Pesantren PERSIS Bangil berdiri pasca era perubahan dan pergolakan pendidikan Islam di Nusantara, khususnya di tanah Minangkabau. Hasil pergolakan tersebut telah menghasilkan model pendidikan kombinasi dengan desain kurikulum kombinasi. Meskipun PERSIS Bangil dinamai pesantren, tapi kurikulumnya sudah mengunakan kurikulum madrasah sejak awal berdirinya, sehingga bisa disebut pesantren kombinasi. Desain kurikulum ini juga berwujud di pesantren Tebu Ireng (1933) setelah KH. Wahid Hasyim, putra dari KH. Hasyim Asy’ari kembali dari Makkah. Namun perubahan tersebut tetap menjaga implementasi model belajar pesantren salafiyah berbasis kultur klasik.
Dibanding pesantren
umumnya masa itu, pesantren ala A. Hassan ini memiliki ciri khas tersendiri
pada proses pembelajarannya. Model berpikir merdeka dalam pembelajarannya
menghasilkan proses riset mandiri yang melatih santri untuk melakukan
implementasi berbagai macam keilmuan, seperti bahasa Arab, kaidah fikih, usul
fikih, ilmu hadis, ilmu mantik, dan lainnya, menuju istimbath ahkam.
Tentu saja cara pembelajaran seperti ini tidaklah mudah karena memerlukan
nalarisasi dan sikap kritis yang tinggi, diikuti kecerdasan santri. Akan selalu
ada nilai positif dan negatifnya, akan selalu tampak kelebihan dan
kelemahannya.
Kelemahan yang
dimaksud adalah bahwa tidak semua santri punya kesiapan dengan pola belajar
seperti itu, sehingga outcome yang ada biasanya ‘jomplang’, antara
mereka yang cerdas plus disiplin dengan pribadi santri yang sebaliknya. Bagi santri
yang lulus tidak sesuai harapan, tentu saja tidak bisa hadir dalam masyarakat
dengan kemampuan riset dan nalarisasi yang berkembang. Mereka cenderung stag
seperti masa-masa nyantri dulu. Padahal konteks-konteks keagamaan yang terkait
hukum Islam terus berkembang, apalagi berkenaan dengan hukum muamalah.
Ke depan, ada
baiknya bila proses pengajaran yang unik dan luar biasa ala pesantren PERSIS
Bangil ini mempertimbangkan dua hal berikut, pertama memperkaya
bahan ajar dan obyek pembahasan yang bersifat komparasi pada sistem istimbath
ahkam. Ini bisa dilakukan pada metode istimbath ahkam imam-imam
fikih, khususnya imam mazhab yang empat. Hal ini bisa dilaksanakan di kelas
akhir untuk memperluas wawasan dan sikap santri, khususnya pada pemahaman tentang
metodologi hukum Islam. Kemudian dilakukan penataan secara disiplin pada
ilmu-ilmu alat: bahasa Arab, ilmu usul fikih, ilmu mantik. Setidaknya mulai tahun
ketiga atau keempat para santri sudah menguasai dan memahami ilmu-ilmu
tersebut, sehingga proses integrasi pembelajarannya bisa meminimalkan
hambatan-hambatan yang terkait penguasaan ilmu alat dan tentunya para santri
akan lebih menikmati proses pembelajarannya.
Kedua, karena metode dan proses pembelajaran tersebut sangat
unik, maka perlu juga setiap tahunnnya diadakan evaluasi secara menyeluruh. Bagi
santri yang kemampuannya di bawah standar, harus dicarikan solusi yang tepat terkait
proses pembelajarannya, tanpa terbebani oleh metode tersebut. Tentu
saja hal ini sebagai usaha assesment
menyeluruh agar para santri bisa berhasil dengan maksimal. Kemudian pada tahun keempat, para santri bisa saja diklasifikasikan menjadi 3-4 kelompok belajar setelah dievaluasi oleh pihak
pesantren. Sehingga
pada ujian akhir
tahun keenam berupa paper bisa lebih bervariasi dan sesuai minat para
santri. Ibaratnya, pohon
rambutan jangan dipaksa berbuah
mangga, tapi diupayakan bisa menghasilkan buah rambutan
yang berkualitas.
Kini, setelah puluhan tahun tetap eksis sebagai bagian dari ikon pendidikan Islam di
Indonesia, kebaruan apa saja yang bisa dihadirkan oleh pesantren ala Tuan Guru A. Hassan ke depan? Wallahu a’lam
(baca selengkapnya di Pendidikan Bukan-Bukan Dr. Ulil Amri Syafri, MA)
Pendidikan Bukan-bukan |
0 komentar:
Post a Comment