Oleh: Dr. H. Ulil Amri Syafri, Lc., MA.
Evaluasi tidak saja berkaitan dalam mengetahui kognifif anak didik terhadap materi yang disampaikan dalam ruangan belajar, tapi lebih jauh lagi untuk mengetahui bagaimana anak didik itu bisa memahami ilmu tersebut dalam mengembangkan ilmu yang diperoleh pada praktek dan kreatifitasnya.
Evaluasi dalam kurikulum memiliki bermacam-macam tujuan, antara lain untuk mengetahui sejauh mana siswa mencapai kemajuan sesuai tujuan pendidikan, untuk membaca keberhasilan kurikulum, menilai efektivitas kurikulum, dan sebagainya. Evaluasi bisa dimaknai secara mendalam jika alat ukur keberhasilan sebuah proses pendidikan sudah ditentukan ketika akan memulai melakukan evaluasi.
Misalnya, dalam teori Ilmu Takhrîj masa lampau memang menggunakan banyak kitab rujukan seperti
kitab Takhrîj al-Hadits al-Hidâyah, juga ada metode Maudhu'i yang melacak hadits berdasar
isi hadits atau temanya, ada pula metode Syakhsyî
yang melacak hadits berdasar rawi terakhir, kemudian ada metode modern yang
menggunakan kata per kata, baik menggunakan Mu'jâm
Mufahrash Lî al-Fâzh al-Hadits ataupun dengan teknologi digital
seperti penggunaan al-Maktabah al-Syamîlah, al-Maktabah
al-Kubra, atau pelacakan hadits di website-website khusus layanan
hadits online.
Teori tersebut bisa dimengerti dan dipahami oleh anak didik jika mereka
sudah bisa melakukan praktek takhrj hadits dalam perpustakaan ataupun dengan
teknologi digital seperti penggunaan al-Maktabah al-Syamîlah.
Praktek semacam inilah yang dilakukan oleh empat mahasantri dari program
Pesantren Tinggi Ibnu Hajar Sukabumi. Keempat santri itu mendapat tugas dari
K.H. Salam Russyad untuk melacak semua hadits fadhîlah atau keutamaan tiap surah yang disebutkan oleh al-Hafîdz
Ibnu Katsir di dalam kitab Tafsir al-Qur'an al-Azhîm yang biasa
dikenal orang dengan nama Tafsir Ibnu Katsir.
Berapa banyak hadits yang harus di-takhrîj?
Masing-masing mahasantri mendapatkan satu jilid tebal dari kitab Tafsir
Ibnu Katsir untuk ditelusuri di mana tiap jilid mengandung jumlah surah yang
bervariasi.
Bagi yang pertama kali melakukannya, menelusuri sebuah hadits akan menjadi
pekerjaan yang butuh semangat tinggi. Sebab satu hadits saja, bisa ditemukan di
seluruh al-Kutub al-Sittah. Bahkan
juga di kitab-kitab sumber hadits lainnya yang harus dicatat nomor haditsnya,
jilidnya dan halaman tempat letaknya hadits yang barangkali akan menghasilkan
5-20 sanad. Bila kemudian seorang peneliti mendapatkan 50 hadits dalam setiap
jilid kitab Tafsir Ibnu Katsir, maka akan terkumpul 250 hingga 1000 sanad.
Namun, para peneliti muda ini justru menikmati lika-liku usaha penelusuran
mereka dalam memberikan khidmah terhadap Sunnah Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam.
Mereka lupakan segala keterbatasan diri mereka. Meski terkadang
"bokek" dan tak punya lauk untuk dimakan saat malam hari, toh
kegiatan memancing di empang gurame di sebelah pesantren mereka bisa menjadi
jawaban untuk itu. Makan telat? No problem, selama tidak keterlaluan saja.
Dalam semangat mereka, terselip rasa cinta akan ilmu.
Dalam kerja mereka, terselip kesungguhan dan semangat yang kuat.
Barangkali pesan Imam Muslim berupa hadits
mauquf yang disisipkan dalam salah
satu bab di Shahih Muslim selalu menyemangati mereka,
"Lâ Yustathâ'u al-'Ilmu bi Râhat
al-Jism."
"Tak akan mampu dicapai suatu ilmu dengan kesantaian tubuh."
Atau teladan dari Rabi'ah Ar-Ra'yi—guru utama dari Imam Malik Rahimahullah—yang
menghabiskan banyak waktunya dalam membaca dari terbit fajar hingga menjelang
tengah malam, sampai-sampai tubuhnya menjadi kurus tirus yang mengundang
pertanyaan kolega-koleganya, ‘mengapakah engkau bersikap seperti ini dalam
menuntut ilmu?’
Rabi'ah menjawab, "Inna al-'Ilma
Lâ Yu'thika Ba'dhahu Hatta Tu'thiyah Nafsaka Kullahu."
"Sesungguhnya ilmu itu tak akan memberikan kepadamu sebagian dirinya
hingga engkau berikan seluruh dirimu kepadanya."
Inilah bentuk evaluasi pembelajaran yang dilakukan oleh lembaga pendidikan
yang kini menjelma menjadi “Pusat Pendidikan Islam Muslim Cendekia Madani”.
Evaluasi yang dilakukan lebih menekankan pada kemampuan anak didik dan sikap
mereka dalam memahami ilmu yang mereka dapatkan.
Lembaga ini kini sudah mengembangkan programnya dengan membuka empat
konsentrasi pendalaman: ilmu Dakwah, ilmu Hadits, ilmu Ushul Fiqh, dan Ilmu
Tafsir. Bentuk evaluasi yang sama akan diterapkan dalam proses pembelajarannya.
Hal inilah yang selalu ditekankan oleh Ulil Amri Syafri, Direktur dan Pendiri
Pusat Pendidikan Islam Muslim Cendekia Madani, “Evaluasi tidak melulu tentang pengembangan
dalam sisi kognitif anak didik. Evaluasi yang kami lakukan lebih pada kemampuan
anak didik dalam mengembangkan ilmunya dalam bentuk praktek ilmu dengan
kreativitas yang sesuai. Sehingga tujuan pendidikan dari setiap program yang
diselengarakan dapat tercapai dengan baik dan sempurna.” Wallahu
‘alam
0 komentar:
Post a Comment