Saat ini
terkesan bahwa penyebutan istilah ulama direndahkan kualifikasinya. Demikian juga tentang keadaban ulama itu sendiri, seakan penyebutan dan penggunaan istilah ‘ulama’ semau
gue. Padahal tak semua orang-orang yang berada dalam proses tafaqquh
fi al-diin berakhir menjadi ulama. Bisa saja masih jadi tetap ‘calon ulama’ selamanya.
Artinya, biarlah
gelar ulama itu hanya diberikan oleh Sang Pencipta.
Ya, Ulama kelak di akhirat punya kedudukan istimewa. Maka berusaha jadi ulama oke, tapi ngaku-ngaku jadi ulama itu bukan adabnya ulama.
‘Alim,
‘Amil bi ilmihi, Mua’lim, dan Muhklis adalah
sedikit dari kompetensi dasar keulamaan dalam penjelasan KH. M. Hasyim Asy'ari rahimahullahu.
Dalam syair Arab yang disebutkan,
“Ilmu membawa kaum ke puncak kemuliaan, orang berlimu terjaga dari kerusakan, sedangkan
kebodohan menghancurkan
kemuliaan dan kehormatan.
لعلم بلغ قوما ذروة الشرف
وصاحب العلم محفوظ من التلف.. والجهل يهدم بيت العز و الشرف
تعلموا العلم
وكونوا من أهله . تعلموا العلم واعملوا به.
تعلموا العلم وعلمواه الناس
Pelajarilah ilmu dan jadilah ahlinya. Tuntutlah
ilmu dan beramalah dengan ilmu tersebut. Pelajarilah ilmu dan ajarkanlah kepada
manusia ilmu itu.
Tapi Ulama memang ada kualifikasinya dalam ajaran Islam, keagungan ilmu, dan kemuliaan pribadinya adalah bagiannya.
kini,—saking semangatnya— juga muncul istilah ‘ulama saintis’. Jangankan kualifikasi ulama yang benar, ditambah dengan ‘embel-embel’ saintis, maka bagai ‘pungguk merindukan bulan.’
0 komentar:
Post a Comment