Bulan Ramadhan seperti ini menjadi ajang untuk banyak hal, baik yang sangat positif maupun yang negatif. Termasuk di dalamnya ajang melatih diri agar terbiasa beribadah atau sebaliknya ajang mempertontonkan ibadah.
Shiyamu Ramadhan, Qiyamu Ramadhan, tadarus Al-Qur'an atau ramai-ramai memberi ta'jil di masjid-masjid akan meningkatkan sisi spiritualitas kita secara tajam. Di sisi lain, ancaman kebosanan beribadah juga menghantui setiap muslim yang hendak mengambil manfaat sebesar-besarnya dari bulan Ramadhan ini.
Lalu ide membuat jurnal Ramadhan menjadi hal yg jamak diaplikasikan oleh para pemburu ibadah. Bukan untuk riya' atau pamer hasil jurnal di media sosial, namun ianya suatu upaya mendispilinkan diri dan mengejar target ibadah yang diniatkan sebelum masuk Ramadhan, sebab niat saja tanpa penjadwalan, ia hanya akan berhenti sebatas niat dan tidak akan terlaksana.
Kebanyakan kita masih berpola pikir hanya sekedar menunaikan kewajiban jika berhadapan dengan urusan ibadah atau hanya ikut tren yang saat masjid-masjid penuh dengan jamaah shalat tarawih kita ikut, dan 20 hari kemudian saat mal-mal penuh dengan "jamaah" nya kita pun ikut.
Nah, tahukah anda, bahwa banyak pula yang memang berniat menghidupkan Ramadhan dengan segenap hati, raga dan fikirannya?
Datang ke masjid sebelum adzan. Rawatib, dhuha, bainal adzanain dilibas bak manusia yang tinggal 5 menit lagi masa hidupnya. Target tadarus yang selalu melebihi batas harian seakan enggan melepaskan 10 menit masa luang tanpa tilawah.
Mengapa ada pribadi yang demikian? Mengapa ada pribadi yang begitu menikmati ibadah bak orang kecanduan?
Jawaban bisa sederhana bisa juga kompleks.
Yang sederhana semacam mumpung Ramadhan. Yang kompleks barangkali sensor hati akan terlibat. Saat ia hadir di masjid sebelum yang lain, ia akan puas, bukan karena riya' tapi karena semangat fastabiqul khairat dengan sesama saudaranya, persis seperti para sahabat Rasul yang berebut shaf pertama.
Kepuasan demi kepuasan ini yang akan mendorongnya untuk terus memburu tiap ibadah tersebut, persis seperti pecandu yang akan mengusahakan pipet sabu-sabunya, meski harus dengan mencuri atau menjual habis harta bendanya.
Saat seorang pecandu ibadah memburu ibadah, komentar miring semacam "sok alim" "orang setres" atau bahkan "calon teroris" akan dilemparkan kepadanya.
Tapi apakah itu akan membuatnya berhenti? Tidak! Dan sekali-kali tidak!
Sebab pecandu narkoba pun tak akan berhenti, meski dibui sekalipun.
Dan kita semua sepakat, bahwa pecandu ibadah adalah pribadi yang luar biasa.
Bukankah kita pernah membaca atau mendengar dialog Aisyah Radhiyallahu Anha yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, mengapakah engkau beribadah malam seperti ini, hingga kaki yang pecah-pecah pun tak lagi engkau pedulikan, padahal sudah diampunkan dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?
Lalu jawab beliau: "Tidakkah aku boleh menjadi hamba yang bersyukur?"
Nah, di sini kita tahu bahwa para pecandu ibadah punya nenek moyang yang luar biasa. Antara kepuasan batin dan sikap bersyukur.
Tidakkah anda ingin mencandu ibadah juga?
Hadir di masjid sebelum yang lain hadir?
Infaq terbanyak melebihi yang lain?
Melewati target tadarus melebihi tahun-tahun sebelumnya?
Bersyukur dengan sampainya nafas kita di Ramadhan ini?
Ayo... Mumpung masih di awal!