Cluster Casablanca, Sentul City, Bogor - Jawa Barat - 16810 | Hotline: 0813-1112-5384 (Call/SMS/WA)

10 October 2017

LIBURAN SAMBIL BELAJAR: Nonton Bareng Film “Merah Putih Memanggil”

Ternyata di MCM boleh nonton bioskop ya ...

Begitulah komentar salah satu pelajar di Muslim Cendekia Madani ketika dimintai pendapatnya setelah acara nonton bareng film “Merah Putih Memanggil” yang diadakan keluarga besar MCM di bioskop tanggal 9 Oktober 2017. 

Kegiatan nonton bareng di bioskop adalah kali pertama yang dilakukan para pelajar MCM. Kegiatan ini masuk dalam proses pendidikan kepribadian, yaitu untuk menumbuhkan rasa nasionalisme pelajar melalui sepak terjang Tentara Nasional Indonesia. Film yang berdurasi 112 menit ini ternyata mampu menimbulkan kesan positif para pelajar MCM khususnya kepada TNI. Hal ini terlihat dari tulisan dan diskusi yang diadakan setelah acara nonton bareng bersama mentor mereka. Kesan yang didapat dari semua pelajar atas film tersebut cukup beragam. Namun ada satu kesamaan pendapat yang didapat, bahwa Tentara Nasional Indonesia hebat!.

Kehebatan ini dideskripsikan dengan berbagai komentar dan pendapat para pelajar di tulisannya. Misalnya Alyaa (17 tahun) yang memberi apresiasi TNI karena selalu siap melindungi seluruh warga negara Indonesia dimanapun mereka berada. Menurutnya, film ini memperlihatkan bahwa anggota TNI mempunyai kemampuan untuk melakukan operasi militer dimanapun. Pengorbanan mereka yang luar biasa pada tugas dan dedikasinya pada negara patut menjadi contoh.

Mikyal Hani (16 tahun) mengatakan bahwa dengan menonton film tersebut ia bisa mengetahui bagaimana kehidupan, pengorbanan, dan gugurnya para prajurit TNI di medan tempur perjuangan. Mereka rela meninggalkan keluarga tercinta dan juga siap mengorbankan keselamatan diri demi panggilan tugas merah putih dalam rangka menyelamatkan rakyat dan menjaga NKRI. Para prajurit yang berjasa kepada rakyat dan negara sudah sepatutnya terus dikenang dan dihormati.

Menurut Mikyal Hani, ia cukup terharu menonton adegan-adegan sedih dalam film tersebut. Menyaksikan cerita kehilangan orang-orang yang sangat dekat dengan kehidupan pasti tidak mudah, apalagi kuburannya tidak ada walaupun kematiannya pasti. Karena dalam perang bisa saja tentara itu terbakar atau dibakar tak tersisa. Demikian pula bila teman seperjuangan yang sudah bersama sejak waktu yang lama harus gugur di medan tempur. Semua adegan itu membawa keharuan tersendiri. Sulit dibayangkan  jika mereka adalah bagian dari keluarga kita. Maka, yang perlu dihormati bukan hanya anggota TNI saja, Tapi juga keluarganya perlu dihormati, dibantu, dan diberi dorongan semangat agar mampu melanjutkan hidup dengan baik. Pengorbanan oleh Tentara dan keluarganya belum tentu dapat kita lakukan. 

Senada dengan hal ini, M. Ghazy (15 tahun) juga merasa takjub melihat TNI yang mencintai keluarganya tapi rela meninggalkan mereka demi menjalankan tugas negara. Penilaiannya terhadap tentara selama ini menjadi berubah 180 derajat setelah menonton film tersebut. Ia menjadi tahu bagaimana karakter para TNI yang sangat menakjubkan itu.

Menonton film tersebut bagi M. Hanand (16 tahun) membuat semangat perjuangannya bergelora. Sebagai generasi muda, ia jadi bisa membayangkan bagaimana perjuangan para pahlawan-pahlawan terdahulu untuk bangsa dan negara. Hal ini tentunya harus membuat generasi muda sepertinya lebih bisa menghargai dan mengapresiasi perjuangan dan pengorbanan para pejuang. Perjuangan dan pengorbanan tersebut menurut Nuh (14 tahun) harus diikuti dengan semangat belajar bagi para pelajar agar dapat terus menjaga dan membesarkan negara Indonesia dengan karya terbaik dan bukan malah siap jadi budak di negeri sendiri.

Kesan menonjol lainnya yang dilihat para pelajar MCM dari film ini adalah karakter para TNI yang kuat, tangguh, disipilin, dan gagah berani. Betapa adegan setiap adegan memperlihatkan kedisiplinan, ketaatan, kekuatan, kesabaran, dan kegigihan para prajurit. Belum lagi rasa kesetiakawanan dan mendahulukan orang lain dari pada diri sendiri. M. Ghazy sangat terkesan dengan sifat itsar (mengutamakan orang lain dari pada diri sendiri) pada para prajurit TNI ini lewat adegan tentara yang memberikan bekal makanan mereka pada para tawanan padahal mereka sendiri lapar dan akhirnya rela memakan ular yang ditemukan disana. Sifat itsar yang sangat dianjurkan dalam Islam ini ada di tubuh para TNI, meski mereka bukan muslim seluruhnya.

Karakter lainnya yang terlihat dari film ini adalah jiwa pantang menyerah yang dimiliki TNI. Menurut Hanand, karakter ini tercermin dari rasa semangat TNI yang tetap maju ke depan meski tahu jumlah musuh yang dihadapinya berlipat-lipat dibanding mereka. Jumlah musuh yang banyak tidak membuat para prajurit TNI gentar, menurut Nuh. Jiwa yang tidak takut melawan musuh itu wajib, ditambah dengan fisik yang kuat, strategi yang matang, senjata yang canggih, membuat mereka menjadi gigih dan gagah berani menghadapi lawan.

Lewat film ini, menurut Alyaa, banyak karakter yang dapat kita tiru, seperti sikap yang tidak mudah menyerah, ikatan persaudaraan yang kuat, setiakawan saling tolong menolong, sikap tanggung jawab dalam menghadapi sebuah masalah,  dan rasa senasib sepenanggungan yang dipikul bersama. Karakter-karakter inilah yang seharusnya ditiru oleh semua orang. Dan sangat baik jika para pelajar yang memulainya.

Mutiara Ayu (14 tahun) berpandangan bahwa film ini cukup bagus untuk mengingatkan masyarakat Indonesia tentang karakter bangsa yang sesungguhnya. Karakter-karakter tersebut tercermin dari kualitas sikap para prajurit TNI di medan tempur. Menurutnya, karakter dalam sebuah peradaban sangatlah penting. Mengutip perkataan sejarawan Arnold Toynbee, “dari 21 peradaban yang ada di dunia, 19 yang hancur bukan karena penaklukan dari luar, tapi oleh pembusukkan moral dari dalam”.

"Karakter adalah objektifitas yang baik atas kualitas manusia. Karakter lebih tinggi dari kecerdasan. Karakter juga dapat membentuk takdir seseorang, yang juga menjadi takdir masyarakat. Dalam karakter warga negaranya terletak kesejahteraan bangsa. Dan untuk membentuk karakter masyarakat yang baik dapat melalui cara dengan mengubah pemikiran mereka.” Demikian kutipan dari buku ‘Character Matters’-nya Thomas Lickona yang Mutiara Ayu tuliskan menyikapi karakter-karakter hebat yang ditampilkan para prajurit TNI di medan tempur.

Tanggapan-tanggapan dan kesan yang dimunculkan para pelajar MCM yang luar bisa ini memperlihatkan bahwa film ‘Merah Putih Memanggil’ mampu membawa pengaruh yang positif. Meskipun ada dari mereka yang menyoroti beberapa kekurangan dari film tersebut, seperti awal film yang lambat, sedikit kaku sehingga mirip film dokumenter, dan durasi film yang terlalu pendek, tidak mengurangi nilai-nilai positif yang dibawa dari film tersebut dan mampu dicerna oleh para pelajar MCM.

Film memang terbukti dapat menjadi media edukasi dan pencerdasan para generasi, maka film itu harus bagus dan bernilai positif. Ibrahim (13 tahun) dan Hasnul (15 tahun), pelajar MCM yang juga ikut menonton bareng bahkan dapat menceritakan ulang adegan tiap adegan film tersebut.

Dengan menonton film, pelajar seakan dituntun untuk mengikuti nilai-nilai yang ada dalam film tersebut. Semoga ke depannya akan banyak film yang bernuansa edukasi sehingga bisa menjadi sarana tak langsung untuk generasi muda dalam menanamkan nilai positif.

"Majulah terus para prajurit TNI. Semoga Allah memudahkan langkahmu dalam menjalankan amanat negara!"

03 October 2017

PROFIL PELAJAR MCM (Bag. 1)

ABDURRAHIM, si Kecil-Kecil Cabe Rawit


Belajarnya enak disini, gak susah, santai, enjoy, temennya baik-baik, bersahabat.

Abdurrahim, kelahiran Pekalongan, 5 Oktober 2005, adalah sosok pelajar termuda di Muslim Cendekia Madani. Selain termuda, ia juga menjadi sosok ‘termungil’ diantara teman-temannya yang tinggi menjulang. Namun jangan terkecoh dengan penampilannya. Dalam hal kepandaian, ketahanan fisik, dan porsi makan, Abdurrahim tak kalah dengan para pelajar lainnya yang rata-rata berusia 13-17 tahun. Bisa dibilang, ia bahkan mengalahkan para seniornya dalam beberapa bidang. 


Ahim, biasa ia dipanggil, adalah anak yang lincah, cerdas, sopan, dan sangat sayang pada kucing. Awal kedatangannya di MCM, mungkin adalah saat terberat yang harus ia hadapi. Bayangkan, ia yang selama ini tak pernah berpisah dengan kedua orang tua dan adik-adiknya, harus menerima kenyataan bahwa untuk jangka waktu tertentu, ia tak lagi bisa bercengkrama dan bersenda gurau dengan keluarga tercinta. Jarak Semarang-Bogor bukanlah jarak yang mudah ditempuh jika ia ingin bertemu mereka. Tentu saja hal ini adalah hal yang menyedihkan baginya. 

Hari-hari pertama di MCM tentunya sangat berat buat Ahim. Melamun, menangis, dan selalu ingat keluarga di rumah mengisi awal hari-harinya di sini. Meskipun ada kakak perempuannya yang juga bersekolah di MCM, tidak mengurangi kesedihannya untuk selalu ingat pada orang tua tersayang. Bahkan aktifitas menelepon keduanya tidak mengurangi rasa ingin pulang untuk bertemu mereka. Begitulah, masa-masa adaptasi anak ketiga dari sembilan bersaudara ini.   
  
Namun, masa-masa kesedihan yang dirasakan Ahim ternyata hanya sebentar. Konsep “Berlibur Sambil Bermain” yang diterapkan MCM pada tahun ini sanggup mengubah tangisan, rasa sedih, dan kerinduan akan keluarga di rumah yang dirasakan Ahim perlahan menghilang. Proses pembelajaran yang enjoy, tidak menekan dan memaksa, membuat Ahim mulai menikmati hari-harinya di MCM. Kesedihannya berganti cepat dengan gelak tawa dan canda senang.

Ahim adalah salah satu anak yang menonjol dalam bidang Tahfidz Al-Qur’an. Ketika datang, ia membawa hapalan Al-Qur’an kurang dari 2 juz. Karena kesungguhan dan kedisiplinannya, maka hapalannya meningkat menjadi 4 juz dengan kualitas hafalan terbaik. Ini diraihnya selama dua bulan bersekolah di MCM. Prestasi ini menyamai bahkan mengalahkan seniornya di MCM. Caranya menghapal Al-Qur’an pun tergolong unik. Ia yang hobi bersepeda, bahkan di siang hari terik sekalipun, menghafal atau mengulang hapalannya sambil bersepeda, mengelilingi villa lokasi tempat MCM. Cara ini menurutnya adalah cara asik untuk menghafal atau memuraja’ah Al-Qur’an. Ketika ditanya apakah sulit menghapal Al-Qur’an, ia menjawab tidak, karena ia enjoy melakukannya.

Begitu juga dalam hal pembelajaran Bahasa Arab. Selama dua bulan ini, Ahim sudah menyelesaikan dua jilid pertama buku al-Arabiyyah lî ghairi nâtikin biha: Bayna Yadaik. Ia mengaku, jika diajak berbicara orang Arab seputar perkenalan diri, ia sudah pede menjawabnya.

Dalam hal olah fisik, Ahim juga salah satu anak yang tangguh. Di awal kedatangannya, ia terlihat agak malas bergerak untuk berolahraga. Namun karena setiap pagi adalah jadwal olahraga para pelajar MCM, dimana salah satu konsep pembelajaran di MCM adalah sehat melalui olah fisik, mau tidak mau aktivitas tersebut dilakoninya. Mengelilingi beberapa cluster di Sentul City sejauh 5 km setiap hari, baik sambil berlari, berjalan, ataupun bersepeda, membuat fisiknya terbiasa. Sekarang, ia bahkan biasa mengelilingi danau yang berukuran 500m sebanyak 8 kali putaran. 

Ahim juga sekarang sudah terbiasa disiplin dalam hal kebersihan. Bangun tidur, ia akan membereskan tempat tidur dan perlengkapan tidur lainnya. Ia juga kadang mencuci bajunya sendiri, meskipun MCM menyediakan jasa laundry untuk seluruh pelajar. Ahim juga kini terbiasa bersih-bersih menjaga kebersihan lingkungan. Diharapkan, akhlak suka kebersihan bisa tertanam dalam diri para pelajar sehingga timbul kepeduliannya untuk menjaga lingkungan tempat tinggalnya selalu bersih dan nyaman.

Dalam hal makanan, Ahim tidak pernah mengeluh pada setiap makanan yang dihidangkan. Menurutnya, makanan yang disediakan selalu enak dan cocok di lidahnya. Itulah kenapa ia selalu lahap jika waktu makan tiba.

Ketika ditanya tentang apa yang tidak disukainya selama dua bulan di MCM, Ahim mengatakan, “Gak ada. Gak ada yang gak enak disini.” Dan ketika ditanya apa yang disukainya selama sekolah disini, ia menjawab, “Belajarnya enak disini, gak susah, santai, enjoy, temennya baik-baik, bersahabat.” Satu lagi, Ahim juga paling suka kalau jadwal MCM bermain di Jungle Land. Ia yang sudah beberapa kali masuk ke Wahana Bermain tersebut dan sudah mencoba hampir semua wahana, tak pernah merasa bosan berkunjung kesana. MCM memang selalu menjadwalkan kunjungan ke tempat bermain itu sebagai salah satu bentuk refreshing untuk para pelajarnya. Hal ini sebagai salah satu terapi kejenuhan yang biasa menghinggapi para pelajar.  

Ahim memang tidak seperti kebanyakan anak yang kita temui. Proses pendidikan yang dimiliki MCM bisa digunakan Ahim untuk membangun dirinya. Tentu saja, tidak hanya pada aspek keilmuannya, namun juga bisa membentuk pribadi yang tangguh. Ahim yang masih berusia 12 tahun sudah mampu menempa diri dari proses pendidikan yang ada di MCM. Durasi waktu dua bulan bagi Ahim bisa membuat hafalan al-Qur’annya mumtaz 4 juz. Bahkan ia juga dilatih menjadi imam, bergiliran dengan temannya, saat qiyamulail di setiap malam untuk menguatkan hapalannya. Demikian juga bahasa Arab yang ia pelajari. Meskipun proses menghafal al Qur’an ditekuninya, namun pemahaman dan kemampuan bahasa arab dasar standar—setara dengan buku bahasa dasar di Universitas Umm al-Qura’ Mekkah—juga dikuasainya dengan baik. 

Abdurrahim, si kecil-kecil cabe rawit ini kini sudah mulai menikmati rutinitas kegiatan belajar ala home schooling MCM. Ia memiliki target ingin menghapal Al-Qur’an sampai 10 juz dalam setahun ini. Target belajar yang tidak pernah dipaksakan tapi justru timbul dari kesadaran dan rasa tanggung jawabnya sendiri sebagai seorang pelajar muslim. Sampai sekarang, ingatan ingin pulangnya hanya timbul sesekali saja. Kalau itu muncul, biasanya dia akan menyibukkan dirinya dengan bersepeda dan bermain dengan tiga kucing piaraan MCM. 

Semoga Ahim bisa terus belajar dan menempa diri sehingga kelak bisa mejadi anak shaleh, berakhlak, dan berguna bagi orangtua, agama dan bangsanya. Amiin.

21 September 2017

Mengawali Tahun Baru Hijriah, Alumni MCM Berangkat ke Cairo

Bertepatan dengan hari terakhir di tahun 1438H, Rabu, 20 September 2017, keluarga besar MCM melepas M. Isa Amri, salah satu alumninya yang akan kuliah di universitas Al-Azhar Cairo Mesir. Momen ini sangat mengharukan sekaligus membanggakan karena ini adalah awal pertama bagi MCM untuk menempatkan alumninya di Universitas Islam tertua di kawasan timur tengah tersebut, meski usia MCM baru setahun lebih.


Dengan konsep pendidikan yang fokus pada beberapa materi, utamanya bahasa Arab dan Al-Qur'an, MCM membina dan menyiapkan pelajar muslim yang berakhlak dan berwawasan luas untuk siap menuntut ilmu di luar negeri. Insya Allah di tahun berikutnya, alumni-alumni MCM akan berkesempatan menuntut ilmu di universitas-universitas timur tengah lainnya. 

M. Isa Amri sendiri memiliki latar belakang pendidikan yang sudah diarahkan untuk kuliah di timur tengah. Menyelesaikan Pendidikan Menengahnya di Madrasah Tsanawiyah Al-Azhar Asy-Syarif Jakarta (Kerjasama DEPAG dan Madrasah Al-Azhar Cairo), kemudian menyelesaikan I'dad Lughawi di Pesantren Al-Irsyad Salatiga, serta pindah ke MCM dan menyelesaikan Pendidikan Atasnya dengan ijazah Paket C. Di usia 17 tahun, Isa siap merantau dan menuntut ilmu di negaranya para Nabi.
'Aroma' pelepasan dan perpisahan tersebut sudah dimulai sejak beberapa hari sebelumnya. Bersama para pelajar dan mentor, mereka melakukan olahraga bareng di depok, berenang bersama (khusus ikhwan), masak bareng, kesan dan pesan para pelajar kepada Isa, seuntai kalimat perpisahan oleh Isa, serta tausyiah singkat dari mentor untuk Isa khususnya.

Perpisahan ini cukup dirasakan, baik oleh Isa maupun para pelajar lainnya, khususnya para teman seangkatan. Proses pembelajaran in the home di MCM memang membuat keakraban dan kedekatan diantara para pelajar dan mentor begitu kuat. Membayangkan bahwa kedekatan dan keakraban itu akan menghilang, membuat mereka semakin akrab di hari-hari akhir menjelang keberangkatan. Keakraban yang terjalin layaknya persaudaraan dalam sebuah keluarga besar.


 
Puncaknya adalah perpisahan di Bandara Soekarno Hatta Tangerang. Dengan diantar oleh beberapa pelajar MCM dan juga keluarga tercinta, Isa dilepas dengan haru, bahagia, dan bangga. Tak ada emosi yang berlebihan. Namun jabatan tangan dan pelukan hangat yang tercipta mampu menyampaikan pesan yang ingin disampaikan mereka semua. 

Semoga M. Isa Amri selalu dimudahkan Allah dalam setiap niat dan langkahnya untuk menuntut ilmu, dibimbing untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan bertanggung jawab pada tugasnya 
sebagai pemuda Muslim nantinya.


08 September 2017

Berubah Untuk Lebih Baik


Satu bulan sudah para pelajar Muslim Cendekia Madani (MCM) menjalani proses pembelajaran di tahun ajaran ini. Masa-masa adaptasi meninggalkan keluarga tercinta tentunya sangat terasa oleh mereka, khususnya untuk yang baru pertama kali berpisah dengan orang tua. Terlihat sekali emosi kesedihan pada minggu pertama mereka di MCM. Ada yang menangis diam-diam, ada yang hanya menyendiri dengan raut wajah yang sedih, tapi ada juga yang bersikap biasa dan tetap ceria.

Namun, masa-masa itu tidaklah lama. Konsep pembelajaran “Liburan sambil Belajar” mampu membuat masa-masa tersebut berganti dengan keceriaan, keakraban, dan kegembiraan. Wajah-wajah sumringah kini menghiasi wajah para pelajar MCM. Mereka sudah mulai enjoy dengan lingkungan tempat tinggalnya dan tak terasa sudah mulai menikmati proses pembinaan dan pembelajaran di sini dengan baik. Keakraban pun sudah terjalin dengan sangat baik diantara para pelajar dan para mentor. Tak ada senior-junior di MCM.

Ternyata, masa-masa adaptasi ini pun dirasakan oleh orang tua para santri. Beberapa dari orang tua juga merasakan ‘kehilangan’ anaknya yang jauh dari rumah. Ketika ada kesempatan, tak jarang mereka menelepon atau bahkan menjenguk anak-anaknya. MCM memang tidak membatasi waktu berkunjung para orang tua. Mereka dipersilahkan bertemu dengan anak-anaknya kapan saja, asal tidak mengganggu proses pembelajaran yang berlangsung.

Ada yang unik dari kunjungan orang tua ketika libur Idul Adha kemarin. Beberapa orang tua mengakui perubahan yang terjadi pada anak-anaknya setelah satu bulan tidak bertemu. Mereka cukup ‘surprise’ ketika berkomunikasi dan bercengkrama bersama. Misalnya orang tua Hasnul Fauzan (15 tahun) yang berasal dari Cikampek. Mereka merasakan perubahan anaknya dalam hal cara berkomunikasi. Anaknya lebih santun dan ‘kalem’ dalam interaksi mereka. Juga masih menurut ayahnya, Hasnul terlihat lebih gagah dan sehat. Saat ditanyakan pada Buya Ulil Amri Syafri sebagai  mentor di MCM, beliau hanya tersenyum dan mengatakan, “bisa jadi itu pengaruh olah raga yang dilaksanakan rutin dan teratur setiap pagi.”  

Lain halnya dengan Pak Syafe’i, orang tua dari Abdurrahim (12 tahun). Beliau melihat anaknya lebih pede ketika mengajak kakaknya yang sedang berkunjung untuk muraja’ah Al-Qur’an bersama. Bahkan sesekali Abdurrahim memperlihatkan  kebanggaan pada pengetahuannya terhadap bahasa Arab dasar.  Sedangkan Mutiara Ayu (14 tahun) menurut ibunya yang berkunjung satu minggu sebelum Ied mengatakan bahwa Ayu terlihat lebih ceria. Berbeda dengan terakhir kali ia meninggalkan Ayu di MCM.

Begitulah, perubahan selalu dibutuhkan agar segala sesuatunya berjalan sesuai target pembinaan dan pembelajaran. Dalam hal ini, proses pendidikan yang menitik beratkan pada perubahan akhlak sebagai dasar tujuan tentunya sangat berdampak positif pada diri anak didik. Bandingkan dengan lembaga pendidikan yang hanya menekankan pada pencapaian kognitif dan prestasi akademik saja, namun mengabaikan pembentukan akhlak atau karakter pelajar.

Mengajar anak jadi pintar itu mudah, tapi mendidik anak agar berakhlak baik itu sangat sulit. Karena proses pendidikan akhlak tidak seperti mengajar ilmu pengetahuan. Orang yang berhasil menata dan mendidik akhlaknya tentu lebih mudah mendapatkan ilmu pengetahuan, karena pendidikan keperibadian adalah awal dan inti dari segala proses pendidikan. Kata orang bijak, apalah artinya punya anak pintar tapi buruk sikapnya kepada orang tua. Meskipun terselip kebanggaan pada orang tua karena prestasi anaknya, akan tetapi tetap membawa rasa pilu dalam hati orang tua. 

Maka, sudah saatnya para keluarga muslim melihat kembali skala prioritas perubahan pada diri anak anak. Jangan berikan pendidikan yang bersifat  matrealis, pragmatis, dan individualis  pada anak-anak muslim. Tentunya perubahan yang diharapkan adalah perubahan yang lebih baik, khususnya perubahan yang membawa kebaikan untuk pelajar itu sendiri dan tentunya semua itu akan membahagiakan orang tua dan keluarga mereka. 

Para pelajar Muslim Cendekia MadaniAngkatan I

22 August 2017

"LIBURAN SAMBIL BELAJAR"

Di tahun kedua pembelajarannya, Islamic Boarded Home Schooling MUSLIM CENDEKIA MADANI memiliki lokasi baru sebagai tempat proses pendidikannya. Lokasi ini tak kalah menariknya dengan lokasinya yang terdahulu. Jika dulu MCM berada di tengah pedesaan dan persawahan, kini lokasi baru MCM berada di tengah perkotaan dan villa yang juga memiliki suasana asri dan sejuk. Perpindahan lokasi tersebut bukan hal yang aneh karena konsep pendidikan MCM adalah Home Schooling yang biasa berpindah lokasi dari satu tempat ke tempat lain yang representative sesuai dengan konsep pendidikannya.


Program kegiatan MCM masih tetap dengan program-program unggulannya, yaitu adzkar pagi dan sore, tilawah al-Qur’an, olahraga pagi sambil mengeksplorasi tempat di sekitar lokasi MCM, bahasa Arab untuk pelajar tahun pertama dan tahfidz al-Qur’an untuk pelajar tahun kedua, konsep makan sehat berbasis alami, dan program-program tambahan sesuai kompetensi masing-masing anak.
Untuk tahun ini, pemilihan tempat disesuaikan dengan tema pembelajaran yang diusung MCM tahun ajaran 2017/2018, yaitu “Berlibur sambil Belajar.” Konsep ini merupakan cara unik dalam mendidik dan mengarahkan para pelajar pada kompetensi pendidikan yang ada. Dalam satu tahun ke depan, para pelajar akan diajak “berlibur” namun proses pelaksanaan kurikulum yang ditentukan tetap berjalan tanpa mereka sadari.


Proses ini dilakukan agar para pelajar enjoy dan senang sehingga memudahkan mereka dalam pembelajarannya. Hal ini mendapat apresiasi yang baik dari para pelajar, khususnya para pelajar yang baru bergabung di MCM. Misalnya Habibah, pelajar dari Semarang mengakui bahwa ia merasa senang masuk ke MCM. “Seru! Cara belajarnya beda sekali. Gak semua orang bisa merasakan (keseruan) ini.”

Lain lagi dengan tanggapan Mutiara Ayu, pelajar asal Sukabumi, yang merasa proses belajar di MCM sangat inspiratif. “Para mentornya suka memberi inspirasi. Saya senang disini.”


Tanggapan-tanggapan positif lainnya juga diberikan oleh seluruh para pelajar MCM yang merasa senang dengan awal proses pembelajaran mereka. Meskipun mereka baru bertemu, tapi konsep ‘in home’ yang menjadi ciri khas MCM sangat terasa. Sehingga sejak awal sudah terjalin keakraban dan kedekatan antara para pelajar dan juga dengan para mentor sebagai figur teladan dalam proses pembinaan mental dan akhlak mereka.


This is just beginning, kids! Nantikan proses-proses berlibur dan belajar lainnya yang tak kalah seru, menyenangkan, namun memiliki muatan nilai pembinaan akhlak dan keilmuan.



30 June 2017

Guruku Teladanku

Oleh : Dr. Ulil Amri Syafri

Di media sosial beredar ramai tulisan tentang pola pendidikan di negeri yang di sebut negara maju. Dikisahkan, bahwa seorang guru di Jepang pernah berkata, “Kami tidak terlalu khawatir anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai Matematika. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.” Mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang mereka kemukakan.  

Pertama, “kita hanya perlu melatih anak tiga bulan saja secara intensif untuk bisa Matematika, sementara kita perlu melatih anak hingga dua belas tahun atau lebih untuk bisa mengantri dan selalu ingat pelajaran di balik proses mengantri”. Kedua, karena tidak semua anak kelak menggunakan ilmu matematika kecuali Ilmu TAMBAH, KALI, KURANG DAN BAGI. Lagi pula Sebagian mereka anak jadi penari, atlet, musisi, pelukis, dsb. Ketiga, semua murid sekolah pasti lebih membutuhkan pelajaran Etika Moral dan ilmu berbagi dengan orang lain saat dewasa kelak.

Apa yang menjadi perhatian dunia pendidikan tingkat dasar di negeri tersebut bisa menjadi hal baru atau aneh bagi dunia pendidikan dasar di negeri lain. Sebut saja di Indonesia, meskipun tidak bisa digeneralisasi, tapi setidaknya apa yang berkembang pada masyarakat dan terjadi dalam pergaulan anak di masyarakat bisa memperlihatkan andil dunia pendidikan dalam pembentukan karakter anak-anak.

Fakta yang kerap terjadi di masyarakat kita sebagai berikut; Banyak anak-anak karena tidak sabar mengantri lalu biasa menyusup ke depannya dengan mengambil hak anak lain dalam barisannya. Lebih konyol lagi, hal ini dibiarkan oleh orang tuanya, bahkan tidak sedikit orang tua yang senang melihat pelangaran tersebut. Mereka malah memarahi anaknya bila enggan untuk menyusup ke dalam antrian di depan dengan kata-kata ‘penakut’ kata-kata ‘tidak gagah’ dan sebagainya. Singkatnya, budaya antri yang tertib ternyata tidak saja menjadi masalah anak-anak Indonesia, bahkan masalah ini juga bermula dari kedua orangtuanya sebagai pendidik dan tauladan anak-anak tersebut.

Dari kasus kecil di atas yang berdampak besar, yaitu tentang pendidikan kedisiplinan atau etika melalui budaya antrian, maka dapat terlihat orientasi pendidikan suatu bangsa. Pada kenyataannya, ada lembaga pendidikan yang amat memperhatikan pembangunan karakter anak didiknya. Tapi sangat banyak sekolah seakan tidak terlalu peduli dengan hal semacam itu. Anak-anak menurut mereka cukup menjadi pintar dan berprestasi dalam akademik.  Bahkan guru-guru akan bangga bila anak didiknya lulus dan diterima pada sekolahan favorit, meskipun karakter dan etika anak didik tersebut nol besar.

Sesungguhnya orientasi pendidikan adalah pilihan. Dan itu adalah pilihan yang mudah, bukan pilihan yang berat, apalagi beresiko. Pilihan yang membuat setiap orangtua akan menjadi bahagia dan semakin percaya kepada lembaga pendidikan.

Menurut Ahmad Tafsir, ‘inti (core) pendidikan adalah ahklak mulia’. Lebih lanjut dikatakannya, bahwa pembinaan akal dan keterampilan itu sangat gampang bila anak didik berakhlak mulia. Dan orang yang tidak berakhlak mulia adalah orang yang gagal menjadi manusia. Dengan demikian, lembaga pendidikan yang mengutamakan kepintaran saja tanpa memprioritaskan pembinaan mental, etika, atau akhlak mulia bisa dikatakan bahwa lembaga itu turut bertangungjawab membuat anak didiknya gagal menjadi manusia.  Akhirnya, sekolah yang tidak memberi perhatian lebih pada aspek etika dan akhlak Mulia, tentu dalam perkembangannya tidak akan mendapat kepercayaan maksimal dari masyarakat, apapun status sekolahnya. Baik itu sekolah negeri ataupun swasta, mahal maupun murah, demikian pula pada lembaga pendidikan ber-beasiswa ataupun non-beasiswa.

Banyak variabel yang harus diperhitungkan jika berbicara tentang lembaga pendidikan agar mampu mengantarkan perkembangan anak didiknya kepada tingkat yang sempurna sebagai manusia. Baik dari sisi manajemen, proses pendidikannya, kurikulum, dan lain sebagainya. Namun demikian, ada topik utama dan sangat penting yang harus dibicarakan, yaitu bicara tentang guru atau kualitas guru.

Guru adalah asset dan icon terpenting dalam proses pendidikan, atau jika bisa dikatakan sebagai ‘modal’ termahal dalam kegiatan pendidikan. Bila suatu lembaga pendidikan tidak menempatkan guru demikian, maka lembaga pendidikan tersebut sebenarnya tidak bicara pendidikan yang sesungguhnya. Sebab sehebat apapun konsep pendidikan yang dimiliki suatu lembaga, bila tidak didukung Guru yang sesuai, maka konsep hebat tidak ada artinya dalam proses pendidikan yang berjalan.

Guru adalah laksana motor, penggerak dari sebuah perangkat mesin besar. Guru bagaikan energi yang menjadikan suatu program bisa hidup dan berkembang. Guru adalah ruh dari sebuah tempat pendidikan. Guru adalah cahaya. Dalam Islam, tugas guru setingkat di bawah tugas kenabian. Guru merupakan pewaris tradisi kerja nabi dan rasul  karena guru itu harus mengajar, mendidik, membina dan memberi tauladan. Pada diri gurulah sebagian ilmu dan pengetahuan itu tersimpan. Maka dalam filsafat Islam disebutkan, bahwa meninggalnya seorang berilmu mendalam berarti hilangnya segudang ilmu yang sulit tergantikan. Tingginya kedudukan guru dalam perspektif Islam merupakan realitas dari ajaran Islam tersebut. Tentunya pemahaman ini menempatkan Islam sebagai ajaran yang juga sangat memuliakan ilmu pengetahuan dan sangat menghargai kegiatan pendidikan.

Di negeri kita Indonesia, guru disebut bagai pelita dalam kegelapan, pahlawan tanpa jasa. Pujian terhadap guru terungkap indah dalam bait bait lagu yang berjudul ‘Guruku Tersayang’. Lagu yang diunggah di youtube tersebut sudah dinikmati puluhan juta putra-putri Indonesia. Bahkan negeri tetangga pun menyukai lagu tersebut. Lagu yang ditulis Melly Goeslaw tersebut melukiskan kedudukan dan kecintaan terhadap guru yang diungkapkan lewat ucapan terima kasih yang mendalam. Dikatakan, tanpamu guru apa jadinya aku, tak bisa baca tulis dan mengerti banyak hal, terima kasih guruku. Demikian pula pada bait-bait lagu yang lain, semisal Hymne guru dan Terima Kasih Guru.

Dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia, guru di tempatkan pada tempat yang terhormat. Para pelajar mencium tangan dan mengucapkan salam, menunduk dan tenang saat berhadapan, santun dan lembut saat berbicara pada gurunya. Tradisi ini menurut Ahmad Tafsir tidak membangun hubungan antara anak didik dan guru dalam untung dan rugi, tapi disana ada hubungan keagamaan yang disebutnya nilai Kelangitan. Lebih lanjut kata Ahmad Tafsir, hubungan guru dan anak didik amat berbeda dengan yang yang berlaku di dunia Barat.

Di Barat, hubungan antara guru dan anak didik tidak ada nilai Kelangitannya, hanya seperti hubungan antara orang yang lebih banyak pengetahuan dengan anak didik yang membutuhkan dan sedikit ilmu pengetahuannya. Hubungannya juga seperti pemberi dan penerima, bahkan terkadang sampai pada tingkat pemberi jasa dan pembayar jasa. Maka hitungan dan akad ekonominya sangat menonjol. Hal ini tentunya sangat kering dari nilai Kelangitan. Maka, cara pandang dalam membangun hubungan sebuah proses pendidikan terhadap guru dan posisi guru itu sendiri sangat berpengaruh dalam proses implementasi pendidikan, yang tentunya juga mempengaruhi hasil didikannya.

Saat semakin baik cara pandang lembaga dan stake holder lembaga pendidikan terhadap guru, kualitas guru, dan eksitensinya, maka hal itu merupakan upaya meningkatkan mutu pendidikan dan prosesnya. Demikian pula sebaliknya, bila rendah dan buruk cara pandang kepada guru, tentu berimbas pada rendahnya kualitas proses pendidikan.

Selain itu, paradigma guru dan orang tua dari anak didik pun perlu pembenahan, khususnya tentang ‘bentuk hubungan’ yang dijelaskan di atas. Begitu juga dengan arti pendidikan, jangan hanya dipersempit pada makna pengajaran saja. Tapi pendidikan harus dimaknai luas melalui keteladanan oleh guru, bimbingan, dan pembinaannya sehingga pengajaran dan pembinaan menjadi satu dari proses yang dilakukan oleh guru dan tidak terpisah. Maka pada akhirnya, keteladanan guru menjadi hal yang amat penting, khususnya ketika menanamkan nilai-nilai kebaikan. Sebab, tanpa ada keteladanan maka tidaklah ada artinya pendidikan akhlak mulia bagi anak didik.

Juga tentang makna ‘tugas guru’. Setiap guru—apapun materi yang diampu—harus merasa gundah dan risau serta memiliki tangung jawab bila ada adab dan etika anak didik yang belum sempurna, sehingga setiap guru dapat memberikan perhatiannya. Demikian halnya pada setiap orang tua. Sebagai guru pertama, orang tua tidak bisa berlepas diri 100% dengan telah perginya anak ke sekolah. Sebab sekolah sifatnya adalah membantu pendidikan anak-anak. Maka dalam hal akhlak mulia, setiap orang tua masih memikul beban yang sama berat. Tentunya beban berat pendidikan akhlak tersebut masih bisa dilakukan melalui cara nasehat, memberi semangat, memberi reward and punishment, dan juga melalui keteladanan di lingkungan keluarga.

Maka, terkait dengan budaya antri yang lebih diutamakan dari pada pelajaran matematika pada kasus guru di Jepang tersebut, tentunya sudah bisa dipahami bahwa pembangunan karakter pada anak didik sangat membutuhkan pendekaatan pembiasaan dan keteladanan langsung secara terus-menerus. Siapa pun dia, guru atau orang tua, keduanya dapat banyak memberi pengaruh positif kepada anak didik.

Mengharapkan anak didik memiliki karakter, adab, maupun akhlak mulia tanpa membicarakan siapa dan bagaimana gurunya, maka sampai kapan pun harapan itu hanyalah mimpi. Konsep tentu penting, tapi membahas implementasi konsep jauh lebih penting. Dalam proses pendidikan, sebaik dan sehebat apapun konsepnya jika tidak serius membicarakan guru-guru yang menjadi bagian penting dalam proses tersebut, maka upaya itu masih sebatas gagasan. Sedangkan kompetensi lulusan ataupun hasil pendidikan sangat berkaitan dengan praktek di lapangannya. Oleh karena itu, penanaman nilai pada anak didik menjadi sejalan dengan slogan ‘guruku teladanku’.

08 June 2017

100% LULUS!

Kabar gembira menghampiri keluarga besar Muslim Cendekia Madani di bulan ramadhan 1438H ini. Empat orang pelajarnya yang mengikuti tes seleksi penerimaan mahasiswa ke timur tengah berhasil lulus. Bersama dengan 5942 orang peserta yang tersebar pada 12 lokasi di Indonesia, para pelajar MCM bersaing memperebutkan kesempatan untuk berkuliah di negara timur tengah seperti Mesir, Maroko, Lebanon, dan Sudan pada tanggal 25 Mei 2017. Khusus untuk para pelajar MCM memilih Universitas Al-Azhar Cairo Mesir. 


Universitas Al-Azhar Mesir sendiri memiliki magnet kuat bagi keluarga muslim yang ingin menuntut ilmu. Peminatnya dari tahun ke tahun masih menempati peringkat yang tinggi. Kampus yang telah berusia lebih 1030 tahun tersebut memiliki daya pikat bagi berbagai negeri Islam. Dari 500 ribu mahasiswa yang tercatat sebagai mahasiswanya, lebih dari 60 ribu diantara mereka adalah mahasiswa asing. Mahasiswa asing dari Asean diperkirakan memiliki jumlah mahasiswa(i) terbanyak di kampus tertua tersebut.

Indonesia yang memiliki lembaga pendidikan Islam terbanyak di dunia—dengan jumlah pelajar yang juga banyak—memiliki para lulusan yang berkeinginan kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir. Banyak sebab yang melatarbelakangi hal tersebut. Diantaranya karena Mesir sebagai negeri para nabi—dijuluki sebagai negeri dengan seribu menara dan kaya akan ulama tersohor—memang amat cocok sebagai tempat belajar lanjutan bagi para pelajar muslim dari Indonesia, khususnya bagi mereka yang memiliki kecenderungan berpikir  tajam, kritis, dan gigih dalam menuntut ilmu. Untuk para pelajar yang berkarakter manja akan terasa kurang pas jika memilih ke Universitas  Al-Azhar.  Keistimewaan ini yang membuat Universitas Al-Azhar selalu diminati dari tahun ke tahun. Bahkan, ada para alumni yang mengatakan, ‘jika saja ada kesempatan lagi menjadi mahasiswa, maka saya akan tetap memilih Al-Azhar sebagai tempat kuliah.’

Hal inilah yang kemudian menjadi perhatian para pengelola di Muslim Cendekia Madani. Sejak awal, Muslim Cendekia Madani memang memfokuskan materi bahasa Arab dan al-Qur’an sebagai bekal melanjutkan kuliah di Luar Negeri (dalam hal ini adalah negara-negara timur tengah). Berbagai inovasi dalam hal metode, cara, dan teknik pengajaran, yang juga didukung oleh para mentor yang mumpuni, dilakukan untuk membuat para pelajarnya mampu menguasai bahasa Arab dengan mudah dan baik. Selain itu, hal terpenting dalam proses pengajaran di Muslim Cendekia Madani adalah pembinaan karakter anak dalam hal ketekunan belajarnya, ketajaman berpikir, memiliki daya kritis, santun pada orang tua dan hormat guru, mandiri, pribadi yang tangguh, serta membina kesadarannya untuk beribadah tanpa ada paksaan. Karakter seperti ini sangatlah dibutuhkan oleh mereka yang ingin ‘merantau’ menuntut ilmu di negara-negara timur tengah, khususnya Mesir.

Al-syukurillah, tanggal 8 Juni 2017 para pelajar Muslim Cendekia Madani berhasil memenuhi target yang telah ditetapkan: menembus tes masuk kuliah di timur tengah. Semoga hal ini menjadi awal yang baik bagi mereka untuk menggali ilmu yang lebih banyak dari para pakar-pakar Islam yang memang dimiliki oleh Universitas Al-Azhar.

Tentunya kebahagiaan ini bukan hanya milik para mentor yang telah mendidik dan membina mereka, tapi juga milik seluruh keluarga besar Muslim Cendekia Madani. Untuk itu para mentor tetap mengarahkan, “Jangan pernah merasa sudah selesai berjuang. Justru inilah tonggak awal dari perjuangan kalian dalam belajar Islam yang lebih luas dan mendalam untuk izzah agama Allah dan kejayaan Indonesia dengan Islamnya kelak. Tetaplah fokus dan semangat. Semoga Allah selalu meridhai apa yang kalian cita-citakan.”





10 May 2017

Dunia Literasi Di Muslim Cendikia Madani

Oleh: Dr. Ulil Amri Syafri

Penulis memiliki kemiripan dengan seorang florist atau perangkai bunga. Keduanya sama-sama memiliki jiwa seni yang mampu membuat kagum banyak orang dengan karyanya. Menjadi seorang florist yang memiliki kemampuan hebat dalam seni merangkai bunga tentunya melalui proses belajar. Seni tersebut berkembang dan terus berkembang sesuai pengamatannya. Semakin banyak pengamatan terhadap ilmu tersebut yang diiringi dengan banyak berlatih merangkai bunga, maka ia akan menjadi seorang florist yang berseni tinggi, karyanya akan dikagumi dan akan selalu dikenang.


Pun demikian halnya seorang penulis. Dibutuhkan seni dan ilmu dasar yang berkaitan dengan dunia literasi. Seperti seorang florist, dibutuhkan kemampuan merangkai apa yang ada dalam pikiran menjadi sebuah kalimat-kalimat yang terstruktur dan nantinya menjadi sebuah tulisan yang indah.

Salah satu modal dasar untuk menjadi penulis adalah gemar membaca. Sebab dengan banyak membaca akan membantu meningkatkan kemampuan merangkai kata dan seni dalam tulis menulis. Selain cinta membaca, calon penulis juga harus sering berlatih membuat tulisan, baik pendek ataupun panjang. Dengan pola seperti ini maka potensi menjadi penulis yang bercita rasa tinggi akan mudah diraih.

Dalam dunia pendidikan, ilmu dasar penulisan bagi pelajar di negara kita adalah penguasaan materi Bahasa Indonesia. Materi ini menjadi pelajaran wajib yang harus diajarkan di setiap lembaga pendidikan Indonesia, mulai dari level paling dasar hingga perguruan tinggi (Sisidiknas 2013). Namun sayang, meskipun para pelajar rutin belajar bahasa Indonesia, tetap saja tidak menghasilkan pelajar yang cinta membaca, apalagi gemar mengarang. Maka, bila para pelajar ditanya tentang kesukaan mereka pada dunia literasi, akan mudah ditebak jawabannya.

Hasil penelitian tahun 2012 memperlihatkan bahwa persentase minat membaca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,01 persen. Artinya dalam 10.000 orang hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Betapa rendahnya! Oleh karena itu perlu paradigma dan strategi yang baru dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia. Apa gunanya mempelajari bahasa Indonesia di setiap level pendidikan dengan rentang waktu yang panjang, jika memunculkan rasa gemar membaca saja tidak terwujud. Belum lagi masih banyaknya para pelajar yang berkomunikasi—baik di dunia nyata maupun dunia maya—dengan bahasa yang kurang layak. Tentu saja untuk menjadi seorang penulis yang dimaksud dalam tulisan ini akan semakin sulit dan berat.

Menjadi seorang penulis hebat tentu tidak mudah, tapi proses menuju ke arah itu bukanlah sesuatu yang berat bila dilalui dan ditempuh jalannya. Apalagi media tempat belajar menulis kini amatlah mudah. Sebut saja media sosial yang bisa menjadi ajang belajar membuat tulisan, seperti meng-update status di facebook, twitter, instagram, path, dan sebagainya. Paling tidak, ilmu bahasa Indonesia yang didapat di sekolah bisa digunakan untuk melatih dan memperkaya tulisan-tulisan yang di-update.

Dunia Literasi di Muslim Cendekia Madani
Salah satu cara pembelajaran bahasa Arab di Muslim Cendekia Madani adalah bimbingan untuk membuat dan mengelola blog dengan bahasa Arab, setelah enam bulan sebelumnya mendapatkan materi-materi bahasa Arab secara intensif. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengembangkan kemampuan para pelajar agar menguasai bahasa Arab dengan lebih baik.

Para pelajar tidak saja mempraktekkan secara langsung ilmu-ilmu bahasa Arab yang telah dipelajari, tapi juga berlatih mengunakan istilah-istilah internet dan tekhnologi dalam bahasa arab sebagai kekhasan materi belajar bahasa Arab di Muslim Cendekia Madani. Boleh dibilang, para pelajar di Muslim Cendekia Madani menggunakan perkembangan bahasa Arab mutakhir yang digunakan dalam interaksi di dunia maya. Oleh karenanya, cara belajar dengan membuat dan mengelola blog berbahasa Arab tersebut pada akhirnya tidak saja ansich belajar bahasa arab, tapi juga berlatih untuk menulis secara terus menerus.

Untuk mewujudkan kemampuan tulis menulis yang baik dalam bahasa Arab, maka Muslim Cendekia Madani mengadakan latihan intensif pengembangan bahasa Indonesia dalam bentuk pembiasaan mengarang untuk para pelajarnya. Sebab, bagaimana mereka mampu menulis dengan baik menggunakan bahasa Arab jika menulis dalam bahasa Indonesia pun belum terlatih dengan baik?
Dalam prosesnya, selama empat jam dalam sepekan para pelajar dibimbing, dibiasakan, dan dilatih untuk menulis tulisan-tulisan yang beragam dalam bahasa Indonesia. Mulai dari menulis bebas (free writing), resensi buku, membuat intisari cerita, hingga membuat tulisan ilmiah. Tulisan-tulisan itu kemudian dimasukkan ke dalam blog yang telah dibuat sebelumnya oleh para pelajar. 

Dalam hal ini, saya sependapat dengan pendapat yang mengatakan bahwa perkembangan tekhnologi yang di dalamnya ada internet dan gadget justru bisa membuka terobosan baru dalam penumbuhan minat baca dan menulis pada para pelajar. Namun demikian setiap lembaga pendidikan harus tetap hati-hati. Perkembangan teknologi bisa sangat positif jika para pelajar dididik cerdas untuk memanfaatkannya.

Sebaliknya, jika para pelajar menggunakan internet—utamanya media sosial—hanya sekedar sibuk update status, chatting, dan berkomentar sekedar di status teman, maka mereka belajar bahasa pada level dasar secara terus menerus. Lalu, kapan bisa menjadi penulis yang hebat?

Inilah yang kemudian diterapkan di Muslim Cendekia. Perkembangan teknologi yang ada dijadikan sebagai sarana untuk berlatih menulis, baik dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Arab. Penggunaan blog dalam menampilkan hasil karya tulisan para pelajar secara tidak langsung menimbulkan rasa percaya diri, bahwa mereka juga mampu menghasilkan sebuah tulisan yang dapat dinikmati secara luas dalam ruang lingkup dunia. Tentu saja ini menimbulkan semangat mereka untuk terus menulis dan mengasah kemampuan mengungkapkan buah pikiran ke dalam sebuah karya tulis.

Jadi, teruslah belajar dan berlatih berbahasa dalam bentuk seni menulis yang baik. Karena teknologi pun kini sudah siap men-support calon penulis yang karyanya akan dikenang pembacanya kelak. Belajar dan berlatih bahasa berarti belajar berkomunikasi dengan bahasa yang baik. Belajar bahasa berarti melahirkan minat dan cinta membaca yang tinggi. Belajar bahasa juga hendaknya menghasilkan pelajar yang mahir menulis dengan seni tulis yang mengagumkan seperti layaknya floristy. Maka, empat jam dalam sepekan untuk latihan dan mengasah kemampuan tulis-menulis ini bisa terasa kurang bukan?





24 April 2017

Tips Mencari Sekolah Untuk Keluarga Muslim

Oleh: Dr. Muhyani*


Tugas orang tua dari keluarga muslim yang utama adalah mengantarkan anak menjadi generasi yang tangguh serta taat pada Allah dan Rasul-Nya, sehingga anak selamat dari siksa neraka. Karena itu orang tua hendaknya memperhatikan keagamaan, program dan juga memperhatikan lingkungan tempat anak akan dididik. Orang tua boleh berkeinginan untuk menjadikan anaknya apa saja asalkan tidak menyalahi prinsip pendidikan Islam.
Berikut ini ada beberapa tips memilih lembaga pendidikan bagi keluarga Muslim:
Pertama, pilih lembaga pendidikan yang aqidahnya benar. Di jaman sekarang ini lembaga-lembaga pendidikan Islam banyak bertebaran di pelosok negeri. Mulai dari lembaga pendidikan mahal yang menawarkan berbagai keunggulan-keunggulan dalam proses pendidikannya, hingga lembaga pendidikan berbasis home schooling yang kian diminati oleh orang tua muslim. Dari keseluruhan lembaga-lembaga tersebut, pilih lembaga pendidikan yang memperhatikan konsep pembinaan keagamaannya berbasis al-Qur’an dan Hadis. Hal ini menjadi pondasi awal untuk membentuk anak agar tumbuh menjadi seorang muslim yang berakidah lurus.

Kedua, pilih yang mengajarkan anak untuk sadar beragama, menjalankan agama berdasarkan ilmu. Lembaga pendidikan yang baik harus mengedepankan tradisi keilmuan dalam membina para pelajarnya. Artinya, semua ilmu-ilmu yang diajarkan harus didasari oleh ilmu-ilmu yang ada, bukan berdasarkan kebiasaan atau tradisi.

Ketiga, mengutamakan pengamalan adab-adab Islam dalam keseharian. Lembaga pendidikan Islam yang baik adalah lembaga pendidikan yang dapat menerapkan apa yang diajarkan, apa yang dididik, dan apa yang dibina pada pelajarnya. Jadi, ilmu-ilmu yang mereka dapatkan tidak hanya dihapal dan dipelajari, tapi juga dipraktekkan secara langsung dalam proses pendidikannya. 


Keempat, program pendidikan nya jelas dan efektif. Sudah menjadi keluhan banyak pihak bahwa sistem pendidikan di Indonesia terlalu membuang waktu dan tidak efektif. Ketika masuk pendidikan menengah misalnya, anak dihadapkan pada banyak materi yang menguras waktu dan tenaga, padahal kesemua materi tersebut tidak diperlukan ketika anak akan melanjutkan ke perguruan tinggi, hanya sebagian kecilnya saja. Alangkah baiknya jika orang tua memilihkan lembaga pendidikan yang fokus dan mendalam, agar sejak awal anak mulai diarahkan sesuai dengan keinginannya. Sehingga, materi-materi yang diberikan bisa diberikan secara efektif sehingga peluang untuk menguasai bidang keilmuan tersebut secara dini sangat besar.

Kelima, pilih yang memberikan skill menghadapi masalah dalam hidup. Hampir kebanyakan lembaga pendidikan menitikberatkan proses pendidikannya pada penguasaan kognitif semata. Demi memperoleh nilai UN yang baik, anak dijejali materi-materi keilmuan sehingga melupakan pembinaan mentalnya. Salah satu pembinaan mental yang terlupa dalam proses pendidikan sekarang adalah mendidik jiwa anak agar tangguh, kuat, dan tawakkal pada setiap masalah yang ada dihadapannya. Lembaga pendidikan yang baik tahu betul bahwa kesuksesan dan keberhasilan anak tidaklah diukur oleh besaran nilai tes yang ada, tapi seberapa kuat karakter dan kepribadian anak dalam menghadapi permasalahan yang menghadang langkahnya.  

Keenam, memperhatikan kesehatan anak baik secara fisik maupun psikis. Makanan dan minuman yang dikonsumsi sangat berpengaruh pada kondisi fisik dan psikis seorang anak. Jika sejak kecil pola makan yang diberikan pada anak keliru, makan hal ini akan berimbas pada kecerdasan, ketenangan jiwa, dan ketahanan fisik anak. Padahal, untuk menuntut ilmu dengan baik, dibutuhkan tubuh yang sehat dan kuat, pikiran yang tenang dan stabil, serta ketajaman berpikir yang baik. Dalam hal ini, memilih lembaga pendidikan yang concern terhadap pola makan sebagai basis kesehatan jasmani dan ruhani sudah menjadi keharusan pada saat ini. 
Ketujuh, dibina oleh guru yang kompeten keilmuannya. Salah satu problem dalam pendidikan adalah para pengajar kurang memiliki kompetensi dalam bidang keilmuan yang diajarkannya. Misalnya, banyak para guru yang mengajarkan ilmu-ilmu Hadis tapi bidang studi yang mereka ambil bukanlah ilmu-ilmu Hadis. Sehingga mereka tidak maksimal dalam mengajar atau mendidik anak, atau bisa dikatakan hanya sekedar mengajar saja. Lembaga pendidikan yang baik adalah lembaga pendidikan yang memiliki tenaga pengajar sesuai dengan kompetensi keilmuannya, agar dapat mendukung keberhasilan proses pembinaan intelektual anak.

Kedelapan, iklim lembaga pendidikan yang kondusif, penuh kekeluargaan, saling asah, asuh, dan asih. Kondisi pendidikan di Indonesia kini dipenuhi dengan kasus ‘bullying’. Adat ketimuran yang dimiliki dalam proses pendidikan dahulu kini berganti dengan kebiasaan mengejek dan menghina, baik secara fisik ataupun psikis. Penting untuk orang tua agar melihat dari dekat seperti apa proses pergaulan di sebuah lembaga pendidikan. Ini dilakukan agar bisa menyelamatkan anak dari kebiasaan ‘bullying’ yang sudah menjadi kelumrahan dalam sebuah institusi pendidikan, boarding school ataupun non boarding school.

Selamat memilih lembaga pendidikan yang tepat untuk sang buah hati. Semoga pilihan para orang tua membawa kebahagiaan dan keberkahan bagi anak-anak keluarga muslim dunia dan akhirat. Aamiin.
·   

 *Mentor lembaga pendidikan Muslim Cendekia Madani dan pakar psikologi pendidikan Islam