Oleh
: Dr. Ulil Amri Syafri
Di media sosial beredar ramai tulisan
tentang pola pendidikan di negeri yang di sebut negara maju. Dikisahkan, bahwa
seorang guru di Jepang pernah berkata, “Kami tidak terlalu khawatir anak-anak
sekolah dasar kami tidak pandai Matematika. Kami jauh lebih khawatir jika
mereka tidak pandai mengantri.” Mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang
mereka kemukakan.
Pertama, “kita hanya perlu melatih anak tiga bulan
saja secara intensif untuk bisa Matematika, sementara kita perlu melatih anak
hingga dua belas tahun atau lebih untuk bisa mengantri dan selalu ingat
pelajaran di balik proses mengantri”. Kedua, karena tidak semua
anak kelak menggunakan ilmu matematika kecuali Ilmu TAMBAH, KALI, KURANG DAN
BAGI. Lagi pula Sebagian mereka anak jadi penari, atlet, musisi, pelukis, dsb.
Ketiga, semua murid sekolah pasti lebih membutuhkan pelajaran Etika
Moral dan ilmu berbagi dengan orang lain saat dewasa kelak.
Apa yang menjadi perhatian dunia
pendidikan tingkat dasar di negeri tersebut bisa menjadi hal baru atau aneh
bagi dunia pendidikan dasar di negeri lain. Sebut saja di Indonesia, meskipun
tidak bisa digeneralisasi, tapi setidaknya apa yang berkembang pada masyarakat
dan terjadi dalam pergaulan anak di masyarakat bisa memperlihatkan andil dunia
pendidikan dalam pembentukan karakter anak-anak.
Fakta yang kerap terjadi di masyarakat
kita sebagai berikut; Banyak anak-anak karena tidak sabar mengantri lalu biasa menyusup
ke depannya dengan mengambil hak anak lain dalam barisannya. Lebih konyol lagi,
hal ini dibiarkan oleh orang tuanya, bahkan tidak sedikit orang tua yang senang
melihat pelangaran tersebut. Mereka malah memarahi anaknya bila enggan untuk
menyusup ke dalam antrian di depan dengan kata-kata ‘penakut’ kata-kata ‘tidak
gagah’ dan sebagainya. Singkatnya, budaya antri yang tertib ternyata tidak saja
menjadi masalah anak-anak Indonesia, bahkan masalah ini juga bermula dari kedua
orangtuanya sebagai pendidik dan tauladan anak-anak tersebut.
Dari kasus kecil di atas yang
berdampak besar, yaitu tentang pendidikan kedisiplinan atau etika melalui
budaya antrian, maka dapat terlihat orientasi pendidikan suatu bangsa. Pada
kenyataannya, ada lembaga pendidikan yang amat memperhatikan pembangunan
karakter anak didiknya. Tapi sangat banyak sekolah seakan tidak terlalu peduli
dengan hal semacam itu. Anak-anak menurut mereka cukup menjadi pintar dan
berprestasi dalam akademik. Bahkan
guru-guru akan bangga bila anak didiknya lulus dan diterima pada sekolahan favorit,
meskipun karakter dan etika anak didik tersebut nol besar.
Sesungguhnya orientasi pendidikan
adalah pilihan. Dan itu adalah pilihan yang mudah, bukan pilihan yang berat, apalagi
beresiko. Pilihan yang membuat setiap orangtua akan menjadi bahagia dan semakin
percaya kepada lembaga pendidikan.
Menurut Ahmad Tafsir, ‘inti
(core) pendidikan adalah ahklak mulia’. Lebih lanjut dikatakannya, bahwa
pembinaan akal dan keterampilan itu sangat gampang bila anak didik berakhlak
mulia. Dan orang yang tidak berakhlak mulia adalah orang yang gagal menjadi
manusia. Dengan demikian, lembaga pendidikan yang mengutamakan kepintaran saja
tanpa memprioritaskan pembinaan mental, etika, atau akhlak mulia bisa dikatakan
bahwa lembaga itu turut bertangungjawab membuat anak didiknya gagal menjadi
manusia. Akhirnya, sekolah yang tidak
memberi perhatian lebih pada aspek etika dan akhlak Mulia, tentu dalam
perkembangannya tidak akan mendapat kepercayaan maksimal dari masyarakat,
apapun status sekolahnya. Baik itu sekolah negeri ataupun swasta, mahal maupun
murah, demikian pula pada lembaga pendidikan ber-beasiswa ataupun non-beasiswa.
Banyak variabel yang harus
diperhitungkan jika berbicara tentang lembaga pendidikan agar mampu
mengantarkan perkembangan anak didiknya kepada tingkat yang sempurna sebagai
manusia. Baik dari sisi manajemen, proses pendidikannya, kurikulum, dan lain
sebagainya. Namun demikian, ada topik utama dan sangat penting yang harus
dibicarakan, yaitu bicara tentang guru atau kualitas guru.
Guru adalah asset dan icon
terpenting dalam proses pendidikan, atau jika bisa dikatakan sebagai ‘modal’ termahal
dalam kegiatan pendidikan. Bila suatu lembaga pendidikan tidak menempatkan guru
demikian, maka lembaga pendidikan tersebut sebenarnya tidak bicara pendidikan
yang sesungguhnya. Sebab sehebat apapun konsep pendidikan yang dimiliki suatu lembaga,
bila tidak didukung Guru yang sesuai, maka konsep hebat tidak ada artinya dalam
proses pendidikan yang berjalan.
Guru adalah laksana motor, penggerak
dari sebuah perangkat mesin besar. Guru bagaikan energi yang menjadikan suatu
program bisa hidup dan berkembang. Guru adalah ruh dari sebuah tempat pendidikan.
Guru adalah cahaya. Dalam Islam, tugas guru setingkat di bawah tugas kenabian. Guru
merupakan pewaris tradisi kerja nabi dan rasul karena guru itu harus mengajar, mendidik,
membina dan memberi tauladan. Pada diri gurulah sebagian ilmu dan pengetahuan
itu tersimpan. Maka dalam filsafat Islam disebutkan, bahwa meninggalnya seorang
berilmu mendalam berarti hilangnya segudang ilmu yang sulit tergantikan.
Tingginya kedudukan guru dalam perspektif Islam merupakan realitas dari ajaran
Islam tersebut. Tentunya pemahaman ini menempatkan Islam sebagai ajaran yang
juga sangat memuliakan ilmu pengetahuan dan sangat menghargai kegiatan
pendidikan.
Di negeri kita Indonesia, guru
disebut bagai pelita dalam kegelapan, pahlawan tanpa jasa. Pujian terhadap guru
terungkap indah dalam bait bait lagu yang berjudul ‘Guruku Tersayang’. Lagu yang
diunggah di youtube tersebut sudah dinikmati puluhan juta putra-putri Indonesia.
Bahkan negeri tetangga pun menyukai lagu tersebut. Lagu yang ditulis Melly
Goeslaw tersebut melukiskan kedudukan
dan kecintaan terhadap guru yang diungkapkan lewat ucapan terima kasih yang
mendalam. Dikatakan, tanpamu guru apa jadinya aku, tak bisa baca tulis dan
mengerti banyak hal, terima kasih guruku. Demikian pula pada bait-bait lagu
yang lain, semisal Hymne guru dan Terima Kasih Guru.
Dalam tradisi pendidikan Islam di
Indonesia, guru di tempatkan pada tempat yang terhormat. Para pelajar mencium
tangan dan mengucapkan salam, menunduk dan tenang saat berhadapan, santun dan
lembut saat berbicara pada gurunya. Tradisi ini menurut Ahmad Tafsir tidak
membangun hubungan antara anak didik dan guru dalam untung dan rugi, tapi
disana ada hubungan keagamaan yang disebutnya nilai Kelangitan. Lebih lanjut
kata Ahmad Tafsir, hubungan guru dan anak didik amat berbeda dengan yang yang
berlaku di dunia Barat.
Di Barat, hubungan antara guru dan anak didik tidak ada nilai Kelangitannya,
hanya seperti hubungan antara orang yang lebih banyak pengetahuan dengan anak
didik yang membutuhkan dan sedikit ilmu pengetahuannya. Hubungannya juga seperti
pemberi dan penerima, bahkan terkadang sampai pada tingkat pemberi jasa dan
pembayar jasa. Maka hitungan dan akad ekonominya sangat menonjol. Hal ini tentunya
sangat kering dari nilai Kelangitan. Maka, cara pandang dalam membangun
hubungan sebuah proses pendidikan terhadap guru dan posisi guru itu sendiri sangat
berpengaruh dalam proses implementasi pendidikan, yang tentunya juga
mempengaruhi hasil didikannya.
Saat semakin baik cara pandang
lembaga dan stake holder lembaga pendidikan terhadap guru,
kualitas guru, dan eksitensinya, maka hal itu merupakan upaya meningkatkan mutu
pendidikan dan prosesnya. Demikian pula sebaliknya, bila rendah dan buruk cara
pandang kepada guru, tentu berimbas pada rendahnya kualitas proses pendidikan.
Selain itu, paradigma guru dan orang
tua dari anak didik pun perlu pembenahan, khususnya tentang ‘bentuk hubungan’
yang dijelaskan di atas. Begitu juga dengan arti pendidikan, jangan hanya
dipersempit pada makna pengajaran saja. Tapi pendidikan harus dimaknai luas
melalui keteladanan oleh guru, bimbingan, dan pembinaannya sehingga pengajaran
dan pembinaan menjadi satu dari proses yang dilakukan oleh guru dan tidak
terpisah. Maka pada akhirnya, keteladanan guru menjadi hal yang amat penting, khususnya
ketika menanamkan nilai-nilai kebaikan. Sebab, tanpa ada keteladanan maka tidaklah
ada artinya pendidikan akhlak mulia bagi anak didik.
Juga tentang makna ‘tugas guru’.
Setiap guru—apapun materi yang diampu—harus merasa gundah dan risau serta
memiliki tangung jawab bila ada adab dan etika anak didik yang belum sempurna, sehingga
setiap guru dapat memberikan perhatiannya. Demikian halnya pada setiap orang tua.
Sebagai guru pertama, orang tua tidak bisa berlepas diri 100% dengan telah
perginya anak ke sekolah. Sebab sekolah sifatnya adalah membantu pendidikan
anak-anak. Maka dalam hal akhlak mulia, setiap orang tua masih memikul beban
yang sama berat. Tentunya beban berat pendidikan akhlak tersebut masih bisa dilakukan
melalui cara nasehat, memberi semangat, memberi reward and punishment,
dan juga melalui keteladanan di lingkungan keluarga.
Maka, terkait dengan budaya antri
yang lebih diutamakan dari pada pelajaran matematika pada kasus guru di Jepang
tersebut, tentunya sudah bisa dipahami bahwa pembangunan karakter pada anak
didik sangat membutuhkan pendekaatan pembiasaan dan keteladanan langsung
secara terus-menerus. Siapa pun dia, guru atau orang tua, keduanya dapat banyak
memberi pengaruh positif kepada anak didik.
Mengharapkan anak didik memiliki
karakter, adab, maupun akhlak mulia tanpa membicarakan siapa dan bagaimana
gurunya, maka sampai kapan pun harapan itu hanyalah mimpi. Konsep tentu penting,
tapi membahas implementasi konsep jauh lebih penting. Dalam proses pendidikan,
sebaik dan sehebat apapun konsepnya jika tidak serius membicarakan guru-guru
yang menjadi bagian penting dalam proses tersebut, maka upaya itu masih sebatas
gagasan. Sedangkan kompetensi lulusan ataupun hasil pendidikan sangat berkaitan
dengan praktek di lapangannya. Oleh karena itu, penanaman nilai pada anak didik
menjadi sejalan dengan slogan ‘guruku teladanku’.