Cluster Casablanca, Sentul City, Bogor - Jawa Barat - 16810 | Hotline: 0813-1112-5384 (Call/SMS/WA)

04 July 2023

Pendidikan dan Kebudayaan

Peradaban manusia terus bertumbuh dan berkembang. Bermula dari masa manusia berburu hingga manusia industri dengan ditandai munculnya revolusi teknologi. Peradaban itu terus melaju memasuki wilayah digitalisasi dan cyber zone. lalu, manusia tidak saja berbahasa lisan seperti era nabi Adam as, tapi juga menghadirkan bahasa virtual. Semua ruang dan waktu makin singkat dan terbuka, hingga menciptakan komunikasi dan relasi yang semakin luas tak bertepi. Namun ironisnya manusia justru lebih mudah terancam dengan kemajuan itu sendiri.

Idealnya, kemajuan bisa membangun kolaborasi. Tapi nyatanya tidak sedikit malah yang melahirkan persaingan buruk globalisasi, dan tentu berdampak pada alam dan lingkungan, keseimbangan, kemakmuran bahkan ancaman perang dan imperealisme gaya baru. Di dunia pendidikan, sudah terjadi para pengajar ‘berebut posisi’

dengan Google dalam satu kompetisi yang menempatkan Google sebagai the winner. Lebih dahsyat lagi, ketika manusia memasuki era metaverse, kebudayaan yang diusung dalam pendidikan nasional pun bisa terjugkal. Sungguh, pergerakan peradaban yang amat radikal.

Lalu, saat ini, dimana hebatnya Pendidikan Nasional yang pernah digagas oleh tokoh besar seperti Ki Hajar Dewantara?


Buku Frasa Agama hadir sebagai narasi baru dari pemikiran pendidikan hebat Ki Hajar Dewantara tersebut yang mungkin bisa memperkaya hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Setelah saya baca secara mendalam, pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara sangat layak dan harus terus digali serta dikaji oleh mereka yang mencintai pendidikan nasional. Apalagi bagi mereka yang bergerak di dunia pendidikan. Hal ini tidak saja berkaitan dengan ilmu pendidikan saja, tapi kita juga butuh membaca ruh pendidikan seperti apa yang diinginkan Ki Hajar Dewantara sebenarnya. Harapan saya, semoga pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara bisa menjadi bahan kajian serius pada kuliah kesarjanaan di Indonesia, khususnya mereka yang berada pada Program Studi Pendidikan dan Pengajaran, juga bagi siapa pun yang akan mengabdikan dirinya menjadi pendidik di negeri ini.

Meskipun mungkin sudah banyak peneliti yang mengaitkan corak pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara ini dengan Maria Montessori, Rabindranath Tagore, Paulo Freire, atau bahkan dengan penggagas pendidikan yang mengusung kemerdekaan manusia dalam belajar—tentu ini berkaitan dengan negara-negara terjajah—namun model pendidikan Ki Hajar Dewantara tetap memiliki ciri khas sendiri, karena apa yang menjadi falsafah hidupnya dan falsafah pendidikannya, berakar dari budaya masyakaratnya.

Untuk lebih jelasnya, bisa kunjungi Channel Kampus Digital Dr. Ulil Amri Syafri



ADAB Rasa Lokal

“Kalau perlu biarlah ilmu sedikit asal jiwa besar, daripada ilmu besar tetapi jiwa kecil.” 

Begitulah kira-kira kata yang amat khusus dari seorang M. Sjafei. Maksudnya adalah mereka yang menanamkan dan memupuk sifat-sifat manusia lebih utama dari mereka yang memiliki segudang ilmu. Pemikirannya ini dapat diklasifikasikan untuk menggambarkan situasi dan kondisi pendidikan Indonesia.

Pertama, dalam sosial masyarakat Indonesia saat ini ada jiwa yang berkaitan dengan keagamaan yang tak boleh abai, bahkan harus menjadi ciri khas masyarakat Indonesia, yaitu manusia beragama dan bertoleransi. Pada konsentrasi ini butuh para konseptor sekelas ulama yang berwawasan luas dan berkebangsaan agar dapat memberi rumusan yang bisa dimanfaatkan dunia pendidikan di Indonesia.

Kedua, pembangunan jiwa yang berkait dengan perwatakan manusia, tentunya yang didasasi akhlak mulia. Diantaranya adalah pribadi percaya kepada diri sendiri, rasional dan logis, berperasaan tajam dan kritis, gigih atau ulet, aktif, punya daya cipta dengan kecerdasannya, ketekunan berusaha, dan kejujuran. Pembangunan jiwa ini dimasukan pada seluruh proses pendidikan dan pengajaran, bukan terpisah-pisah. Guru bisa mendidik berpikir logis pada materi matematika, pun demikian dalam mendidik akhlak. Harus logis bukan mistis.

Ketiga, yang amat khas dari pemikiran dari M. Sjafei adalah mendorong pengembangan bakat diri setiap anak di Indonesia. Artinya, jiwa anak-anak Indonesia harus terus diberi ruang agar minat dan bakatnya tidak saja tumbuh, tapi dengan pendidikan dan pengajaran, menjadikan minat dan bakat anak-anak Indonesia itu berkembang menjadi ‘skill professional’. ‘Skill professional’ ini adalah kekayaan yang sulit ditandingi jika betul-betul dapat terealisasi. Pendidikan bukan saja mengisi otak, tapi juga bakat dan keterampilan sebagai kekuatan. Pemikiran ini sekaligus membantah konsep dan desain kurikulum dan pengajaran one prototype dari Sabang sampai Marauke yang telah berlaku puluhan tahun di negeri ini. Bagi penulis, ‘one state, one curriculum’ memang pemikiran yang aneh bin ajaib.

Keempat, sehebat apapun anak-anak Indonesia, harus memiliki jiwa nasionalisme yang kuat sebagai manusia yang terlahir, bernafas, dan dibesarkan di bumi pertiwi ini. Maka, memiliki sikap Pancasilais bagi Sjafei menjadi am
at penting untuk keselamatan nusa dan bangsa. Jangan pula manusia Indonesia menjual dan merusak citra bangsanya pada bangsa lain di dunia, sekalipun mereka kelak mencari hidup di negara lain. Indonesia tanah airku, tanah tumbah darahku, dengan segala karunia dari-Nya. 

Jika pemikiran Sjafei dikorelasikan pada orientasi kelembagaan saat ini, maka kelembagaan semestinya tidak berorientasi elitis dan hanya semata menghasilkan tenaga kerja atau buruh. Bahkan tidak pantas pula bila lembaga pendidikan Indonesia berorientasi pada pemikiran kolonialis yang memperbudak sesama manusia sebagai warisan cara kerja penjajah. Lembaga pendidikan harus berpikir lebih realistis akan kemampuan dan kebutuhan perkembangan diri anak didik. 

 Silakan baca buku terbaru Pendidian Adab Rasa Lokal dan buka Channel Kampus Digital Dr. Ulil Amri Syafri

#ADAB




Pendidikan ADAB Rasa Lokal

#PendidikanAdab

Penggunaan istilah ‘akhlak mulia’ sebagai satu ilmu dalam Islam memiliki makna yang telah tetap atau konstan, sebagaimana yang dijelaskan ulama. Bahkan karakteristiknya pun telah diulas secara jelas. Pertanyaannya, bahasan tentang perilaku manusia yang berkaitan dengan sopan santun, kelembutan sikap, kehalusan hati, dan sejenisnya, apakah bisa juga dinamakan dengan istilah akhlak dalam Islam?

Menurut penulis tentu bisa. Silakan dan boleh-boleh saja. Tapi, tidak wajib secara agamis menggunakan istilah akhlak untuk mengambarkan suasana sikap kebatinan dan perwatakan manusia tersebut. Artinya, bisa menggunakan bahasa yang memang digunakan oleh manusia itu sendiri atau bahasa yang digunakan dan berkembang di daerah tertentu. Yang penting substansinya sudah cukup dipahami. Tidak mesti juga harus diarabkan atau berbahasa Arab.

Untuk Indonesia, silakan saja menggunakan bahasa daerah masing-masing untuk mendeskripsikan sikap dan perilaku manusia. Misalnya budi pekerti, karakter, kesusilaan, kebatinan, sukma. Walaupun ada sisi tipis perbedaaannya, tetap saja semua makna dari istilah tersebut memiliki pemahaman khasnya masing-masing. Itulah kekayaan berbahasa. 

Dalam pemikiran Islam secara khusus, pengertian akhlak dan adab sendiri memiliki perbedaan makna dan penggunaannya. Akhlak untuk sesuatu yang lebih konstan pada diri manusianya, sedangkan adab tidak demikian. Akhlak merupakan sikap yang sudah terpatri baik. Sedangkan yang masih berubah karena kondisi dan kebutuhan lingkungan bisa disebut adab. Proses pendidikan akhlak selalu melibatkan batin, sedangkan adab hanya melibatkan  zahir-nya saja. Maka kerap kali dalam pemikiran pendidikan tokoh masa lalu ada juga yang menyebutkan pendidikan batiniyah, ada juga mengunakan sebutan pendidikan ruhani sebagai pendidikan akhlak. 

Dalam pembahasan pendidikan di Indonesia bisa saja menggunakan istilah pendidikan sukma, pendidikan karakter, pendidikan kesusilaan, pendidikan adab, pendidikan jiwa, pendidikan kebatinan, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan etika dan seterusnya. Kesemua istilah tersebut sama-sama berbicara tentang pendidikan perilaku manusia. Hanya saja cangkupan dan rujukannya terkadang ada bedanya. Adapun pendidikan akhlak mulia dalam Islam selalu menghadirkan nilai Tauhid kepada-Nya. 

Silakan dipelajari pada buku baru Pendidian Adab Rasa Lokal karya terbaru Dr. ULIL AMRI SYAFRI

Bisa juga kunjungi Channel Kampus Digital Dr. Ulil Amri Syafri

#ulilamrisyafri