Cluster Casablanca, Sentul City, Bogor - Jawa Barat - 16810 | Hotline: 0813-1112-5384 (Call/SMS/WA)

07 October 2021

Ahmad Hassan Sang Inspirator dari Melayu

Pesantren PERSIS Bangil berdiri pasca era perubahan dan pergolakan pendidikan Islam di Nusantara, khususnya di tanah Minangkabau. Hasil pergolakan tersebut telah menghasilkan model pendidikan kombinasi dengan desain kurikulum kombinasi. Meskipun PERSIS Bangil dinamai pesantren, tapi kurikulumnya sudah mengunakan kurikulum madrasah sejak awal berdirinya, sehingga bisa disebut pesantren kombinasi. Desain kurikulum ini juga berwujud di pesantren Tebu Ireng (1933) setelah KH. Wahid Hasyim, putra dari KH. Hasyim Asy’ari kembali dari Makkah. Namun perubahan tersebut tetap menjaga implementasi model belajar pesantren salafiyah berbasis kultur klasik.

Dibanding pesantren umumnya masa itu, pesantren ala A. Hassan ini memiliki ciri khas tersendiri pada proses pembelajarannya. Model berpikir merdeka dalam pembelajarannya menghasilkan proses riset mandiri yang melatih santri untuk melakukan implementasi berbagai macam keilmuan, seperti bahasa Arab, kaidah fikih, usul fikih, ilmu hadis, ilmu mantik, dan lainnya, menuju istimbath ahkam. Tentu saja cara pembelajaran seperti ini tidaklah mudah karena memerlukan nalarisasi dan sikap kritis yang tinggi, diikuti kecerdasan santri. Akan selalu ada nilai positif dan negatifnya, akan selalu tampak kelebihan dan kelemahannya.

Kelemahan yang dimaksud adalah bahwa tidak semua santri punya kesiapan dengan pola belajar seperti itu, sehingga outcome yang ada biasanya ‘jomplang’, antara mereka yang cerdas plus disiplin dengan pribadi santri yang sebaliknya. Bagi santri yang lulus tidak sesuai harapan, tentu saja tidak bisa hadir dalam masyarakat dengan kemampuan riset dan nalarisasi yang berkembang. Mereka cenderung stag seperti masa-masa nyantri dulu. Padahal konteks-konteks keagamaan yang terkait hukum Islam terus berkembang, apalagi berkenaan dengan hukum muamalah.

Ke depan, ada baiknya bila proses pengajaran yang unik dan luar biasa ala pesantren PERSIS Bangil ini mempertimbangkan dua hal berikut, pertama memperkaya bahan ajar dan obyek pembahasan yang bersifat komparasi pada sistem istimbath ahkam. Ini bisa dilakukan pada metode istimbath ahkam imam-imam fikih, khususnya imam mazhab yang empat. Hal ini bisa dilaksanakan di kelas akhir untuk memperluas wawasan dan sikap santri, khususnya pada pemahaman tentang metodologi hukum Islam. Kemudian dilakukan penataan secara disiplin pada ilmu-ilmu alat: bahasa Arab, ilmu usul fikih, ilmu mantik. Setidaknya mulai tahun ketiga atau keempat para santri sudah menguasai dan memahami ilmu-ilmu tersebut, sehingga proses integrasi pembelajarannya bisa meminimalkan hambatan-hambatan yang terkait penguasaan ilmu alat dan tentunya para santri akan lebih menikmati proses pembelajarannya.  

Kedua, karena metode dan proses pembelajaran tersebut sangat unik, maka perlu juga setiap tahunnnya diadakan evaluasi secara menyeluruh. Bagi santri yang kemampuannya di bawah standar, harus dicarikan solusi yang tepat terkait proses pembelajarannya, tanpa terbebani oleh metode tersebut. Tentu saja hal ini sebagai usaha assesment menyeluruh agar para santri bisa berhasil dengan maksimal. Kemudian pada tahun keempat, para santri bisa saja diklasifikasikan menjadi 3-4 kelompok belajar setelah dievaluasi oleh pihak pesantren. Sehingga pada ujian akhir tahun keenam berupa paper bisa lebih bervariasi dan sesuai minat para santri. Ibaratnya, pohon rambutan jangan dipaksa berbuah mangga, tapi diupayakan bisa menghasilkan buah rambutan yang berkualitas. 

Kini, setelah puluhan tahun tetap eksis sebagai bagian dari ikon pendidikan Islam di Indonesia, kebaruan apa saja yang bisa dihadirkan oleh pesantren ala Tuan Guru A. Hassan ke depan? Wallahu a’lam

(baca selengkapnya di Pendidikan Bukan-Bukan Dr. Ulil Amri Syafri, MA)

Pendidikan Bukan-bukan


0 komentar:

Post a Comment