tema adab dan akhlak seakan jadi barang baru dan trend saat ini, padahal itu sudah terungkap berabad-abad lamanya. Bisa jadi karena tema adab dan akhlak selama ini kurang mendapat perhatian, khususnya dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, usaha membangun pemikiran pendidikan dengan cara menghidupkan kembali keindahan adab dan akhlak Islami tersebut menjadi menarik dicermati, apalagi hal tersebut berasal rekaman perjalanan tokoh yang sudah lama makan garam kenidupan, yaitu Sang Kiai Muhammad KH. Hasyim Asy’ari dan kitabnya Adabu al Alim wa al-Mutaalim. Wallahu a’lam

 

 -baca selengkapnya Pendidikan Bukan-Bukan Dr. Ulil Amri Syafri, MA-



Wasathiyah Natsir Dalam Pendidikan

 

M. Natsir
Pendidikan Bukan-Bukan

Wasathiyah Islam adalah warna umum konsep dan pemikiran dan ajaran Islam secara keseluruan. Artinya Islam adalah agama yang selalu mampu mewujudkan suasana wasathiyah. Hal ini yang dipahami oleh peneliti sekaligus dosen Univ. ummu Qara Makkah, Syekh Abdurrahman Hasan al-Madani dalam karyanya al-wasathiyah fi al-Islam:

كل مسلم يحس بتلقائية شعورية ودون تفكير عميق بوسطية الاسلام بين المبادئ والافكار والمذاهب

Maknanya, setiap muslim—baik secara spontan atau emosional tanpa pemikiran mendalam—akan merasakan wasathiyah Islam pada prinsip, pemikiran dan pada mazhab-mazhabnya.[1]

Secara bahasa, kata wasathiyah dimaknai adil. Kata tersebut sinonim dari kata tawadzun yaitu seimbang, seimbang dalam merealisasikan hak Allah aza wa jalla, hak jiwa manusia dan hak yang lain.[2] Syekh Abdurrahman Hasan al-Madani memaknai, bahwa istilah shiratul mustaqim juga disebut wasathiyah karena ia adalah jalan kehidupan yang Adil.[3] Dalam memahami Adil dan Seimbang, beliau memberikan perumpanaan mudah yaitu, ikatan tali yang paling tinggi adalah tengahnya, إن أعلي الحبل الممتد هو أوسطه)). Dengan demikian barang yang diikat dengan tali tersebut tidak condong ke kanan atau pun berat ke kiri jika ikatan atau pegangannya ada di kiri.

Meskipun arti kata wasathiyah al-Madani dimaknai dengan mudah, namun beliau tidak menyebutkan jika kontek persoalan agama dan berbagai persoalan harus dan disyaratkan selalu berada dalam posisi tengah selalu. Dikatakannya bahwa hal itu sulit sekali dalam memberikaan verifikasi secara pemikiran, kejiwaaan dan sikap. Maka Syekh Abdurrahman Hasan al-Madani mengajak untuk memahami al-wasyatiyah fi al- Islam dengan melihat contoh-contoh bahasan tersebut, artinya tidak sedekar melihat pemaknaan sisi lughawi-nya saja.

Ada lebih sepuluh bahasan atau contoh yang dijelaskan oleh Syekh Abdurrahman Hasan al-Madani agar bisa paham secara komprehensif tentang nilai dan ruh wasathiyah ajaran Islam itu. Sepuluh topik atau tema tersebut diantaranya, Wasathiyah dalam memperoleh ilmu atau pengetahuanya baik Sumber dan kaifiyah-nya. Wasathiyah dalam melihat tuntutan dan kebutuhan duniawi dan ukhrawi manusia.:[4]

Kitab al-Wasathiyah fī al-Islam karya Syekh Abdurrahman Hasan Al-Madani diterbitkan para tahun 1995M/1416H oleh mua’sasah al-Rayan Makkah. Beliau mendapatkan penghargaan dalam bentuk pujian dari sekjen Rabithah Alam Islam, Dr. Ahmad Muhammad Ali, di tahun terbitnya. Dalam mukaddimahnya, Al-Madani menyebutkan ada dua orientasi penelitianya. Pertama, kepentingan eksternal atau bisa dikatakan sebagai jawaban atas adanya kesalahan fatal masyarakat dunia melihat ajaran Islam. Kedua, sebagai tanggung jawab secara syar’i atas dirinya untuk menjelaskan secara internal kepada umat Islam maksud al wasathiyah. Dalam hal ini bahasan secara apik menjadi solusi dalam permasalahan internal kaum muslimin ketika itu.

Tokoh lainnya, Dr. Isham Basyir al-Sudani, pucuk pimpinan organisasi Internasional Wasathiyah Center di Kuwait mengatakan, penting mencari pemaknaan asal wasathiyah dari al-Quran. Namun demikian beliau memberi makna wasathiyah dengan arti kata Adil menggunakan makna istilah shiratul mustaqim yang ada pada surat al-Fatihah.[5] Pada kontek bahasa, Syekh Abdurrahman Hasan Al-Madani memiliki beda pandangan. Menurutnya wasathiyah tidak bisa mudah dipahami melalui bahasan lughawi. Hal ini karena wasathiyah itu menjelma dalam Prinsip, landasan berpikir, akhlak dan seterusnya.

Sedangkan bagi M. Natsir,[6] wasathiyah tidak saja dimaknai, tapi sudah direalisasikan dalam berbagai aktifitas, gerak pemikirannya dan sikap pendiriannya, baik pada bidang pemikiran keislaman, pendidikan, kemasyarakatan, dakwah dan juga Politik kenegaraan di Indonesia. Pada pemikiran keislaman, agama menurut Natsir, khususnya risalah nabi Muhmmad SAW, dapat diklasifikasikan pada tiga pokok hubungan, yaitu hubungan manusia dengan Khaliknya, hubungan manusia sesama manusia dan mengadakan hubungan yang seimbang, tawazun, dan adil diantara keduanya secara sejalan dan berjalin.[7] Demikian pula wasathiyah pemikiran pendidikan, Natsir berpendapat bahwa “bakat potensi yang ada dalam fitrah kejadian manusia jasmani dan ruhani itu dapat berkembang maju menurut fungsi masing-masing berkembang dalam keseimbangan dari satu tingkat ke tingat yang lebih tinggi”.[8]

Wasathiyah Natsir Dalam Pendidikan 

Wasathiyah Natsir juga terlihat ketika beliau berkeinginan melahirkan satu sistim pendidikan yang mampu mewujudkan manusia yang seimbang. Baik seimbang dalam ketajaman akalnya maupun seimbang dalam kemahiran tangannya untuk bekerja.[9] Realisasi gagasan Natsir itu bisa dibaca pada desain kurikulum PENDIS Natsir di atas. Baginya, pendidikan anak tidak saja menjadi fardhuain bagi ibu dan bapak yang mempunyai anak, akan tetapi menjadi fardhu kifayah bagi tiap–tiap anggota dalam masyarakat yang ada.

Teori wasathiyah Natsir ini senada juga dengan para tokoh pendidikan Islam saat ini. Misalnya pendapat Abdurrahman al-Nahlawi dalam karyanya ushl al-Tarbiyah al-Islamiyah—dari kutipan kitab Madhal ila al-Tarbiyah, beliau mengatakan tentang pendidikan Islam:

التربية تتكون من عناصر: المحافظة على فطرة الناشئ ورعايتها, وتنمية مواهب واسـتعداداته كلها وهي كثيرة متنوعة

Pendidikan Islam dibangun atas unsur-unsur, yaitu penjagaan fitrah manusia, pengembangan, dan penyiapan bakat-bakat yang bervariatif.[10]

 Bakat dalam definisi di atas dapat dimaknai sebagai potensi kemahiran tangan atau diri anak didik. Dalam hal ini penulis juga sangat sependapat dengan teori Abdurrahman Nahlawi tersebut.

Demikian pula pemikiran wasathiyah Natsir pada konteks masyarakat. Dalam pemikiran pada aspek wasathiyah dakwah, Natsir berpendapat bahwa Islam adalah agama risalah untuk manusia keseluruhan, sedangkan umat Islam adalah pendukung amanah tersebut dengan jalan dakwah.[11] Adapun dalam metode dakwah, beliau menjadikan hikmah sebagai puncak dan setinggi-tingginya metode. Pemikiran ini dapat ditelusuri pada makna hikmah dalam implementasi yang diinginkan Natsir.[12]

Secara khusus, pemikiran wasathiyah Natsir tentang bernegara tampak jelas dalam tulisannya yang berjudul Pancasila dan ajaran al Quran.[13] Dikatakan dalam tulisan itu tentang dasar negara Indonesia yaitu Pancasila,

Bagi seorang yang beragama, khususnya yang beragama Islam, kalau mereka melihat urutan sila-sila yang lima itu (Pancasila), ia akan bertemu dengan barang-barang yang sudah dikenal dan dihayati. Ambilah, ketuhanan yang maha Esa. Seorang muslim memulai ketuhanan yang maha Esa itu dengan Tauhid dan kalimat Syahadat, begitu juga sila-sila yang lain. Sila kemanusiaan, Keadilan Sosial, Kebangsaan, Kerakyatan dan lain-lain itu bertemu semua dalam sila-sila yang terdapat dalam Islam. Jadi tidak bisa kita mengatakan sebagai seorang Islam bahwa Pancasila bertetangan dengan Islam. Pancasila itu adalah rumusah dari ide-ide moral.”[14]

 Dari beberapa sikap Natsir di atas tampak betul beliau adalah pemikir dan seorang tokoh Islam Indonesia yang tidak saja memaknai wasathiyah Islam tapi juga mampu memberikan teladan wasathiyah dalam pemikiran termasuk dalam pemikiran pendidikan yang baik untuk negeri ini.


 ( baca penjelasan lengkap di buku Pendidikan Bukan-Bukan Dr. Ulil Amri Syafri

[1]Pertama,Wasathiyah dalam memperoleh Ilmu atau Pengetahuanya baik Sumber dan kaifiyah-nya. Kedua, Wasathiyah dalam melihat tuntutan dan kebutuhan duniawi dan ukhrawi manusia. Ketiga, Wasathiyah dalam Kontek pembahasan Iman. keempat, Wasathiyah dalam Kontek pembicaraan Akhlak. Kelima, Wasathiyah dalam Kontek pembahasan Ibadah. Keenam, Wasathiyah dalam Kontek bahasan ikatan pernikahan dan hubungan suami-istri. Ketujuh, Wasathiyah dalam Kontek finansial, sumber dan pemanfaatanya. Kedelapan, Wasathiyah dalam Kontek pembahasan aturan hukum dan menejemen. Kesembilan, Wasathiyah dalam antara pembahasan perundang-undangan dan pengaturan civil society atau rakyat. Kesepuluh, Wasathiyah dalam Kontek pembicaraan edukasi atau pengajaran. Kesebelas, Wasathiyah dalam Kontek pembahasan dakwah amal Penyebaran ajaran agama Islam. Syekh Abdurrahman Hasan Al-Madani, Al-Wasathiyah fī Al-Islam, Beirut: Muasasah al-Rayyan, 1996, hlm. 9.

[2]https://www.youtube.com/watch?v=n3_x5NDHULo. Isham Basyir al-Sudani adalah pucuk pimpinan organisasi Internasional Wasathiyah Center di Kuwait. (pen.)

[3]Syekh Abdurrahman Hasan Al Madani, al-Wasathiyah fī al-Islam, hlm. 9

[4]Ibid., hlm. 193.

[5]Lihat Isham Basyir al-Sudani di https://www.youtube.com/watch?v=n3_x5NDHULo, atau bisa juga melihat pendapat Syeikh Ahmad Rabbi’ Al-Azhary tentang dasar ajaran Islam yang wasathiyah di https://www.youtube.com/26obKj_GJGI

[6]M. Natsir merupakan tokoh Indonesia yang jauh lebih senior bila dibandingkan dua tokoh dunia Islam di atas, bahkan telah menjadi tokoh Islam terkenal di dunia internasional. Pada tahun 1956 Natsir bersama Maulana Abu A’la Al-Maududi (Lahore) dan Abu Hasan An-Nadwa memimpin sidang Alam Islamy di Damaskus. Selain itu Natsir juga menjabat sebagai Wakil Presiden Kongres Islam se dunia (Muktamar Alam Islami) yang berkedudukan di Karachi (1967), sebagai anggota Rabithah Alam Islami (1969), dan anggota pendiri Dewan Masjid se Dunia (1976) yang berkedudukan di Mekkah. Di wilayah tanah Melayu M, Natsir dapat penghargaan dalam bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia (1991), dan dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains dan Teknologi Malaysia (1991). Bahkan di Eropa Pada tahun 1987 Natsir menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Center for Islamic Studies, London. (pen.)

[7]Mohammad Natsir, Fiqhud Dakwah, hlm. 36

[8]Ibid., hlm. 25.

[9]Lukman Hakim, Biografi Mohammad Natsir, hlm. 55

[10]Abdurraman Al-Nahlawi, Ushûl Al-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, hlm. 13

[11]Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, hlm. 109.

[12]Ibid, hlm. 161-236. Sedangkan dalam aspek wasathiyah politik dan kenegaraan, Natsir berpendapat bahwa agama bukan saja urusan pribadi, tapi juga masyarakat. Bahkan hal tersebut terlihat pada garis-garis aturan hak dan kewajiban bermasyarakat dalam ajaran Islam. Aturan tersebut akan lebih jauh dan lebih luas lagi jika ada dalam masyarakat yang lebih luas pula. Dalam konteks inilah Natsir berprisip harus ada suatu kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, tidak boleh tidak. Bahkan Natsir mengkritik Kemal Pasha Cs yang dalam ungkapan beliau menyerahkan Agama ke tangan rakyat kembali, lepas dari urusan Negara. Dalam istilah selanjutnya disebut netral agama. Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Persektif Islam, Jakarta: Media Da’wah, 2001, hlm. 78-79.

[13]Ibid., hlm. 123.

[14]Ibid., hlm. 267.

Pendidikan Bukan_Bukan