Cluster Casablanca, Sentul City, Bogor - Jawa Barat - 16810 | Hotline: 0813-1112-5384 (Call/SMS/WA)
1st Islamic Boarded Home Schooling

Belajar Bahasa Inggris

Para pelajar Muslim Cendekia Madani belajar bahasa Inggris langsung dengan native speaker.

Keberangkatan Alumni Belajar di Al-Azhar University Cairo

Para pelajar Muslim Cendekia Madani bersama-sama mengantar alumni yang diterima kuliah di Al-Azhar University Cairo.

Going To Al-Azhar University

Para pelajar Muslim Cendekia Madani sedang mengantarkan salah seorang alumni yang diterima di Al-Azhar University.

Bermain Futsal

Para pelajar Muslim Cendekia Madani sedang bermain futsal.

Berpetualang di Jungle Land

Para pelajar Muslim Cendekia Madani sedang berpetualang sambil belajar di Jungle Land, Sentul City.

Kunjungan Rombongan Cikgu dari Singapura

Rombongan dari Singapura, staff pembina dan para siswa Muslim Cendekia Madani - Islamic Boarded Home Schooling.

Belajar bahasa Arab di alam

Para siswa Muslim Cendekia Madani sedang belajar bahasa Arab di alam terbuka.

Belajar Bahasa Arab

Para siswa Muslim Cendekia Madani - Islamic Boarded Home Schooling belajar Bahasa Arab.

07 November 2025

Camping, yuk !

Yang unik dari Camping Madrasah Internasional  Technonatura 

Sistem camping ini memiliki beberapa hal yang menonjol. Yang pertama, struktur peran yang didasarkan pada usia dan tingkat kedewasaan pelajar. Siswa SMP di kelas 7 berpartisipasi dan bertindak sebagai ketua regu, siswa SMP di kelas 8 bertindak sebagai panitia penuh dari persiapan hingga pelaksanaan, dan siswa SMP di kelas 9 bertindak sebagai pengawas dan pendamping mentor bagi adik-adiknya. Ini bukan hanya pembagian peran administratif; ini adalah latihan kepemimpinan kontekstual yang dilakukan secara bertahap.

#ulilamrisyafri

Kedua, siswa kelas 8 harus membuat proposal kegiatan lengkap sebelum kegiatan dimulai. Proposal ini harus mencakup latar belakang, tujuan, dasar, jadwal, dan estimasi biaya. Survei lokasi, daftar logistik, pengaturan transportasi, dan pengelolaan dana sekolah semuanya dilakukan melalui sistem laporan keuangan yang transparan. Saat ini, integritas dan kecakapan manajemen yang jarang ditemukan di usia mereka muncul. Dalam masyarakat pendidikan yang kecil, siswa ini seolah-olah berlatih menjadi masyarakat sipil.

Ketiga, empat dimensi kecerdasan dibangun melalui kegiatan lapangan selama tiga hari. Spiritual Quotient (SQ) adalah kesadaran tadabbur alam dan tafakur yang melatih rasa kehadiran Allah di antara ciptaan-Nya; Emotional Quotient (EQ) adalah pembentukan karakter seperti sabar, berani, bekerja sama, dan berempati; dan Intelligence Quotient (IQ) adalah penerapan pengetahuan teknis dan ilmiah dalam situasi nyata seperti mendirikan tenda, mengatur makanan, dan sebagainya. Physical Quotient (PQ) yaitu ketahanan tubuh dan ketangguhan mental melalui aktivitas alam yang menuntut keseimbangan antara tenaga dan pikiran.

Keempat, Selain itu, kemampuan siswa untuk membuat dokumen formal, mengelola dana, dan mengatur acara lintas jenjang termasuk untuk adik-adik Sekolah Dasar (SD) menunjukkan bahwa budaya kerja sistemik telah terinternalisasi di madrasah. Mereka bekerja karena rasa tanggung jawab kolektif daripada arahan. Di sini terlihat benih-benih kebiasaan sipil, yaitu kebiasaan hidup yang teratur dan teratur yang membangun ketahanan fisik dan kekuatan mental melalui aktivitas alam yang membutuhkan keseimbangan antara tenaga dan pikiran.

Observasi lokasi oleh mereka, menunjukkan pertimbangan yang teliti dan sistematis, termasuk luas parkiran yang dapat menampung sebelas truk besar, kualitas fasilitas seperti mushalla dan toilet, serta faktor keamanan, kebersihan, dan daya dukung lingkungan sekitar. Mereka membuat pilihan berdasarkan proses belajar berbasis rasa dan tanggung jawab kolektif, bukan hanya keputusan teknis. Para pelajar tidak hanya melihat, tetapi mereka juga menimbang nilai dan konsekuensi dari setiap keputusan yang mereka buat. Hal ini menunjukkan keberhasilan pendidikan yang mengasah kecerdasan praktis (al-‘aql al-‘amali). Dalam istilah Ibnu Khaldun disebut ʿaql al-madani, sekaligus moralitas dalam bertindak (al-‘aql al-akhlaqī), yaitu dua dimensi yang menjadi ruh dari pendidikan sejati.

Sukses untuk para pelajar hebat, teruslah jadi insan pembelajar !

#ulilamrisyafri

06 November 2025

Pemikiran Pendidikan Ulil Amri Syafri (Part 2 habis)

Al-Qur'an menjadi sumber inspirasi utama dalam seluruh pertimbangannya dan gagasannya.  Ayat-ayat Tuhan, yang berbunyi, “Wa laqad karramnā banī Ādam” (QS. Al-Isra: 70)—“Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak cucu Adam,” mengajarkan Ulil Amri Syafri tentang nilai-nilai pendidikan.  Dari ayat ini, ia meletakkan dasar gagasan bahwa pendidikan adalah upaya untuk memuliakan manusia, menjaga fitrah ilahiah, dan menanamkan rasa tanggung jawab moral. 

#ulilamrisyafri

 Pokok-pokok Pemikiran Pendidikan Ulil Amri Syafri.

 1. Pendidikan sebagai Penjaga Fitrah dan Pengembang Potensi.

Ulil Amri mengatakan bahwa pendidikan harus dilakukan dalam dua arah: "Himāyatul fiṭrah wa tanmiyatul mawāhib." Dengan kata lain, pendidikan harus menumbuhkan kreativitas, rasa ingin tahu, dan bakat insani untuk membuat orang menjadi individu yang bermanfaat, bukan mengikis kemurnian hati dan akal.  Ia percaya bahwa pendidikan dapat membantu memajukan potensi kemanusiaan dan mempertahankan fitrah yang murni.

2. Pendidikan Berbasis Adab dan Rasa

Ulil Amri Syafri mengatakan bahwa adab adalah dasar peradaban. Ia menolak paradigma pendidikan modern yang hanya mengukur keberhasilan dari hasil kognitif. Dia percaya bahwa pendidikan yang benar harus mencapai dimensi qalb, atau hati dan rasa. “Kematangan budi dan kehalusan adab kini dikesampingkan, padahal di situlah letak kemuliaan manusia.” Adab bukan sekadar etika sosial, tetapi kehalusan batin yang memancar dari kesadaran spiritual dan tanggung jawab moral.

 3. Kritik terhadap 'Pendidikan bukan-bukan,

Ulil Amri menegaskan dalam bukunya "Pendidikan Bukan-Bukan" bahwa sistem pendidikan nasional telah kehilangan nilai kemanusiaan dan kejujuran. Ia menunjukkan bahwa siswa didorong untuk mengejar status dan gelar tetapi mengabaikan moralitas, kesantunan, dan tanggung jawab sosial. "Wahai pelajar, jangan menjadi koruptor di masa depan.  Jaga moralitas Anda, karena orang bodoh dapat menghancurkan negara." Buku ini berfungsi sebagai seruan moral untuk memastikan bahwa pendidikan tidak menghasilkan generasi cerdas yang tidak bermoral, tetapi orang-orang yang berilmu dan berakhlak. 

#ulilamrisyafri

 4. Pendidikan sebagai Peradaban.

Menurut Ulil Amri, pendidikan dan peradaban adalah satu dan sama.  Sistem pendidikan yang berjiwa, berkarakter, dan berpijak pada nilai-nilai budaya bangsa menciptakan peradaban. Karenanya ia menghubungkan pemikiran tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, Mbah Hasyim Asy‘ari, dan ulama-ulama lokal Nusantara sebagai pilar konseptual untuk membangun “Peradaban Pendidikan Nasional.”

 5. Nasionalisme dan Kearifan Lokal.

Bagi Ulil Amri, nasionalisme yang tumbuh dari pendidikan bukanlah nasionalisme sempit, melainkan nasionalisme kultural dan spiritual.  Cinta tanah air, dalam pandangannya, bersumber dari kesadaran akan anugerah Tuhan yang termanifestasi dalam budaya, bahasa, dan nilai-nilai luhur bangsa. Ia mendorong agar pendidikan karakter di Indonesia berakar pada kearifan lokal dan nilai-nilai religius.

 6. Pendidikan sebagai Dialog Hati dan Ilmu.

Ulil Amri menekankan pentingnya "kedekatan hati" antara guru dan murid dalam praktik dan pandangan filosofisnya.  Dia percaya bahwa pendidikan adalah percakapan langsung antara orang-orang dan bukan sekadar penyebaran pengetahuan.  Guru bukan hanya penyampai pelajaran; mereka adalah pembimbing jiwa.  Relasi itu harus dilandasi kasih, keikhlasan, dan penghormatan timbal balik — sebagaimana nilai-nilai yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan tradisi para ulama terdahulu.

Pemikiran pendidikan Dr. Ulil Amri Syafri menampilkan sintesis antara spiritualitas Qur’ani, kebudayaan lokal, dan visi kebangsaan.  Ia menawarkan arah baru bagi pendidikan Indonesia: pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan akal, tetapi juga menyucikan hati; pendidikan yang tidak sekadar menghasilkan tenaga kerja, tetapi melahirkan manusia yang beradab, merdeka, dan berjiwa bangsa


Pemikiran Pendidikan Ulil Amri Syafri (Part 1)

Dalam arus modernitas dan kemajuan teknologi yang cepat, pendidikan sering terjebak dalam batas-batas pemahaman kecil: nilai ujian, ijazah, dan produktivitas ekonomi.  Orang diajarkan untuk bekerja, bukan untuk menjadi manusia yang sebenar-benar manusia.  Dalam konteks ini, Dr. Ulil Amri Syafri — sebagai seruan moral dan intelektual — menegaskan bahwa pendidikan adalah jalan kemanusiaan, jalan menjadi manusia sejati, bukan sekadar mekanisme pasar. Menurutnya, pendidikan adalah taman jiwa, tempat fitrah manusia dilindungi dan potensinya dikembangkan.  Ia menganggap pendidikan sebagai lembah dari peradaban, sebuah proses yang berkelanjutan yang menumbuhkan rasa, menanamkan adab, dan mengokohkan nilai-nilai kemanusiaan hingga mereka berakhlak mulia. Ia menolak industrinisasi pendidikan dan menegaskan bahwa rasa dan akhlak adalah dasar pendidikan. Ilmu dan kemajuan industri itu boleh, tapi berdiri di atas rasa, adab dan budaya yang tinggi bukan semata nilai materealisme, ini sesungguhnya yang unik konsep pendidikan Indonesia yang tak terbaca utuh selama ini.

Teorinya berasal dari keprihatinan yang mendalam tentang tujuan pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara, yang seharusnya memupuk moralitas, kebebasan berpikir, dan tanggung jawab nasional.  Ia percaya bahwa tugas pendidikan adalah menjaga keseimbangan antara kecerdasan dan kebajikan, kemajuan dan kemanusiaan, dan ilmu dan hati. Gagasan Ulil Amri ini lebih dari sekadar teori; itu adalah panggilan spiritualitas dan kebangsaan untuk memastikan bahwa institusi pendidikan tidak kehilangan ruhnya, guru tidak kehilangan kemuliaannya, dan siswa tidak kehilangan jati dirinya.  Untuk mewujudkan individu yang berakhlak mulia, merdeka, dan berjiwa bangsa, ia mendorong bangsa ini untuk kembali ke hakikat pendidikan sejati, yaitu pendidikan yang menjaga fitrah (ḥimāyatul fiṭrah) dan mengembangkan potensi (tanmiyatul mawāhib). 

#ulilamrisyafri

Pendidikan Membutuhkan Islamic Worldview?

Pendidikan yang dibangun dalam kerangka Islamic Worldview memiliki landasan yang kuat, sebab kerangka tersebut mengarahkan kita untuk melihat setiap aspek kehidupan—termasuk pendidikan—dari perspektif yang menyeluruh, yang memadukan nilai-nilai dunia dan akhirat, serta meletakkan iman sebagai dasar tindakan. 

Islamic Worldview (Paradigma Islam) adalah cara pandang yang berdasarkan pada prinsip-prinsip ajaran Islam dalam memahami segala aspek kehidupan. Ia mencakup cara berpikir dan bertindak yang berlandaskan pada akidah (keyakinan dasar dalam Islam) dan ajaran Islam secara umum, dengan orientasi yang memadukan dunia dan akhirat. Paradigma ini mencakup cara pandang terhadap kehidupan manusia, alam semesta, masyarakat, kemajuan, nilai-nilai moral, dan hubungan manusia dengan Tuhan serta sesama. Dalam Islamic Worldview, segala sesuatu di alam  dilihat sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki tujuan dan keteraturan, termasuk akal manusia, ia adalah karunia Ilahi yang saling memadu fungsi dan keterkaitannya dengan wahyuNya.

Hadirnya Islamic Worldview terletak pada kemampuannya untuk memberikan landasan yang komprehensif bagi seseorang dalam menghadapi berbagai realitas hidup, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Hal ini melibatkan pemahaman terhadap tema-tema besar seperti kebahagiaan, prestasi, kemuliaan, kejujuran, beradab, kebudayaan, kematian, maksiat, dan agama itu sendiri.

Dalam konteks di atas, Islamic Worldview mengarahkan individu untuk berpikir secara kritis dan beradab dalam artian terstuktur, runut, sistimatis dan dapat dipertangungjawabkan sebagai ilmiyah, dengan landasan pada fiqh teks, fiqh waqi', sunnatullah, dan fiqh awliyat—yang kesemuanya ini berfokus pada pemahaman terhadap wahyu, hukum alam, dan kehidupan manusia dalam dimensi religus dan budaya yang luas.

Islamic Worldview memberikan landasan yang kokoh untuk membangun sistem pendidikan yang berakar pada nilai-nilai Islam. Hal ini mencakup:

Pertama, Konsep Tujuan Pendidikan: Mencapai keseimbangan antara kebahagiaan dunia dan akhirat. Membentuk insan yang bertakwa, berilmu, dan berakhlak mulia, meskipun alam modernitas terus menerpa rancangan tujuan pendidikan yang beralih kepada matrealisme.

Kedua, Kurikulum: Mengenalkan materi yang bersifat pengetahuan yang luas agar terhubung kepada kebudayaan ilmu dalam budaya Islam kemudian berikutnya memberi pengetahuan yang disertakan pelatihan pengembangan potensi diri.

Ketiga, Model dan Proses Pembelajaran: Menanamkan nilai-nilai Islam melalui keteladanan dan pembiasaan. Menggunakan pendekatan integratif yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Keempat, Evaluasi: Mengukur pencapaian siswa tidak hanya pada aspek akademik, tetapi juga akhlak dan keberagamaan. Menggunakan indikator yang sesuai dengan nilai-nilai Islam

Namun, untuk benar-benar menginternalisasi Islamic Worldview dalam proses pendidikan dan kehidupan sehari-hari, seorang muslim harus memperkuat literasi Islamis dan kemampuan berpikir kritis.

Literasi Islamis di sini berarti pemahaman yang mendalam terhadap ajaran-ajaran Islam, termasuk pemahaman terhadap Al-Qur'an, Hadis, serta fikih, akhlak, dan sejarah Islam. Sedangkan untuk mengembangkan Islamic Worldview yang efektif, seorang Muslim harus mampu berpikir kritis, yakni kemampuan untuk mengevaluasi informasi, analisis, dan situasi berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang terkandung dalam wahyu ilahi dan Sunnah, serta atas bimbingan dan sudut pandang ulama yang kompeten.

#ulilamrisyafri

Berpikir kritis memungkinkan individu untuk tidak hanya menerima apa adanya, tetapi juga untuk mempertanyakan, merenung, dan mengkritisi sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam dan sesuai kemerdekaan fungsi akal dan kemuliaannya. Tanpa dua hal tersebut maka Islamic Worldview tak akan berwujud pada individu muslim itu sendiri.

Manfaat Islamic Worldview dalam Pendidikan antara lain Pembentukan Karakter Islami tidak kehilangan identitas, Pengembangan Potensi Manusia secara natural sesuai tujuan hidup manusia, Keselarasan Ilmu dan Agama, serta lahirnya profil bijaksana dalam Pengambilan Keputusan melalui latihan siswa untuk berpikir kritis dan adil, dalam artian bersikap dan berpihak pada kebenaran yang telah ditemukan bukan hanya berdasar emosional. Dengan demikian, Islamic Worldview dalam pendidikan sangat penting sebagai identitas. Ia menanamkan tujuan hidup yang lebih tinggi, lebih mendalam, dan lebih mengarah kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. #ulilamrisyafri #pendidikanbukanbukan #gurumanusia

Pendidikan & Akal Manusia

Bagi Ibnu Khaldun, ide pemikiran manusia harus mengarah pada kemaslahatan bersama, bukan sekadar memuaskan ego atau naluri dasarnya. Dalam hal ini, Imam Al-Ghazali mengatakan, "Kalaulah tidak karena pendidikan, maka manusia itu seperti bahā’im (binatang ternak)." Ini adalah kritik tajam terhadap sifat dasar manusia yang tanpa pendidikan akan kembali pada naluri hewani—hidup hanya untuk memenuhi hawa nafsu, tanpa rasa malu dan tanpa arah moral.
#ulilamrisyafri

Ali Abdul Halim Mahmud, ulama tersohor al-Azhar Mesir, pernah menulis topik penting tentang ‘pendidikan akal’. Pendidikan akal yang dimaksud adalah mengarahkan, menghargai, membebaskan, atau memerdekaan akal dari penyimpangan, serta menjaganya dari hilangnya kemuliaan. Pendidikan akal manusia dilakukan agar bisa menuju pada derajat yang terbaik (ahsanul mustawa).

Lebih jelas disampaikan Ali Abdul Halim Mahmud bahwa pendidikan akal memiliki tujuan, antara lain membiasakan akal berkembang dan mendapatkan pencerahan, mengokohkan akal berpikir secara saintis, hingga tidak dipenuhinya pikiran dengan khurafat dan hawa nafsu; kemudian membebaskan akal tapi juga merawatnya, seperti adanya ruang bagi akal untuk berijtihad, menolak taklid buta, dimubahkan melakukan kritik, bahkan juga mubah untuk berbeda pendapat. Ini semua berfungsi untuk menghargai akal tersebut, sekaligus menegaskan posisi akal dalam kehidupan dan memberi ruang pada akal untuk bermusyawarah pada perselisihan. Hal itu semua menjadi bagian dari proses pendididikan untuk akal. Berbeda dengan pandangan filsuf Barat seperti Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa "manusia adalah serigala bagi manusia lainnya" (homo homini lupus), Ibnu Khaldun justru memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi luhur. Naluri memang ada, bahkan tak jarang manusia berperilaku seperti binatang—membunuh, menyakiti, dan merusak. Namun, manusia diberikan akal sebagai penuntun untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Di sinilah pendidikan memainkan peran krusial. Pendidikan membimbing manusia untuk mengendalikan nafsu dan memaksimalkan potensi berpikirnya. Ini ada kemiripan dengan teori Plato (w. 347 SM) yang mengatakan bahwa rasio bertugas mengendalikan roh dan nafsu agar ketiganya selaras. Dengan demikian, argumen Ibnu Khaldun dan Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa manusia bukan sekadar makhluk berpikir seperti yang diyakini René Descartes, melainkan makhluk yang memiliki akal, yang kecerdasannya diproses melalui pendidikan, agar mencapai martabat yang sebenarnya.

#ulilamrisyafri



01 November 2025

Guru: Retaknya Ekonomi & Kehormatan?

Pendidikan adalah fondasi peradaban. Kalimat ini sudah lama disepakati secara ijma'. Namun fondasi itu kini retak bukan karena kurangnya teknologi, melainkan karena lunturnya martabat guru. Krisis pendidikan Indonesia bukan terletak pada sarana digital, tetapi pada pergeseran nilai yang menempatkan guru hanya sebagai pelaksana kurikulum, bukan penuntun akal dan pembimbing jiwa.

Guru terjebak di banyak hal: birokrasi yang kaku hingga para guru terpenjara jiwanya oleh tuntutan birokrasi; Berlanjut pada beban administrasi yang menyesakkan, bahkan setingkat guru pun ada kewajiban publikasi ilmiah. Padahal tugas mendidik saja sudah amat berat. Kesejahteraannya jauh dari layak. Belum lagi ketimpangan distribusi guru, minimnya pelatihan bermakna, dan pudarnya penghargaan sosial; semua itu telah melahirkan generasi pendidik yang lelah dan kehilangan ruh kemanusiaan.

Akibatnya, pendidikan kehilangan arah esensi dan moral. Melenceng dari harapan Bapak Pendidikan kita, Ki. Hajar Dewantara. Sekolah kini lebih sibuk mencetak tenaga kerja daripada membentuk manusia beradab, manusia yang sanggup menciptakan peradaban yang adil, makmur, dan kelak bisa hidup sejatera dan harmonis masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, wacana mengembalikan guru kepada makna pamong adalah keniscayaan, yakni sosok penuntun yang tidak hanya mengajar, tetapi membimbing, mengasuh, dan menumbuhkan manusia agar mengenal dirinya, lingkungannya, dan Tuhannya.

Pamong adalah wajah sejati guru: menuntun dengan kasih, menegur dengan hikmah, dan mendidik dengan keteladanan. Dalam makna pamong inilah, guru menjadi jiwa dari pendidikan itu sendiri — bukan semata pengisi kurikulum, apalagi menempatkan diri hanya bekerja yang mendapatkan upah, tentu tidak! Pamong adalah penjaga kehidupan dan peradaban bangsa di setiap detik pengabdiannya.

Dalam pandangan Islam, pembaruan pendidikan yang sejati harus dimulai dari pengembalian maqām guru ke posisi aslinya: penjaga fitrah, pewaris nilai kenabian, dan penuntun jiwa bangsa. Guru bukan sekadar pengajar materi, tetapi perancang peradaban yang menanamkan adab, akal sehat, ilmu dan integritas moral. Negara harus menegakkan kembali martabat guru dengan kebijakan yang adil — kesejahteraan yang memanusiakan, pembinaan profesional berkelanjutan, serta ruang otonomi moral dan intelektual yang bebas dari tekanan politik dan birokrasi.

Karena itu, gerakan dan tuntutan guru hari ini tidak boleh berhenti pada soal kesejahteraan, tetapi harus diarahkan pada pemulihan wibawa dan martabat maqām guru yang telah lama direduksi. Sebab guru tidak boleh retak di dua sisi — ekonomi dan kehormatan. Bila salah satu rapuh, maka pilar peradaban bangsa akan ikut runtuh di satu abad Indonesia merdeka 2045. by: #Ulilamrisyafri

14 August 2025

Inyiak Daud Rasyidi, Ulama Adab dan Budaya

Balingka adalah kampung yang indah dan sejuk—terhampar di pelukan bukit dan Gunung Singgalang, ditenun kabut pagi, dan disiram cahaya kenangan.Tanah ini menyimpan sejarah besar dan jejak-jejak kebijaksanaan yang nyaris terlupakan. Di desa kecil ini, konon pernah hadir bapak angkat dan guru jiwa Tan Malaka (1897–1949), tokoh revolusioner yang kelak mengguncang dunia dengan pemikirannya. Balingka bukan sekadar titik di peta, melainkan pelataran sunyi tempat tumbuhnya kesadaran, keberanian, dan cinta tanah air.

Salah satu sosok agung dari tanah ini adalah Inyiak Haji Daud Rasyidi rahimahullah—ulama kharismatik, penyulam adab, guru ruhani, dan pemelihara budaya tinggi. Ia dikenal sebagai guru dari sang guru jiwa Tan Malaka, sekaligus penjaga nilai yang menerangi zamannya.

Buku Inyiak Daud Karya Dr, Ulil Amri Syafri
Pada 1895, beliau berguru kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860–1915), Mufti Syafi‘i di Tanah Haram dan guru dari tokoh-tokoh besar seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy‘ari, dan Inyiak Haji Sulaiman Ar-Rasuli (PERTI)—para peletak dasar perjuangan Islam di Nusantara. Persahabatannya dengan Syekh Tahir Jalaluddin, sepupu Ahmad Khatib sekaligus tokoh pembaru Islam di Malaysia, memperluas cakrawala keilmuannya. Ia juga menjalin hubungan erat dengan ayahanda Buya HAMKA, serta bersinergi dengan Syekh Djamil Djambek dalam perjuangan dan dakwah.

Tak hanya melalui kitab dan mimbar, Inyiak Daud juga memberi sentuhan ruhani kepada Syekh Adam BB, pendekar silat yang berubah menjadi ulama dan pendakwah. Dari garis keluarganya lahir pula Muchtar Luthfi (1900–1950), murid didikannya yang menjadi pejuang gigih hingga dibuang ke Tanah Merah Digul bersama H. Jalaluddin Thaib. Sementara dari rahimnya sendiri lahir Buya Datuk Palimo Kayo, sahabat Buya HAMKA dan Mohammad Natsir, yang juga tumbuh dalam cahaya didikannya.

Inyiak Daud tak hanya mendidik, ia membentuk pribadi-pribadi merdeka—berpikir tajam, berhati jernih, dan berjiwa pemberani. Jejak langkahnya masih menyuburkan tanah Balingka hingga kini—bagai akar halus yang menyalurkan ruh pengabdian, ilmu, dan adab kepada generasi demi generasi.
Ia bukan sekadar ulama kampung, tapi penjaga nyala peradaban, dari tangannya ruh kebaikan mengalir luas: kepada santri, pendekar, pejuang, hingga tokoh bangsa

 #DrUlilAmriSyafri #InyiakDaudRasyidi #UlamaMinangkabau

 

 

 

 


12 February 2024

Di penghujung hari Kampanye Pilpres 2024, mantan tim media FSAM 2019 berkesempatan berbincang santai dengan Sekjen FSAM 2019 dan Komandan Cyber Forum Silaturrahim Alumni Mesir yang aktif di tahun pemilu 2019 silam.

Pada Pilpres tahun 2019, FSAM ketika itu mendukung pasangan O2, Prabowo-Sandi. 

Berikut kami sajikan sedikit bincang santai Eksklusif tersebut via Medsos.

Assalamualaikum ustadz Dr. Ulil Amri Syafri.

Wa Alaikum Salam Sobat. Sehat selalu yaa

Alhamdulillah ustadz. Mau bertanya sedikit, boleh yaa?

Silakan!

Apa tanggapan Ustadz tentang Pilres 2024 ini dengan 3 Paslon?

Waduh, pertanyaan hangat ini.. Saya Pikir dan juga prediksi saya, sepertinya pemilu kali ini akan terjadi dua putaran. Karena masing-masing Paslon saat ini punya massa yang hampir sama-sama kuat. Dan melihat keadaan saat ini, akan sulit mereka menang satu putaran. 

Kalau betul-betul terjadi dua Putaran, bagaimana ustadz melihatnya?

Oh, sangat Menarik! Kenapa? Setidak ada 3 alasan saya: pertama, akan terjadi proses seleksi alam hadirnya Pemimpin, dalam hal ini Presiden dan Wakil yang betul-betul pilihan Rakyat. Bukan rekayasa dan dagelan cawe-cawe pihak-pihak tertentu. Kedua, bila terjadi dua Putaran, maka setidaknya rencana kecurangan di putaran pertama terbukti sulit dilakukan oleh Paslon nomer berapapun dalam Perhitungan suara. Tentu taktik dari 3 Paslon tersebut membawa nilai positif kalau di bandingkan sejak awal hanya dua Paslon. Dan yang ketiga, ini cukup penting. Kalau betul terjadi dua putaran, maka isu Politik identitas yang sebelum ini sangat seksi, hilang begitu saja dengan dinamika debat dan dialog Politis ketiga Paslon, 01, 02, dan 03. Artinya apa? Kita melihat dialektika politiknya lebih pada substansi Program, sekaligus mengedepankan kepentingan Rakyat banyak, bukan nafsu elit Politik lagi.

Wow, menarik! Oya, FSAM sendiri saat ini mendukung Paslon yang mana, kalau boleh tahu?

Saat ini bukan porsi saya memberi komentar tentang FSAM. Silakan tanyakan kepada pimpinannya. Tapi kalau pendapat  pribadi saat ini, juga sebagai mantan Sekjen FSAM 2019, alumni Mesir selalu dalam ikatan yang Solid. Kami berada dalam kepahaman yang aman menjunjung tinggi  toleransi, termasuk toleransi dalam pilihan Pilpres, walaupun berbeda-beda. Dengan prinsip seperti ini, saya yakin dukungan FSAM ada di setiap Paslon. Kami sangat mengapresiasi sikap pilihan Politik kawan-kawan. Yang penting, seluruh alumni tetap akur dan gembira melihat  berbagai dinamika tersebut.

Oya, pesan saja, bila nanti betul-betul terjadi dua Putaran, semoga isu Politik identitas tidak lagi memicu Konflik. Bahkan seharusnya semua alumni Mesir bisa menjadi bagian Solusi dari   dialektika tersebut. Kepahaman pada karakter washatiyah Islam dan Islam sebagai rahmatan Lil Alamin harus menjadikan para alumni Mesir sebagai Penyejuk dari dahaga Rakyat. Bukan malah sebaliknya, memprovokasi yang tidak berfaedah baik.

Bagaimana teknik menjaga suara rakyat dari kecurangan? Bisakan peran teknologi di maksimalkan?

Kalau pertanyaan ini bisa ditanyakan langsung pada komandan cyber FSAM 2019 ya!

Siap Ustadz, laksanakan!

Pertanyaan untuk komandan Cyber FSAM 2019: Bagaimana teknik menjaga suara rakyat dari kecurangan? Bisakan peran Teknologi di maksimalkan?

Komandan Cyber: Cara paling jitu dalam proses menjaga suara Rakyat itu, ya lewat form C. Tapi kalau curangnya dari coblosan, susah, karena form C sudah cacat. 

Sebenarnya kalau mau idealis dan modern, paling bagus ya pake virtual voting, pakai biometrix.

Kalau Pemerintah yang 10 tahun ini sudah mengagendakan infrastukturnya sejak awal, khususnya berkait cara Pemilu, maka seharusnya Pemilu 2024 kali ini akan jauh lebih maju dan menyenangkan.

Tidak akan penuh dengan kecemasan kecurangan dan sebagainya. Paling tidak kami ingin mengatakan, kalau Pemilu masih cara manual seperti saat ini, rawan curang rill akan selalu terjadi kecemasan bersama.

Semoga saja Pilres 2024 ini akan melahirkan Pemerintah yang cerdas, melek teknologi, berwawasan Nasionalisme dan internasional. Dan yang sangat Penting, Beretika atau beradab tinggi untuk Indonesia yang lebih mantab!

Kembali pada Ustadz Dr. Ulil Amri Syafri. Apa pesan-pesan ustadz pada perhelatan pilpres 2024 kali ini?

Sebagai muslim dan intelektual yang berpendidikan tinggi, kita harus tetap berkeyakinan plus Optimis, Insyaallah Bangsa dan negeri kita yang hebat ini akan selalu penuh barakah dari NYA. Tentu Allah SWT akan takdirkan hadirnya Pemimpin Yang terbaik untuk Indonesia ke depan. Kita manusia hanyalah semut-semut kecil yang sedang main drama kehidupan.

Salam Demokrasi sehat! 👍

MaasyaAllah. Alhamdulillah. Terima kasih atas bincang-bincang santainya, ustadz. Semoga pemilu 2024 bisa berjalan dengan lancar, aman, dan damai

Sumber berita: alazharcenter.com


                                                                   

#Adab
#Etika


04 July 2023

Pendidikan dan Kebudayaan

Peradaban manusia terus bertumbuh dan berkembang. Bermula dari masa manusia berburu hingga manusia industri dengan ditandai munculnya revolusi teknologi. Peradaban itu terus melaju memasuki wilayah digitalisasi dan cyber zone. lalu, manusia tidak saja berbahasa lisan seperti era nabi Adam as, tapi juga menghadirkan bahasa virtual. Semua ruang dan waktu makin singkat dan terbuka, hingga menciptakan komunikasi dan relasi yang semakin luas tak bertepi. Namun ironisnya manusia justru lebih mudah terancam dengan kemajuan itu sendiri.

Idealnya, kemajuan bisa membangun kolaborasi. Tapi nyatanya tidak sedikit malah yang melahirkan persaingan buruk globalisasi, dan tentu berdampak pada alam dan lingkungan, keseimbangan, kemakmuran bahkan ancaman perang dan imperealisme gaya baru. Di dunia pendidikan, sudah terjadi para pengajar ‘berebut posisi’

dengan Google dalam satu kompetisi yang menempatkan Google sebagai the winner. Lebih dahsyat lagi, ketika manusia memasuki era metaverse, kebudayaan yang diusung dalam pendidikan nasional pun bisa terjugkal. Sungguh, pergerakan peradaban yang amat radikal.

Lalu, saat ini, dimana hebatnya Pendidikan Nasional yang pernah digagas oleh tokoh besar seperti Ki Hajar Dewantara?


Buku Frasa Agama hadir sebagai narasi baru dari pemikiran pendidikan hebat Ki Hajar Dewantara tersebut yang mungkin bisa memperkaya hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Setelah saya baca secara mendalam, pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara sangat layak dan harus terus digali serta dikaji oleh mereka yang mencintai pendidikan nasional. Apalagi bagi mereka yang bergerak di dunia pendidikan. Hal ini tidak saja berkaitan dengan ilmu pendidikan saja, tapi kita juga butuh membaca ruh pendidikan seperti apa yang diinginkan Ki Hajar Dewantara sebenarnya. Harapan saya, semoga pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara bisa menjadi bahan kajian serius pada kuliah kesarjanaan di Indonesia, khususnya mereka yang berada pada Program Studi Pendidikan dan Pengajaran, juga bagi siapa pun yang akan mengabdikan dirinya menjadi pendidik di negeri ini.

Meskipun mungkin sudah banyak peneliti yang mengaitkan corak pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara ini dengan Maria Montessori, Rabindranath Tagore, Paulo Freire, atau bahkan dengan penggagas pendidikan yang mengusung kemerdekaan manusia dalam belajar—tentu ini berkaitan dengan negara-negara terjajah—namun model pendidikan Ki Hajar Dewantara tetap memiliki ciri khas sendiri, karena apa yang menjadi falsafah hidupnya dan falsafah pendidikannya, berakar dari budaya masyakaratnya.

Untuk lebih jelasnya, bisa kunjungi Channel Kampus Digital Dr. Ulil Amri Syafri



ADAB Rasa Lokal

“Kalau perlu biarlah ilmu sedikit asal jiwa besar, daripada ilmu besar tetapi jiwa kecil.” 

Begitulah kira-kira kata yang amat khusus dari seorang M. Sjafei. Maksudnya adalah mereka yang menanamkan dan memupuk sifat-sifat manusia lebih utama dari mereka yang memiliki segudang ilmu. Pemikirannya ini dapat diklasifikasikan untuk menggambarkan situasi dan kondisi pendidikan Indonesia.

Pertama, dalam sosial masyarakat Indonesia saat ini ada jiwa yang berkaitan dengan keagamaan yang tak boleh abai, bahkan harus menjadi ciri khas masyarakat Indonesia, yaitu manusia beragama dan bertoleransi. Pada konsentrasi ini butuh para konseptor sekelas ulama yang berwawasan luas dan berkebangsaan agar dapat memberi rumusan yang bisa dimanfaatkan dunia pendidikan di Indonesia.

Kedua, pembangunan jiwa yang berkait dengan perwatakan manusia, tentunya yang didasasi akhlak mulia. Diantaranya adalah pribadi percaya kepada diri sendiri, rasional dan logis, berperasaan tajam dan kritis, gigih atau ulet, aktif, punya daya cipta dengan kecerdasannya, ketekunan berusaha, dan kejujuran. Pembangunan jiwa ini dimasukan pada seluruh proses pendidikan dan pengajaran, bukan terpisah-pisah. Guru bisa mendidik berpikir logis pada materi matematika, pun demikian dalam mendidik akhlak. Harus logis bukan mistis.

Ketiga, yang amat khas dari pemikiran dari M. Sjafei adalah mendorong pengembangan bakat diri setiap anak di Indonesia. Artinya, jiwa anak-anak Indonesia harus terus diberi ruang agar minat dan bakatnya tidak saja tumbuh, tapi dengan pendidikan dan pengajaran, menjadikan minat dan bakat anak-anak Indonesia itu berkembang menjadi ‘skill professional’. ‘Skill professional’ ini adalah kekayaan yang sulit ditandingi jika betul-betul dapat terealisasi. Pendidikan bukan saja mengisi otak, tapi juga bakat dan keterampilan sebagai kekuatan. Pemikiran ini sekaligus membantah konsep dan desain kurikulum dan pengajaran one prototype dari Sabang sampai Marauke yang telah berlaku puluhan tahun di negeri ini. Bagi penulis, ‘one state, one curriculum’ memang pemikiran yang aneh bin ajaib.

Keempat, sehebat apapun anak-anak Indonesia, harus memiliki jiwa nasionalisme yang kuat sebagai manusia yang terlahir, bernafas, dan dibesarkan di bumi pertiwi ini. Maka, memiliki sikap Pancasilais bagi Sjafei menjadi am
at penting untuk keselamatan nusa dan bangsa. Jangan pula manusia Indonesia menjual dan merusak citra bangsanya pada bangsa lain di dunia, sekalipun mereka kelak mencari hidup di negara lain. Indonesia tanah airku, tanah tumbah darahku, dengan segala karunia dari-Nya. 

Jika pemikiran Sjafei dikorelasikan pada orientasi kelembagaan saat ini, maka kelembagaan semestinya tidak berorientasi elitis dan hanya semata menghasilkan tenaga kerja atau buruh. Bahkan tidak pantas pula bila lembaga pendidikan Indonesia berorientasi pada pemikiran kolonialis yang memperbudak sesama manusia sebagai warisan cara kerja penjajah. Lembaga pendidikan harus berpikir lebih realistis akan kemampuan dan kebutuhan perkembangan diri anak didik. 

 Silakan baca buku terbaru Pendidian Adab Rasa Lokal dan buka Channel Kampus Digital Dr. Ulil Amri Syafri

#ADAB