Tujuan awal dari ide pendirian pesantren A. Hassan adalah untuk menyediakan tenaga muballigh yang memiliki kompetensi penyiaran Islam, serta membela dan mempertahankan ajaran Islam di tengah masyarakat. Tentu saja apa yang digariskan ustadz A. Hassan itu sangat berkait dengan alam yang sedang dihadapai umat Islam ketika itu.
30 October 2021
PERSIS BANGIL
21 October 2021
Selamat Hari Santri Indonesia 2021- Resolusi Jihad dan KH. M. Hasyim Asy’ari.
Pendidikan Bukan-Bukan |
09 October 2021
Surau Roboh, tapi Pesantren Kokoh, kenepa?
#Pendidikan Bukan-bukan |
Sejak awal kemunculannya,
surau tak mudah terhempas oleh tekanan kolonial Belanda dan gaya sekolah
sekuler mereka. Namun, surau justru malah dihempaskan oleh gerakan perubahan dari
saudara sendiri, yaitu geliat modernisasi pendidikan Islam.
Namun demikian, apa
yang terjadi saat itu bisa dipahami karena memang kebijakan kolonial Belanda yang kurang menguntungkan
terhadap perkembangan pendidikan Islam di bumi Nusantara secara umum, dan di
Minangkabau secara khusus, walaupun gagasan dan gerakan pembaruan itu berdampak
besar pada peran dan fungsi surau yang bersifat kultural. Wallahu a’lam
baca selengkapnya di Pendidikan Bukan-Bukan, Dr. #UlilAmriSyafri,MA
Karismatik Sang Kiai Tak Lekang oleh Waktu
Dalam satu buku yang mengulas ketokohan Sang Kiai Hasyim Asy’ari, disebutkan oleh Muhammad Rifai, penulisnya, bahwa Sang Kiai merupakan seorang ‘pembaru’. Meski tidak dijelaskan secara spesifik, namun dapat dipahami bahwa makna ‘pembaru’ yang disematkan pada diri Sang Kiai adalah terkait hal pembaruan dalam pendidikan. Disebutkan dalam tulisan itu bahwa Sang Kiai telah membuat pembaruan dalam sistem pendidikan di Pesantren Tebu Ireng dengan memasukan ilmu-ilmu sekuler ke kurikulum pesantren.[1]
Pendapat itu mungkin tidak
memiliki tendensi buruk, bahwa Sang Kiai juga berpikiran maju dalam
mengelola dan mengembangkan lembaga pendidikan pesantren saat itu. Namun, jika
kita ikuti kultur dan budaya pembaruan yang umum berlaku di Nusantara sejak
awal abad ke-20, maka terasa kurang tepat bila beliau dianggap sebagai tokoh ‘pembaru’,
baik dalam gagasan sistem pendidikan, apalagi dalam pemikiran keislaman.
Setidaknya ada dua alasan
yang melatarbelakangi mengapa penyematan ‘pembaru’ itu terasa kurang tepat. Pertama,
sosok Sang Kiai adalah khadimun al-‘ilmi, satu julukan
yang beliau berikan sendiri pada dirinya saat menyelesaikan tulisannya.
Artinya, dapat dimaknai bahwa beliau sangat mencintai tradisi keilmuan dan
metodologi Islam dalam khazanah pengetahuan, khususnya yang bercorak klasik.
Hal ini telah dibuktikan dalam fase-fase perjalanan proses thalabul ilmi
Sang Kiai. Dalam persoalan fikih, akidah, dan tauhid, Sang Kiai
juga merupakan sosok yang istikamah dalam merujuk pendapat atau qaul
ulama-ulama sebelumnya. Oleh karena itu, penyebutan ‘pembaru’ kepada Sang
Kiai tidaklah cocok. Sebab, tradisi merujuk pada pendapat para ulama dan
imam mazhab bukanlah ciri yang dimiliki kalangan yang menyebut dirinya
sebagai tokoh ‘pembaru’.
Tokoh pembaruan biasanya
mengedepankan olah pikir, menggunakan logika pada persoalan agama, dan tidak
mengutamakan rujukan yang berasal dari pendapat para ulama klasik, meskipun
mereka berdalih menggunakan basis al-Qur’an dan Hadis juga.
07 October 2021
Amazing Natsir
Sekilas bisa saja orang akan menyamakan PENDIS dengan HIS Adabiyah Padang tempo dulu,
dimana Natsir pernah belajar dan menjadi
murid di sekolahan yang didirikan Syaikh Abdullah Ahmad itu. Namun seperti yang sudah penulis
jelaskan, ada perbedaan yang cukup signifikan diantara keduanya, serupa tapi tak sama.
Pun demikian
apa yang dilakukan Natsir dengan
PENDIS-nya ditahun 1932-1942 akan bisa diceritakan dengan lebih indah oleh
orang-orang yang ada di masanya.
Menurut penulis, masa
kecil seorang Natsir sama seperti seperti kebanyakan anak Indonesia saat itu,
miskin dan pas-pasan. Namun beliau terus tumbuh dan berkembang dengan semangat
juangnya. Qadarullah, beasiswa Belanda--meskipun diskriminatif—telah membawa
Natsir menjadi berbeda. Jalan hidupnya membawa warna tersendiri dalam rangkaian
kisah tempo dulu para tokoh negeri ini yang terlahir kaya dan berkecukupan. Misalnya
Sutan Syahrir kecil (1909-1966), Perdana Menteri Indonesia Pertama. Ia berasal
dari keluarga kaya, sekolah dasarnya saja di kelas lebih mahal dan bayar
sendiri, yaitu ELS, sekolah dasar untuk kelas anak-anak Eropa (Europeesche
lagere School) bukan di HIS, Hollandsch Inlandsche School (sekolah
dasar untuk anak pribumi berbahasa Belanda). Demikian pula sosok tokoh Ki Hajar
Dewantara (1889-1959). Karena ia anak dari bangsawan Jawa, maka ia berhak menempuh
pendidikan sekelas anak-anak Eropa dan bersekolah juga di ELS. Juga tokoh
Bahder Djohan (1902-1981) yang kelak menjadi menteri Pendidikan, Pengajaran,
dan Kebudayaan di era Kabinet Natsir. Seorang Bahder Djohan bisa bersekolah di HIS Padang karena
ia anak orang kaya dan ayahnya jaksa
terpandang di Sumatra Barat saat itu. Kesemua jalan hidup para tokoh ini tentunya amat berbeda dengan Natsir
yang bisa sekolah hingga AMS karena bergantung pada beasiswa karena prestasinya.
Natsir, meskipun sejak
kecil tumbuh dengan segala keterbatasan, memiliki kecerdasan akal dan ruhani. Sikapnya
kritis, peduli dengan penderitaan rakyat, dan memiliki nalarasasi yang baik,
sehingga dengan bekal tersebut membawa Natsir muda mengawali karir kemasyarakatannya
dengan berhidmat secara totalitas pada Pendidikan Islam yang dirancangnya.
Natsir memang bukan produk sistem
madrasah atau Diniyah School
masa itu. Juga bukan menempuh jalan santri seperti KH. Hasyim Asy’ari (1871-1847) yang usianya jauh diatas Natsir. Pendidikan agama
Natsir lebih banyak berupa pengajaran
sikap beragama dari pada teori-teori
ilmu agama. Namun demikian mulazamah beliau dengan Tuan Guru A.
Hassan turut mempengaruhi cara
pikir keagamaan dan cita-cita hidupnya,
termasuk rancang bangun
PENDIS.
Kegiatan kepemudaan
masa di AMS juga membuat Natsir muda bertemu banyak tokoh besar termasuk dengan
H. Agus Salim (1884-1954), H.O.S. Tjokroaminoto (1883-1934), dan lainnya. Hal ini
juga yang menjadi bagian dari proses pendidikan dan pengajaran yang didapatnya.
Artinya, pendidikan bagi Natsir tidak dihalangi oleh batas tembok dan dinding
sekolahan, tapi alam ciptaan-Nya juga bisa menjadi guru berharga, termasuk orang-orang
hebat yang ditemuinya.
Dengan berbagai
latar belakang yang dilalui seorang Natsir, PENDIS menjelma menjadi pendidikan
Islam yang punya kebaruan meski tidak berada dalam basis istilah tafaqquh fī
al-dīn. Ia tidak bisa dimasukan dalam klasifikasi model pendidikan Islam
masa itu. PENDIS bukanlah Diniyah School, bukan madrasah, bukan juga pesantren,
apalagi surau. Lalu?, yang jelas PENDIS bukan ‘pendidikan bukan-bukan’ Wallahu
a’lam
(baca selengkapnya Pendidikan Bukan-Bukan Dr. Ulil Amri Syafri, MA)
Ahmad Hassan Sang Inspirator dari Melayu
Pesantren PERSIS Bangil berdiri pasca era perubahan dan pergolakan pendidikan Islam di Nusantara, khususnya di tanah Minangkabau. Hasil pergolakan tersebut telah menghasilkan model pendidikan kombinasi dengan desain kurikulum kombinasi. Meskipun PERSIS Bangil dinamai pesantren, tapi kurikulumnya sudah mengunakan kurikulum madrasah sejak awal berdirinya, sehingga bisa disebut pesantren kombinasi. Desain kurikulum ini juga berwujud di pesantren Tebu Ireng (1933) setelah KH. Wahid Hasyim, putra dari KH. Hasyim Asy’ari kembali dari Makkah. Namun perubahan tersebut tetap menjaga implementasi model belajar pesantren salafiyah berbasis kultur klasik.
Dibanding pesantren
umumnya masa itu, pesantren ala A. Hassan ini memiliki ciri khas tersendiri
pada proses pembelajarannya. Model berpikir merdeka dalam pembelajarannya
menghasilkan proses riset mandiri yang melatih santri untuk melakukan
implementasi berbagai macam keilmuan, seperti bahasa Arab, kaidah fikih, usul
fikih, ilmu hadis, ilmu mantik, dan lainnya, menuju istimbath ahkam.
Tentu saja cara pembelajaran seperti ini tidaklah mudah karena memerlukan
nalarisasi dan sikap kritis yang tinggi, diikuti kecerdasan santri. Akan selalu
ada nilai positif dan negatifnya, akan selalu tampak kelebihan dan
kelemahannya.
Kelemahan yang
dimaksud adalah bahwa tidak semua santri punya kesiapan dengan pola belajar
seperti itu, sehingga outcome yang ada biasanya ‘jomplang’, antara
mereka yang cerdas plus disiplin dengan pribadi santri yang sebaliknya. Bagi santri
yang lulus tidak sesuai harapan, tentu saja tidak bisa hadir dalam masyarakat
dengan kemampuan riset dan nalarisasi yang berkembang. Mereka cenderung stag
seperti masa-masa nyantri dulu. Padahal konteks-konteks keagamaan yang terkait
hukum Islam terus berkembang, apalagi berkenaan dengan hukum muamalah.
Ke depan, ada
baiknya bila proses pengajaran yang unik dan luar biasa ala pesantren PERSIS
Bangil ini mempertimbangkan dua hal berikut, pertama memperkaya
bahan ajar dan obyek pembahasan yang bersifat komparasi pada sistem istimbath
ahkam. Ini bisa dilakukan pada metode istimbath ahkam imam-imam
fikih, khususnya imam mazhab yang empat. Hal ini bisa dilaksanakan di kelas
akhir untuk memperluas wawasan dan sikap santri, khususnya pada pemahaman tentang
metodologi hukum Islam. Kemudian dilakukan penataan secara disiplin pada
ilmu-ilmu alat: bahasa Arab, ilmu usul fikih, ilmu mantik. Setidaknya mulai tahun
ketiga atau keempat para santri sudah menguasai dan memahami ilmu-ilmu
tersebut, sehingga proses integrasi pembelajarannya bisa meminimalkan
hambatan-hambatan yang terkait penguasaan ilmu alat dan tentunya para santri
akan lebih menikmati proses pembelajarannya.
Kedua, karena metode dan proses pembelajaran tersebut sangat
unik, maka perlu juga setiap tahunnnya diadakan evaluasi secara menyeluruh. Bagi
santri yang kemampuannya di bawah standar, harus dicarikan solusi yang tepat terkait
proses pembelajarannya, tanpa terbebani oleh metode tersebut. Tentu
saja hal ini sebagai usaha assesment
menyeluruh agar para santri bisa berhasil dengan maksimal. Kemudian pada tahun keempat, para santri bisa saja diklasifikasikan menjadi 3-4 kelompok belajar setelah dievaluasi oleh pihak
pesantren. Sehingga
pada ujian akhir
tahun keenam berupa paper bisa lebih bervariasi dan sesuai minat para
santri. Ibaratnya, pohon
rambutan jangan dipaksa berbuah
mangga, tapi diupayakan bisa menghasilkan buah rambutan
yang berkualitas.
Kini, setelah puluhan tahun tetap eksis sebagai bagian dari ikon pendidikan Islam di
Indonesia, kebaruan apa saja yang bisa dihadirkan oleh pesantren ala Tuan Guru A. Hassan ke depan? Wallahu a’lam
(baca selengkapnya di Pendidikan Bukan-Bukan Dr. Ulil Amri Syafri, MA)
Pendidikan Bukan-bukan |
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari Pelita Nusantara
Pendidikan Bukan-Bukan |
Praktek pendidikannya hampir tak memiliki pengaruh gaya pendidikan Belanda masa
itu. Bisa dibilang,
pemikiran Sang Kiai merupakan representatif
kultur budaya pendidikan Islam klasik yang sangat apik dengan visi
tafaqquh fī al-dīn.
Dengan pola konstan tersebut, kualitas pembelajaran dan hasil lulusannya
sangat berbeda dengan pola yang selalu mengalami
perubahan,
apalagi dengan lembaga yang suka
mengerdilkan
pendidikan Islam, meskipun masih menyematkan istilah tafaqquh
fī al-dīn pada
lembaga pendidikan mereka.
Dalam hal ini, ada
dua pemikiran pendidikan Sang Kiai yang amat istimewa. Pertama,
konsep ilmu. Ilmu yang Sang Kiai
maksud dalam proses pendidikannya adalah ilmu yang menjadikan para pelajar atau
santrinya kelak menjadi ulama. Karena arahnya
melahirkan ulama, maka proses yang dilalui calon ulama
tersebut betul-betul meniti standar jalan orang-orang ‘alim. Konsep inilah yang
pada akhirnya membuahkan hasil yang sangat mulia hingga berwujud munculnya
para kiai yang turun-temurun menghadirkan
tempat tafaqquh fī al-dīn yang
baik pula. Artinya, cita-cita Sang Kiai tampak rimbun, kokoh, kuat, dan berkarakter dalam bentuk pendidikan
Islam yang khas.
Jika kita
melongok pada era tersebut dan juga
beberapa masa sebelumnya, tempat tafaqquh fī al-dīn yang ada betul-betul melahirkan ulama dengan
sempurna, semisal guru-guru Sang
Kiai itu sendiri atau ulama-ulama besar Nusantara tempo dulu seperti Imam Nawawi al-Bantani, dan lainnya. Mereka lahir menjadi ulama dalam arti
yang ‘sesungguhnnya’ karena
proses dan jalan yang dilaluinya
adalah proses pendidikan yang tepat dengan meniti
jalan yang tepat pula.
Kini, yang
jadi problem adalah
banyak para pelajar yang bermimpi dan bercita-cita menjadi ulama, tapi proses pembelajaran yang dilalui mereka tidak sesuai dengan konsep tafaqquh fī
al-dīn, meskipun pemilik lembaga pendidikan tempat para pelajar itu menimba ilmu
menamakan sekolahannya atau programnya dengan konsep tafaqquh fi aldin. Apalagi di era teknologi ini, bila tidak melakukan mujahadah yang tepat dan
benar, meskipun bergelar S3,
bisa jadi derajat keulamaannya masih amat jauh dari kenyataan. Hal ini bisa saja terjadi karena pemahaman
dan penguasaan terhadap turats dan khazanah ilmu-ilmu naqliyah mereka
sangat terbatas, namun mereka ‘dipaksa’
untuk terus berpikir dan melakukan penelitian ilmiah modern. Tentu saja ini berbeda dengan pendidikan Sang Kiai
masa itu. Mereka tidak saja hapal ilmu-ilmu naqliyah, tapi
juga disiplin
dalam istimbath keilmuan, dan menjunjung tinggi
sikap kehati-hatian dalam memutuskan suatu perkara.
Sang Kiai dengan gelar ‘hadratussyaikh’-nya
lahir dengan segala proses dan kedalaman ilmunya. Jadi bila ada program dan usaha ingin melahirkan
‘ulama sungguhan’, bisa bercermin pada pemikiran Sang Kiai baik
filosofisnya, teoritisnya, konsep ilmu, juga proses pembelajaran dan
seterusnya. Tentu saja melahirkan ulama sebagai usaha yang mulia tidak ringan. Seperti
yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa penyebutan istilah ulama
saat ini jangan terkesan merendahkan kualifikasi proses pendidikan dan keadaban
ulama itu sendiri, tapi penyebutan dan penggunaan istilah itu juga harus
be-ADAB. Apalagi ada istilah ‘ulama saintis’. Jangankan kualifikasi ulama yang benar,
ditambah dengan embel-embel saintis jadinya ‘bagai pungguk merindukan bulan.’
Kedua, sakralisasi
nilai adab. Sebagai bagian dari proses
pendidikan dan pengajaran calon ulama, konsep sakralisasi adab dan akhlak dalam perspektif Sang Kiai adalah
keniscayaan yang sangat tepat. Hal ini sudah menjadi model sekaligus pemikiran
para ilmuwan muslim dan ulama tabi’in masa lampau, bahkan ijma’ diantara
para shababat nabi.
Hingga ada istilah dan ungkapan al-adāb fawqa ‘ilm, al-adāb qabla ‘ilm, faman lā adābu lahu lā syarīatun wa
lā ‘īmanun
wa lā tawhidun
lahu,
(adab di atas ilmu,
adab itu sebelum ilmu, siapa yang tidak beradab, maka seakan mereka sama saja
tidak memiliki syariah, iman dan tauhid), juga
istilah
lainnya. Dalam hal ini, sudah
banyak yang dijelaskan oleh para ulama masa
lalu tentang sakralisasi adab
dalam kontek thalabul ilmi.
Kini, pembicaraan tema adab dan akhlak
seakan jadi barang
baru dan trend
saat ini, padahal itu sudah terungkap berabad-abad lamanya. Bisa jadi karena tema adab dan akhlak
selama ini kurang mendapat perhatian, khususnya dalam proses pendidikan. Oleh
karena itu, usaha membangun pemikiran pendidikan dengan cara menghidupkan kembali
keindahan adab dan akhlak Islami tersebut menjadi menarik dicermati, apalagi
hal tersebut berasal rekaman perjalanan tokoh yang sudah lama makan garam
kenidupan, yaitu Sang Kiai Muhammad KH. Hasyim
Asy’ari dan kitabnya Adabu al Alim wa al-Mutaalim. Wallahu a’lam
Wasathiyah Natsir Dalam Pendidikan
M. Natsir Pendidikan Bukan-Bukan |
Wasathiyah
Islam adalah warna
umum konsep dan pemikiran dan ajaran Islam secara keseluruan. Artinya Islam
adalah agama yang selalu mampu mewujudkan suasana wasathiyah. Hal ini
yang dipahami oleh peneliti sekaligus dosen Univ. ummu Qara Makkah, Syekh
Abdurrahman Hasan al-Madani dalam karyanya al-wasathiyah fi al-Islam:
كل مسلم يحس بتلقائية شعورية ودون تفكير عميق بوسطية
الاسلام بين المبادئ والافكار والمذاهب
Maknanya, setiap muslim—baik secara spontan atau emosional tanpa pemikiran mendalam—akan merasakan wasathiyah Islam pada prinsip, pemikiran dan pada mazhab-mazhabnya.[1]
Secara bahasa, kata wasathiyah dimaknai adil. Kata tersebut sinonim dari kata tawadzun yaitu seimbang, seimbang dalam merealisasikan hak Allah aza wa jalla, hak jiwa manusia dan hak yang lain.[2] Syekh Abdurrahman Hasan al-Madani memaknai, bahwa istilah shiratul mustaqim juga disebut wasathiyah karena ia adalah jalan kehidupan yang Adil.[3] Dalam memahami Adil dan Seimbang, beliau memberikan perumpanaan mudah yaitu, ikatan tali yang paling tinggi adalah tengahnya, إن أعلي الحبل الممتد هو أوسطه)). Dengan demikian barang yang diikat dengan tali tersebut tidak condong ke kanan atau pun berat ke kiri jika ikatan atau pegangannya ada di kiri.
Meskipun
arti kata wasathiyah al-Madani dimaknai dengan mudah, namun beliau tidak
menyebutkan jika kontek persoalan agama dan berbagai persoalan harus dan
disyaratkan selalu berada dalam posisi tengah selalu. Dikatakannya bahwa hal
itu sulit sekali dalam memberikaan verifikasi secara pemikiran, kejiwaaan dan
sikap. Maka Syekh Abdurrahman Hasan al-Madani mengajak untuk memahami al-wasyatiyah
fi al- Islam dengan melihat contoh-contoh bahasan tersebut, artinya tidak
sedekar melihat pemaknaan sisi lughawi-nya saja.
Ada
lebih sepuluh bahasan atau contoh yang dijelaskan oleh Syekh Abdurrahman Hasan
al-Madani agar bisa paham secara komprehensif tentang nilai dan ruh wasathiyah
ajaran Islam itu. Sepuluh topik atau tema tersebut diantaranya,
Wasathiyah dalam memperoleh ilmu atau
pengetahuanya baik Sumber dan kaifiyah-nya. Wasathiyah dalam
melihat tuntutan dan kebutuhan duniawi dan ukhrawi manusia.:[4]
Kitab
al-Wasathiyah fī al-Islam karya Syekh Abdurrahman Hasan Al-Madani
diterbitkan para tahun 1995M/1416H oleh mua’sasah al-Rayan Makkah. Beliau mendapatkan
penghargaan dalam bentuk pujian dari sekjen Rabithah Alam Islam, Dr. Ahmad
Muhammad Ali, di tahun terbitnya. Dalam mukaddimahnya, Al-Madani menyebutkan
ada dua orientasi penelitianya. Pertama,
kepentingan eksternal atau bisa dikatakan sebagai jawaban atas adanya kesalahan
fatal masyarakat dunia melihat ajaran Islam. Kedua, sebagai tanggung jawab secara
syar’i atas dirinya untuk menjelaskan secara internal kepada umat Islam maksud al
wasathiyah. Dalam hal ini bahasan secara apik menjadi solusi dalam permasalahan
internal kaum muslimin ketika itu.
Tokoh
lainnya, Dr. Isham Basyir al-Sudani, pucuk pimpinan organisasi Internasional Wasathiyah
Center di Kuwait mengatakan, penting mencari pemaknaan asal
wasathiyah dari al-Quran. Namun demikian beliau memberi makna wasathiyah
dengan arti kata Adil menggunakan makna istilah shiratul mustaqim yang
ada pada surat al-Fatihah.[5] Pada
kontek bahasa, Syekh Abdurrahman Hasan Al-Madani memiliki beda pandangan.
Menurutnya wasathiyah tidak bisa mudah dipahami melalui bahasan lughawi.
Hal ini karena wasathiyah itu menjelma dalam Prinsip, landasan berpikir,
akhlak dan seterusnya.
Sedangkan bagi M. Natsir,[6] wasathiyah tidak saja dimaknai, tapi sudah direalisasikan dalam berbagai aktifitas, gerak pemikirannya dan sikap pendiriannya, baik pada bidang pemikiran keislaman, pendidikan, kemasyarakatan, dakwah dan juga Politik kenegaraan di Indonesia. Pada pemikiran keislaman, agama menurut Natsir, khususnya risalah nabi Muhmmad SAW, dapat diklasifikasikan pada tiga pokok hubungan, yaitu hubungan manusia dengan Khaliknya, hubungan manusia sesama manusia dan mengadakan hubungan yang seimbang, tawazun, dan adil diantara keduanya secara sejalan dan berjalin.[7] Demikian pula wasathiyah pemikiran pendidikan, Natsir berpendapat bahwa “bakat potensi yang ada dalam fitrah kejadian manusia jasmani dan ruhani itu dapat berkembang maju menurut fungsi masing-masing berkembang dalam keseimbangan dari satu tingkat ke tingat yang lebih tinggi”.[8]
Wasathiyah Natsir Dalam Pendidikan
Wasathiyah Natsir juga terlihat ketika
beliau berkeinginan melahirkan satu sistim pendidikan yang mampu mewujudkan
manusia yang seimbang. Baik seimbang dalam ketajaman akalnya maupun seimbang
dalam kemahiran tangannya untuk bekerja.[9] Realisasi
gagasan Natsir itu bisa dibaca pada desain kurikulum PENDIS Natsir di atas.
Baginya, pendidikan anak tidak saja menjadi fardhu ‘ain bagi ibu
dan bapak yang mempunyai anak, akan tetapi menjadi fardhu kifayah
bagi tiap–tiap anggota dalam masyarakat yang ada.
Teori wasathiyah
Natsir ini senada juga dengan para tokoh pendidikan Islam saat ini. Misalnya
pendapat Abdurrahman al-Nahlawi dalam karyanya ushl al-Tarbiyah
al-Islamiyah—dari kutipan kitab Madhal ila al-Tarbiyah, beliau
mengatakan tentang pendidikan Islam:
التربية تتكون من عناصر: المحافظة على فطرة الناشئ
ورعايتها, وتنمية مواهب واسـتعداداته كلها وهي كثيرة متنوعة
Pendidikan Islam dibangun atas
unsur-unsur, yaitu penjagaan fitrah manusia, pengembangan, dan penyiapan
bakat-bakat yang bervariatif.[10]
Demikian
pula pemikiran wasathiyah Natsir pada konteks masyarakat. Dalam
pemikiran pada aspek wasathiyah dakwah, Natsir berpendapat bahwa Islam
adalah agama risalah untuk manusia keseluruhan, sedangkan umat Islam adalah
pendukung amanah tersebut dengan jalan dakwah.[11]
Adapun dalam metode dakwah, beliau menjadikan hikmah sebagai puncak dan
setinggi-tingginya metode. Pemikiran ini dapat ditelusuri pada makna hikmah
dalam implementasi yang diinginkan Natsir.[12]
Secara
khusus, pemikiran wasathiyah Natsir tentang bernegara
tampak jelas dalam tulisannya yang berjudul Pancasila dan ajaran al Quran.[13] Dikatakan
dalam tulisan itu tentang dasar negara Indonesia yaitu Pancasila,
Bagi seorang yang beragama,
khususnya yang beragama Islam, kalau mereka melihat urutan sila-sila yang lima
itu (Pancasila), ia akan bertemu dengan barang-barang yang sudah dikenal dan
dihayati. Ambilah, ketuhanan yang maha Esa. Seorang muslim memulai ketuhanan
yang maha Esa itu dengan Tauhid dan kalimat Syahadat, begitu juga sila-sila
yang lain. Sila kemanusiaan, Keadilan Sosial, Kebangsaan, Kerakyatan dan
lain-lain itu bertemu semua dalam sila-sila yang terdapat dalam Islam. Jadi
tidak bisa kita mengatakan sebagai seorang Islam bahwa Pancasila bertetangan
dengan Islam. Pancasila itu adalah rumusah dari ide-ide moral.”[14]
[1]Pertama,Wasathiyah dalam memperoleh Ilmu atau Pengetahuanya baik
Sumber dan kaifiyah-nya. Kedua, Wasathiyah dalam melihat tuntutan dan kebutuhan duniawi dan
ukhrawi manusia. Ketiga, Wasathiyah dalam Kontek pembahasan Iman. keempat, Wasathiyah dalam Kontek pembicaraan Akhlak. Kelima, Wasathiyah dalam Kontek pembahasan Ibadah. Keenam, Wasathiyah dalam Kontek bahasan ikatan
pernikahan dan hubungan suami-istri. Ketujuh,
Wasathiyah dalam Kontek finansial, sumber dan pemanfaatanya. Kedelapan, Wasathiyah dalam Kontek pembahasan aturan
hukum dan menejemen. Kesembilan, Wasathiyah dalam antara pembahasan
perundang-undangan dan pengaturan civil society atau rakyat. Kesepuluh, Wasathiyah dalam Kontek pembicaraan edukasi
atau pengajaran. Kesebelas, Wasathiyah dalam Kontek pembahasan dakwah
amal Penyebaran ajaran agama Islam. Syekh Abdurrahman Hasan
Al-Madani, Al-Wasathiyah fī Al-Islam, Beirut: Muasasah al-Rayyan, 1996,
hlm. 9.
[2]https://www.youtube.com/watch?v=n3_x5NDHULo. Isham Basyir al-Sudani
adalah pucuk pimpinan organisasi Internasional Wasathiyah Center di Kuwait.
(pen.)
[3]Syekh Abdurrahman Hasan Al
Madani, al-Wasathiyah fī al-Islam, hlm. 9
[4]Ibid., hlm. 193.
[5]Lihat Isham Basyir al-Sudani di https://www.youtube.com/watch?v=n3_x5NDHULo,
atau bisa juga melihat pendapat Syeikh Ahmad Rabbi’ Al-Azhary tentang dasar
ajaran Islam yang wasathiyah di https://www.youtube.com/26obKj_GJGI
[6]M. Natsir merupakan tokoh
Indonesia yang jauh lebih senior bila dibandingkan dua tokoh dunia Islam di
atas, bahkan telah menjadi tokoh Islam terkenal di dunia internasional. Pada
tahun 1956 Natsir bersama Maulana Abu A’la Al-Maududi (Lahore) dan Abu Hasan
An-Nadwa memimpin sidang Alam Islamy
di Damaskus. Selain itu Natsir juga menjabat sebagai Wakil Presiden Kongres
Islam se dunia (Muktamar Alam Islami) yang berkedudukan di Karachi (1967),
sebagai anggota Rabithah Alam Islami (1969), dan anggota pendiri Dewan Masjid
se Dunia (1976) yang berkedudukan di Mekkah. Di wilayah tanah Melayu M, Natsir
dapat penghargaan dalam bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia
(1991), dan dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains dan Teknologi
Malaysia (1991). Bahkan di Eropa Pada tahun 1987 Natsir menjadi anggota Dewan
Pendiri The Oxford Center for Islamic Studies, London. (pen.)
[7]Mohammad Natsir, Fiqhud
Dakwah, hlm. 36
[8]Ibid., hlm. 25.
[9]Lukman Hakim, Biografi
Mohammad Natsir, hlm. 55
[10]Abdurraman Al-Nahlawi, Ushûl
Al-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, hlm. 13
[11]Mohammad Natsir, Fiqhud
Da’wah, hlm. 109.
[12]Ibid, hlm.
161-236. Sedangkan dalam aspek wasathiyah
politik dan kenegaraan, Natsir berpendapat bahwa agama bukan saja urusan
pribadi, tapi juga masyarakat. Bahkan hal tersebut terlihat pada garis-garis
aturan hak dan kewajiban bermasyarakat dalam ajaran Islam. Aturan tersebut akan
lebih jauh dan lebih luas lagi jika ada dalam masyarakat yang lebih luas pula.
Dalam konteks inilah Natsir berprisip harus ada suatu kekuatan dalam pergaulan
hidup berupa kekuasaan dalam negara, tidak boleh tidak. Bahkan Natsir
mengkritik Kemal Pasha Cs yang dalam ungkapan beliau menyerahkan Agama ke
tangan rakyat kembali, lepas dari urusan Negara. Dalam istilah selanjutnya
disebut netral agama. Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam
Persektif Islam, Jakarta: Media Da’wah, 2001, hlm. 78-79.
[13]Ibid., hlm. 123.
[14]Ibid., hlm. 267.
Pendidikan Bukan_Bukan |