Satu bulan sudah para pelajar Muslim Cendekia Madani (MCM) menjalani proses pembelajaran di tahun ajaran ini. Masa-masa adaptasi meninggalkan keluarga tercinta tentunya sangat terasa oleh mereka, khususnya untuk yang baru pertama kali berpisah dengan orang tua. Terlihat sekali emosi kesedihan pada minggu pertama mereka di MCM. Ada yang menangis diam-diam, ada yang hanya menyendiri dengan raut wajah yang sedih, tapi ada juga yang bersikap biasa dan tetap ceria.
Namun, masa-masa itu
tidaklah lama. Konsep pembelajaran “Liburan sambil Belajar” mampu membuat
masa-masa tersebut berganti dengan keceriaan, keakraban, dan kegembiraan.
Wajah-wajah sumringah kini menghiasi wajah para pelajar MCM. Mereka sudah mulai
enjoy dengan lingkungan tempat tinggalnya dan tak terasa sudah mulai menikmati
proses pembinaan dan pembelajaran di sini dengan baik. Keakraban pun sudah
terjalin dengan sangat baik diantara para pelajar dan para mentor. Tak ada senior-junior
di MCM.
Ternyata, masa-masa
adaptasi ini pun dirasakan oleh orang tua para santri. Beberapa dari orang tua juga
merasakan ‘kehilangan’ anaknya yang jauh dari rumah. Ketika ada kesempatan, tak
jarang mereka menelepon atau bahkan menjenguk anak-anaknya. MCM memang tidak
membatasi waktu berkunjung para orang tua. Mereka dipersilahkan bertemu dengan
anak-anaknya kapan saja, asal tidak mengganggu proses pembelajaran yang
berlangsung.
Ada yang unik dari
kunjungan orang tua ketika libur Idul Adha kemarin. Beberapa orang tua mengakui
perubahan yang terjadi pada anak-anaknya setelah satu bulan tidak bertemu.
Mereka cukup ‘surprise’ ketika berkomunikasi dan bercengkrama bersama. Misalnya
orang tua Hasnul Fauzan (15 tahun) yang berasal dari Cikampek. Mereka merasakan
perubahan anaknya dalam hal cara berkomunikasi. Anaknya lebih santun dan ‘kalem’
dalam interaksi mereka. Juga masih menurut ayahnya, Hasnul terlihat lebih gagah
dan sehat. Saat ditanyakan pada Buya Ulil Amri Syafri sebagai mentor di MCM, beliau hanya tersenyum dan mengatakan,
“bisa jadi itu pengaruh olah raga yang dilaksanakan rutin dan teratur setiap
pagi.”
Lain halnya dengan Pak
Syafe’i, orang tua dari Abdurrahim (12 tahun). Beliau melihat anaknya lebih
pede ketika mengajak kakaknya yang sedang berkunjung untuk muraja’ah Al-Qur’an
bersama. Bahkan sesekali Abdurrahim memperlihatkan kebanggaan pada pengetahuannya terhadap
bahasa Arab dasar. Sedangkan Mutiara Ayu
(14 tahun) menurut ibunya yang berkunjung satu minggu sebelum Ied mengatakan
bahwa Ayu terlihat lebih ceria. Berbeda dengan terakhir kali ia meninggalkan
Ayu di MCM.
Begitulah, perubahan
selalu dibutuhkan agar segala sesuatunya berjalan sesuai target pembinaan dan
pembelajaran. Dalam hal ini, proses pendidikan yang menitik beratkan pada perubahan
akhlak sebagai dasar tujuan tentunya sangat berdampak positif pada diri anak
didik. Bandingkan dengan lembaga pendidikan yang hanya menekankan pada
pencapaian kognitif dan prestasi akademik saja, namun mengabaikan pembentukan
akhlak atau karakter pelajar.
Mengajar anak jadi
pintar itu mudah, tapi mendidik anak agar berakhlak baik itu sangat sulit. Karena
proses pendidikan akhlak tidak seperti mengajar ilmu pengetahuan. Orang yang
berhasil menata dan mendidik akhlaknya tentu lebih mudah mendapatkan ilmu
pengetahuan, karena pendidikan keperibadian adalah awal dan inti dari segala
proses pendidikan. Kata orang bijak, apalah artinya punya anak pintar tapi
buruk sikapnya kepada orang tua. Meskipun terselip kebanggaan pada orang tua karena
prestasi anaknya, akan tetapi tetap membawa rasa pilu dalam hati orang tua.
Maka, sudah saatnya para keluarga muslim melihat kembali skala prioritas perubahan pada diri anak anak. Jangan berikan pendidikan yang bersifat matrealis, pragmatis, dan individualis pada anak-anak muslim. Tentunya perubahan yang diharapkan adalah perubahan yang lebih baik, khususnya perubahan yang membawa kebaikan untuk pelajar itu sendiri dan tentunya semua itu akan membahagiakan orang tua dan keluarga mereka.
Maka, sudah saatnya para keluarga muslim melihat kembali skala prioritas perubahan pada diri anak anak. Jangan berikan pendidikan yang bersifat matrealis, pragmatis, dan individualis pada anak-anak muslim. Tentunya perubahan yang diharapkan adalah perubahan yang lebih baik, khususnya perubahan yang membawa kebaikan untuk pelajar itu sendiri dan tentunya semua itu akan membahagiakan orang tua dan keluarga mereka.
0 komentar:
Post a Comment