Cluster Casablanca, Sentul City, Bogor - Jawa Barat - 16810 | Hotline: 0813-1112-5384 (Call/SMS/WA)

05 June 2016

Evaluasi Pengajaran Yang Membanggakan


Oleh: Dr. H. Ulil Amri Syafri, Lc., MA.

Evaluasi tidak saja berkaitan dalam mengetahui kognifif anak didik terhadap materi yang disampaikan dalam ruangan belajar, tapi lebih jauh lagi untuk mengetahui bagaimana anak didik itu bisa memahami ilmu tersebut dalam mengembangkan ilmu yang diperoleh pada praktek dan kreatifitasnya.

Evaluasi dalam kurikulum memiliki bermacam-macam tujuan, antara lain untuk mengetahui sejauh mana siswa mencapai kemajuan sesuai tujuan pendidikan, untuk membaca keberhasilan kurikulum, menilai efektivitas kurikulum, dan sebagainya. Evaluasi bisa dimaknai secara mendalam jika alat ukur keberhasilan sebuah proses pendidikan sudah ditentukan ketika akan memulai melakukan evaluasi.

Misalnya, dalam teori Ilmu Takhrîj masa lampau memang menggunakan banyak kitab rujukan seperti kitab Takhrîj al-Hadits al-Hidâyah, juga ada metode Maudhu'i yang melacak hadits berdasar isi hadits atau temanya, ada pula metode Syakhsyî yang melacak hadits berdasar rawi terakhir, kemudian ada metode modern yang menggunakan kata per kata, baik menggunakan Mu'jâm Mufahrash al-Fâzh al-Hadits ataupun dengan teknologi digital seperti penggunaan al-Maktabah al-Syamîlah, al-Maktabah al-Kubra, atau pelacakan hadits di website-website khusus layanan hadits online.
Teori tersebut bisa dimengerti dan dipahami oleh anak didik jika mereka sudah bisa melakukan praktek takhrj hadits dalam perpustakaan ataupun dengan teknologi digital seperti penggunaan al-Maktabah al-Syamîlah.
Praktek semacam inilah yang dilakukan oleh empat mahasantri dari program Pesantren Tinggi Ibnu Hajar Sukabumi. Keempat santri itu mendapat tugas dari K.H. Salam Russyad untuk melacak semua hadits fadhîlah atau keutamaan tiap surah yang disebutkan oleh al-Hafîdz Ibnu Katsir di dalam kitab Tafsir al-Qur'an al-Azhîm yang biasa dikenal orang dengan nama Tafsir Ibnu Katsir.
Berapa banyak hadits yang harus di-takhrîj?
Masing-masing mahasantri mendapatkan satu jilid tebal dari kitab Tafsir Ibnu Katsir untuk ditelusuri di mana tiap jilid mengandung jumlah surah yang bervariasi.
Bagi yang pertama kali melakukannya, menelusuri sebuah hadits akan menjadi pekerjaan yang butuh semangat tinggi. Sebab satu hadits saja, bisa ditemukan di seluruh al-Kutub al-Sittah. Bahkan juga di kitab-kitab sumber hadits lainnya yang harus dicatat nomor haditsnya, jilidnya dan halaman tempat letaknya hadits yang barangkali akan menghasilkan 5-20 sanad. Bila kemudian seorang peneliti mendapatkan 50 hadits dalam setiap jilid kitab Tafsir Ibnu Katsir, maka akan terkumpul 250 hingga 1000 sanad.
Namun, para peneliti muda ini justru menikmati lika-liku usaha penelusuran mereka dalam memberikan khidmah terhadap Sunnah Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam.
Mereka lupakan segala keterbatasan diri mereka. Meski terkadang "bokek" dan tak punya lauk untuk dimakan saat malam hari, toh kegiatan memancing di empang gurame di sebelah pesantren mereka bisa menjadi jawaban untuk itu. Makan telat? No problem, selama tidak keterlaluan saja.
Dalam semangat mereka, terselip rasa cinta akan ilmu.
Dalam kerja mereka, terselip kesungguhan dan semangat yang kuat.
Barangkali pesan Imam Muslim berupa hadits mauquf yang disisipkan dalam salah satu bab di Shahih Muslim selalu menyemangati mereka,
"Lâ Yustathâ'u al-'Ilmu bi Râhat al-Jism."
"Tak akan mampu dicapai suatu ilmu dengan kesantaian tubuh."
Atau teladan dari Rabi'ah Ar-Ra'yi—guru utama dari Imam Malik Rahimahullah—yang menghabiskan banyak waktunya dalam membaca dari terbit fajar hingga menjelang tengah malam, sampai-sampai tubuhnya menjadi kurus tirus yang mengundang pertanyaan kolega-koleganya, ‘mengapakah engkau bersikap seperti ini dalam menuntut ilmu?’
Rabi'ah menjawab, "Inna al-'Ilma Lâ Yu'thika Ba'dhahu Hatta Tu'thiyah Nafsaka Kullahu."
"Sesungguhnya ilmu itu tak akan memberikan kepadamu sebagian dirinya hingga engkau berikan seluruh dirimu kepadanya."
Inilah bentuk evaluasi pembelajaran yang dilakukan oleh lembaga pendidikan yang kini menjelma menjadi “Pusat Pendidikan Islam Muslim Cendekia Madani”. Evaluasi yang dilakukan lebih menekankan pada kemampuan anak didik dan sikap mereka dalam memahami ilmu yang mereka dapatkan.
Lembaga ini kini sudah mengembangkan programnya dengan membuka empat konsentrasi pendalaman: ilmu Dakwah, ilmu Hadits, ilmu Ushul Fiqh, dan Ilmu Tafsir. Bentuk evaluasi yang sama akan diterapkan dalam proses pembelajarannya. Hal inilah yang selalu ditekankan oleh Ulil Amri Syafri, Direktur dan Pendiri Pusat Pendidikan Islam Muslim Cendekia Madani,  “Evaluasi tidak melulu tentang pengembangan dalam sisi kognitif anak didik. Evaluasi yang kami lakukan lebih pada kemampuan anak didik dalam mengembangkan ilmunya dalam bentuk praktek ilmu dengan kreativitas yang sesuai. Sehingga tujuan pendidikan dari setiap program yang diselengarakan dapat tercapai dengan baik dan sempurna.”  Wallahu ‘alam

0 komentar:

Post a Comment