Cluster Casablanca, Sentul City, Bogor - Jawa Barat - 16810 | Hotline: 0813-1112-5384 (Call/SMS/WA)

29 August 2022

Madrasah Adalah Kita, Kita Adalah Madrasah (Part 1)

 Oleh: Dr. Ulil Amri Syafri

Dalam suasana kuliah bersama mahasiswa program Magister Pendidikan Islam beberapa tahun ini, penulis sering mendiskusikan persoalan pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Tak jarang diskusi akan menjadi hangat dan ‘panas’ saat menyingkap sejarah pendidikan Islam yang pernah menggeliat di bumi Nusantara. Pertanyaan mahasiswa terkadang nyelenehpenulis sangat suka dengan model pertanyaan ini—pun ada yang kritis. Salah satu pertanyaan menarik dari salah satu mahasiswa yang penulis suka seperti, “Apakah dengan modal sejarah pendidikan Islam yang pernah ada di Nusantara bisa ‘mengangkat’ Pendidikan nasional dan pendidikan Islam secara khusus pada masa ke depan?” Begitulah kira-kira.

Jika boleh diibaratkan, pendidikan Islam di Indonesia saat ini laksana kereta yang sudah berjalan di lintasan waktu yang panjang, melewati alam yang sejuk, panas, dingin, terik, melintasi lembah yang terjalhutan rimba yang gelap gulita, serta berbagai kondisi lainnya, sebagai tempaan jejak jalan Pendidikan Islam di Nusantara. Kondisi ini setidaknya bisa menjadi kilatan potret bagi generasi berikutnya, meskipun jepretan masa lalu tak setajam penglihatan masa kini. Artinya, meski jejak dan perjuangan pendidikan masa lampau tak bisa terbaca secara jelas dan tepat oleh generasi saat ini, namun tetap dapat diamati dan dicermati.

Pendidikan memang persoalan yang amat luas dan pelik. Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat muslim, beruntung memiliki sejarah yang meski samar masih bisa dibaca, khususnya sejak tahun 1900. Paling tidak, hasil bacaan itu bisa menjadi input dalam memetakan pendidikan di Indonesia. Meskipun kita juga paham tidak semua masa depan bisa diselesaikan dengan cara-cara lama, termasuk agenda pendidikan. Pendidikan dan pengajaran adalah sesuatu yang hidup, terus bernafas dan berjalan, meski paradenya menuju ke depan, bukan ke belakang.

Salah satu pembahasan yang ada dalam buku ini adalah tentang madrasah. Madrasah muncul—bisa dikatakan begitu—ketika kedigdayaan surau mulai pudar sebagai pusat pendidikan Islam tempoe doeloe. Awal mula sistem dan kelembagaan madrasah dengan pola klasikal muncul dari ide dan gagasan Syaikh Abdullah Ahmad dan kawan-kawan. Meskipun misi kehadiran surau dan madrasah berangkat dari kesadaran akan pentingnya pendidikan Islam bagi masyarakat, namun tetap saja madrasah memiliki orientasi berbeda. Hal ini dilihat dari desain kurikulumnya yang telah dikombinasikan dengan keilmuan pengetahuan umum. Berbeda dengan surau yang pure mengajarkan ilmu-ilmu agama.

Kini, setelah berjalan satu abad lebih, madrasah tetap seperti dahulu, masih dideskripsikan pada satu model saja, yaitu pendidikan keagamaan. Para pengelolanya memfokuskan hanya pada ilmu-ilmu agama dan turunannya, dengan mengikutkan perubahan-perubahan yang tidak terlalu signifikan. Hal ini sebenarnya bertolak belakang dengan teori desain kurikulum dan model pembelajaran yang menekankan pada perubahan inovasi dan rekayasa sesuai perkembangan jaman, sekaligus kebutuhan minat anak didik sepanjang masanya. Sebab perubahan adalah unsur kemajuan, tanpa mau berubah dan mengubah, bisa jadi benih-benih kemunduran telah masuk di dunia pendidikan.  

Istilah madrasah itu sendiri muncul karena merujuk pada kecerdasan berpikir para tokoh muslim memasuki era pergerakan kemerdekaan Indonesia masa lampau. Saat itu, muncul dua gerakan yang tidak dapat dipisahkan namun tidak mudah pula disatukan. Pendidikan Keagamaan dan Pendidikan Nasional. Di awal kemerdekaan, dua istilah ini cukup menguras pikiran.

Dari sudut pandang pendidikan keagamaan, penyebutan agama akan selalu terhubung dengan sistem pendidikannya. Misalnya, Pendidikan Kristen lahir dalam bentuk sekolah-sekolah untuk mereka yang beragama Kristen. Demikian pula untuk agama lainnya di Indonesia. Dalam masyarakat muslim, istilah yang secara masif digunakan untuk merujuk pada sekolah Islam itu adalah madrasah, meskipun sebenarnya dalam Islam sendiri memiliki varian pendidikan yang amat bervariasi. Jika kita telusuri pada Islam masa silam, kelembagaan pendidikan amatlah banyak. Sebut saja ada yang model rumah pendidikan—dan ini amat tertua—yaitu Bait al-Arqam era Nubuwwah. Kemudian terus berkembang dengan model masjid, kuttab, istana, pustaka, bahkan model rumah ulama—homeschooling dalam istilah saat ini. Ada juga dalam bentuk-bentuk majlis, sanggar-sanggar sesusatraan, ribath tempat latihan jiwa, zawiyah, bahkan tempat observasi di pasar, dan juga rihlah ilmiyah dalam bentuk mulazamah yang telah melembaga dan melahirkan imam-imam besar yang faqih pada bidang keilmuan Islam.

Dari kesemua itu bisa disimpulkan bahwa esensi pendidikan Islam bukan terletak pada bentuk dan namanya, tapi pada NILAINYA. Penyematan kata ‘Islam’ pada lembaga dan pendidikan itu sendiri bukan sekedar aksesoris. Ketika pendidikan Islam hanya dimaknai dari satu sudut nama saja, atau lebih suka copy paste konsep terdahulu, maka esensi pendidikan berbasis falsafah Islam akan hilang dan tak akan berkembang pada model-model yang dibutuhkan jaman. Tentu hal ini tak menguntungkan peradaban dan kebaruan pendidikan Islam yang terus hidup dan bertumbuh.

Di Nusantara sendiri pendidikan Islam menjelma dalam bentuk pesantren di tanah Jawa, Surau di tanah Minangkabau Sumatra, Meunasah, Dayah, Rangkang di Aceh, dan penyebutan lainnya sesuai dengan kilas sejarahnya di masing-masing daerah. Lembaga ini biasa dinisbatkan kepada tempat atau lokasi, semisal Surau Ulakan Syaikh Burhanuddin dan Surau Jembatan Besi.  Demikian pula Pesantren, ada yang dinisbahkan kepada nama kiainya, atau tempat pesantren itu berdiri, juga ada dengan nama-nama berbahasa arab. Bahkan di beberapa wilayah kerajaan Islam Nusantara, tradisi pendidikan masa lampau masih membudaya bagi masyarakat di sana hingga kini.

Lalu, bagaimana gambaran madrasah masa kini? (Bersambung)

 

25 July 2022

"Madrasah adalah Kita, Kita adalah Madrasah" (Part 2)



Tahun 2014, Kementerian Agama RI mengembangkan empat tipe madrasah masa depan: tipe akademik dan sains, tipe vokasi, tipe keagamaan, dan tipe regular. Meskipun gagasan ini sudah digaungkan beberapa tahun lalu, namun kenyataan di lapangan memperlihatkan gagasan tersebut belum terimplementasikan secara baik dan apik. Menurut Kemenag, kurikulum keempat tipe tadi tetap sama, perbedaannya hanya pada penguatan atau peminatan. Walaupun pada tataran agenda madrasah program tersebut sudah dipublikasikan, ide tersebut terfokus hanya pada madrasah negeri yang berada di bawah kementerian agama langsung.

Untuk Madrasah yang dikelola oleh masyarakat, dalam hal ini swasta yang jumlahnya amat banyak, agenda tersebut dapat dipelajari secara cermat. Sehingga kebijakan itu bisa digunakan dan bermanfaat sebagai usaha dan ruang inovasi, sekaligus sebagai rekayasa pembelajaran dan desain kurikulum kekinian, untuk mengisi kualifikasi lulusan madrasah swasta masa depan yang kompetitif dan memiliki ketrampilan relevan yang dimaksud.

Jika kita buka data BPS tahun 2021, terhitung ada kisaran ±54.324 lembaga atau 93% jumlah seluruh madrasah swasta milik rakyat se-NKRI. Pendidikan Islam ini merumput dan hadir di tengah masyarakat Indonesia dengan sebaran merata. Bahkan ada madrasah yang kokoh berdiri di pulau terluar. Hanya 7% saja madrasah negeri dari jumlah madrasah yang ada di seluruh Indonesia.

Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa partisipasi dan kontribusi masyarakat muslim Indonesia amat besar pada urusan pendidikan, khususnya pada lembaga madrasah. Pada studi kasus mini di wilayah Bogor (luas 2.986 km2), keberadaan madrasah swasta rinciannya seperti berikut: tingkat RA ada 133 sekolahan, MI ada 60 seolahan, MTs ada 44 seolahan,  dan MA ada 15 seolahan. Semuanya tersebar di beberapa kota Bogor. Total jumlah madrasah di wilayah kata Bogor adalah 252. Sedangkan madrasah negeri di tingkat satuan MIN ada 1, MtsN 2, dan MAN ada 4.  Dengan jumlah penduduk muslim kota Bogor muslim sekitar 960 ribu dari populasi 1,04 juta tahun 2020, maka madrasah swasta di wilayah kota Bogor terlihat sudah cukup memenuhi jumlah penduduknya.

Meskipun dalam perjalanannya madrasah dianggap ‘sehat dan aman-aman saja’, namun jika ditinjau dari ilmu pendidikan, madrasah memiliki masalah yang cukup serius, atau bisa jadi bermasalah. Mengapa?

Idealnya, dalam mengembangkan sebuah lembaga pendidikan harus ada prosedur kerja yang berkualitas dan terarah; ada riset, diskusi mendalam—termasuk dialog para pakar di bidangnya, ada juga uji coba terbatas. Hal ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar, bukan cuma setahun dua tahun saja, apalagi kebut semalam. Kenyataannya, banyak masyarakat yang masih terburu-buru dalam melahirkan lembaga pendidikan Islam. Hal ini terlihat dari desain kurikulum madrasah yang keseluruhannya nyaris serupa, hanya ada perbedaan pada titik peminatan.

Biar bagaimanapun juga, hasil yang dilakukan penuh ketelitian dan matang, dengan yang memiliki cara kerja kebut semalam tentu akan berbeda. Artinya, mendesain satuan pendidikan tidak bisa asal kejar tayang-kejar setoran. Sebab hal ini berpengaruh pada kualitas pendidikan itu sendiri. Lalu, apa urgensi dari diluncurkannya keempat tipe madrasah oleh kemenag RI bila tidak dijadikan momentum inovasi serius untuk model pendidikan Islam masa depan?

Ungkapan ‘tipe-tipe madrasah dengan desain kurikulum sama dan hanya ada perbedaan pada peminatan saja’, penulis pikir ini masih kurang, bahkan tidak nendang. Seharusnya narasi yang menyertai program keempat tipe madrasah adalah: “Perbedaan ini punya titik tekan pada desain kurikulum yang memang amat berbeda, karena titik fokus pembelajaran pun berbeda”. Jadi madrasah yang akan dilahirkan akan betul-betul berbeda, proses pengajarannya pun berbeda. Sebab pendidikan itu amat ditentukan oleh proses sehingga sebuah proses pendidikan itu layak mendapatkan perhatian yang serius.

Perubahan yang akan dilakukan juga harus melibatkan perubahan mindset. Jangan ada keinginan berubah tapi perilaku kita terhadap perubahan tersebut tak berubah. Seperti pada kasus di masyarakat, ketika proses pendidikan sudah masuk era digital, tapi tetap saja perilaku kita masih manual. Maka penulis berpikir, jika perubahan madrasah ini serius dan terencana dengan berbasis pengkajian dan analisis mendalam, ada usaha dan inovasi pada proses pendidikan tingkat Madrasah, khususnya pada satuan pendidikan MA, maka ini adalah lompatan jauh sekaligus telah memerdekan istilah madrasah itu sendiri. Tapi jika desain kurikulumnya masih dinyatakan sama dan hanya ada perbedaan pada peminatan, tentu ini bukanlah perubahan, tapi sekedar keinginan semata.

Sekedar ide atau gagasan penulis, inovasi desain kurikulum bisa dimulai dari satuan pendidikan MI yang difokuskan pada ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu-ilmu fardhuain, dengan diperkaya pada praktek ibadah dan pembinaan jiwa beragama. Karena pembelajaran agama yang sekedar kognitif saja akan berbeda hasilnya dengan pembelajaran agama yang belajar hidup menjadi manusia beragama. Dengan konsep seperti ini, durasi waktu 6 tahun yang begitu panjang akan lebih menyenangkan. Anak tidak boring dengan sekedar materi agama, tapi ada edukasi hidup beragama hingga proses belajar juga dibuat gembira, tak terasa beban berat pada tuntutan kognitifnya.

Kemudian pada satuan MTs, ilmu fardhuain tersebut lebih diperluas dengan dalil-dalil dan argumentasi, sehingga anak-anak berlatih menarasikan pendapat hingga berbeda pandang sekalipun. Hal ini bisa menjadi dasar pengembangan sikap kolaborasi, bernalar kritis, kreatif, dan aktif. Pada satuan ini bisa diperkaya dengan materi agama, tapi jiwa beragama anak tetap ditumbuhkembangkan dengan baik, yang menjelma menjadi akhlaqul karimah.

Selanjutnya pada satuan MA, bisa dikembangkan ke arah jurusan dan skill masa depan dengan varian yang menarik dan memang dibutuhkan. Bahkan tidak terbatas pada tipe yang disebut di atas, namun lebih rinci lagi, sehingga kompetensi dan kesiapan anak muslim yang akan masuk dunia karya dan kerja pasca MA betul-betul siap dan mampu dengan kualifikasi yang relevan. Sehingga masing-masing jurusan memiliki kualifikasi pada lulusan dengan kekhasan yang memang berbeda. Bisa saja ada MA kejuruan IT, MA bisnis digital, MA olah raga, MA Seni & fashion Islami , MA multimedia & desain, MA e-commerce,  MA desain dan komunikasi Virtual, MA gizi dan kesehatan, MA keperawatan & kebidanan, MA tata boga & perhotelan, MA publikasi & jurnalistik,  MA pemikiran dan keagamaan Islam, dan lainnya.

Jadi, tak masalah jika jumlah madrasah itu puluhan ribu, asal kehadirannya tidak satu model saja. Para pengelola yang mempunyai SDM juga bisa membuat MA bidang kompetensi tertentu dengan memanfaatkan teknologi digital.

Adapun MA jurusan keulamaan, tetap menggunakan pola kepesantrenan yang klasik dan khas yang telah ada selama ini, dimana kemampun dan kualifikasi santri dan lulusannya harus berkualitas dan mendapat gemblengan adab secara khusus. Ilmu tidak saja diukur dengan selembar kertas ijazah, seperti MA yang biasa, tapi lebih dari itu, yaitu mereka mampu dalam penguasaan kitab-kitab keagamaan beserta referensi yang kompatibel, dan lain sebagainya. Sehingga lulusan MA jurusan keulamaan betul-betul tumbuh sebagai calon ulama.

Bila mereka terus tafaqquh fi al-diin, melakukan proses tradisi ilmiah ulama dan rihlah ilmiyah ulama, maka akan hadir ulama sungguhan di masyarakat, meskipun jumlahnya sedikit. Karena menjadi ulama bukanlah kewajiban seluruh muslim, namun kewajiban fardhu kifayah, sebagian kecil saja. Jangan lagi menjadikan sorban dan gamis besar sebagai simbul keulamaan. Tapi ulama itu adalah tempat ke-faqih-an ilmu ‘alim, amil bisa jadi tauladan, mu’allim mampu menjadi guru dan referensi bagi umat, serta mukhlis yang terpancar keikhlasan jiwanya.

Demikianlah, gagasan-gagasan varian madrasah di atas tidak saja berbeda dalam hal desain kurikulumnya, tapi tentu proses dan implementasi pendidikannya juga amat berbeda.

Kembali pada permasalahan madrasah masa kini. Madrasah identik dengan sekolah keagamaan, walaupun sebenarnya sejak tahun 1975 desain kurikulumnya berubah menjadi 30% materi keagamaan dan materi ilmu lain 70%. Pun demikian pada prakteknya, seluruh beban pembelajaran di sekolah umum diajarkan juga di madrasah. Artinya, para siswa madrasah seakan memiliki beban 200% pelajaran, yaitu 100% agama yang memang bagian utama madrasah selama ini, dan 100% pelajaran umum seperti sekolah umumnya. Meskipun demikian kenyataannya, stakeholder madrasah sendiri cenderung memperlakukan seperti sekolah madrasah agama. Bukan sekolah ilmu-ilmu umum berbasis keagamaan.

Tulisan ini dikutip dari buku penulis yang berjudul ‘Pendidikan Bukan-Bukan: Menyingkap Sejarah Pendidikan Islam Indonesia’, Dalam buku tersebut diulas potret pemikiran tokoh penting pendidikan masa lampau. Semoga gagasan dan analisis yang ada dalam buku tersebut bisa memberi inspirasi, khususnya bisa menjadi agenda ke depan pendidikan Islam untuk Indonesia yang lebih baik dan maju.