Tahun 2014, Kementerian Agama RI mengembangkan empat tipe madrasah masa depan: tipe akademik dan sains, tipe vokasi, tipe keagamaan, dan tipe regular. Meskipun gagasan ini sudah digaungkan beberapa tahun lalu, namun kenyataan di lapangan memperlihatkan gagasan tersebut belum terimplementasikan secara baik dan apik. Menurut Kemenag, kurikulum keempat tipe tadi tetap sama, perbedaannya hanya pada penguatan atau peminatan. Walaupun pada tataran agenda madrasah program tersebut sudah dipublikasikan, ide tersebut terfokus hanya pada madrasah negeri yang berada di bawah kementerian agama langsung.
Untuk
Madrasah yang dikelola oleh masyarakat, dalam hal ini swasta yang jumlahnya
amat banyak, agenda tersebut dapat dipelajari secara cermat. Sehingga kebijakan
itu bisa digunakan dan bermanfaat sebagai usaha dan ruang inovasi, sekaligus
sebagai rekayasa pembelajaran dan desain kurikulum kekinian, untuk mengisi
kualifikasi lulusan madrasah swasta masa depan yang kompetitif dan memiliki
ketrampilan relevan yang dimaksud.
Jika kita
buka data BPS tahun 2021, terhitung ada kisaran ±54.324 lembaga atau 93% jumlah
seluruh madrasah swasta milik rakyat se-NKRI. Pendidikan Islam ini merumput dan
hadir di tengah masyarakat Indonesia dengan sebaran merata. Bahkan ada madrasah
yang kokoh berdiri di pulau terluar. Hanya 7% saja madrasah negeri dari jumlah
madrasah yang ada di seluruh Indonesia.
Berdasarkan
data tersebut terlihat bahwa partisipasi dan kontribusi masyarakat muslim
Indonesia amat besar pada urusan pendidikan, khususnya pada lembaga madrasah.
Pada studi kasus mini di wilayah Bogor (luas 2.986 km2), keberadaan
madrasah swasta rinciannya seperti berikut: tingkat RA ada 133 sekolahan, MI
ada 60 seolahan, MTs ada 44 seolahan,
dan MA ada 15 seolahan. Semuanya tersebar di beberapa kota Bogor. Total
jumlah madrasah di wilayah kata Bogor adalah 252. Sedangkan madrasah negeri di
tingkat satuan MIN ada 1, MtsN 2, dan MAN ada 4. Dengan jumlah penduduk muslim kota Bogor
muslim sekitar 960 ribu dari populasi 1,04 juta tahun 2020, maka madrasah swasta
di wilayah kota Bogor terlihat sudah cukup memenuhi jumlah penduduknya.
Meskipun
dalam perjalanannya madrasah dianggap ‘sehat dan aman-aman saja’, namun jika
ditinjau dari ilmu pendidikan, madrasah memiliki masalah yang cukup serius,
atau bisa jadi bermasalah. Mengapa?
Idealnya, dalam mengembangkan sebuah lembaga
pendidikan harus ada prosedur kerja yang berkualitas dan terarah; ada riset, diskusi mendalam—termasuk dialog para pakar
di bidangnya, ada juga
uji coba
terbatas. Hal ini membutuhkan waktu
yang tidak sebentar, bukan cuma setahun dua tahun saja, apalagi kebut semalam. Kenyataannya,
banyak masyarakat yang masih terburu-buru dalam melahirkan lembaga pendidikan
Islam. Hal ini terlihat dari desain kurikulum madrasah yang keseluruhannya
nyaris serupa, hanya ada perbedaan pada titik peminatan.
Biar bagaimanapun juga, hasil yang dilakukan
penuh ketelitian dan matang, dengan yang
memiliki cara kerja kebut
semalam tentu akan berbeda. Artinya,
mendesain satuan pendidikan tidak bisa asal kejar tayang-kejar setoran. Sebab
hal ini berpengaruh pada kualitas pendidikan itu sendiri. Lalu, apa
urgensi dari diluncurkannya keempat tipe madrasah oleh kemenag RI bila tidak
dijadikan momentum inovasi serius untuk model pendidikan Islam masa depan?
Ungkapan
‘tipe-tipe madrasah dengan desain
kurikulum sama dan hanya ada perbedaan pada peminatan saja’, penulis pikir
ini masih kurang, bahkan tidak nendang.
Seharusnya narasi yang menyertai program keempat tipe madrasah adalah: “Perbedaan ini punya titik tekan pada desain
kurikulum yang memang amat berbeda, karena titik fokus pembelajaran pun berbeda”.
Jadi madrasah yang akan dilahirkan akan betul-betul berbeda, proses
pengajarannya pun berbeda. Sebab pendidikan itu amat ditentukan oleh proses
sehingga sebuah proses pendidikan itu layak mendapatkan perhatian yang serius.
Perubahan
yang akan dilakukan juga harus melibatkan perubahan mindset. Jangan ada keinginan berubah tapi perilaku kita terhadap
perubahan tersebut tak berubah. Seperti pada kasus di masyarakat, ketika proses
pendidikan sudah masuk era digital, tapi tetap saja perilaku kita masih manual.
Maka penulis berpikir, jika perubahan madrasah ini serius dan terencana dengan berbasis
pengkajian dan analisis mendalam, ada usaha dan inovasi pada proses pendidikan
tingkat Madrasah, khususnya pada satuan pendidikan MA, maka ini adalah lompatan
jauh sekaligus telah memerdekan istilah madrasah itu sendiri. Tapi jika desain
kurikulumnya masih dinyatakan sama dan hanya ada perbedaan pada peminatan,
tentu ini bukanlah perubahan, tapi sekedar keinginan semata.
Sekedar
ide atau gagasan penulis, inovasi desain kurikulum bisa dimulai dari satuan
pendidikan MI yang difokuskan pada ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu-ilmu fardhu ‘ain, dengan diperkaya pada praktek ibadah dan pembinaan jiwa
beragama. Karena pembelajaran agama yang sekedar kognitif saja akan berbeda
hasilnya dengan pembelajaran agama yang belajar hidup menjadi manusia beragama.
Dengan konsep seperti ini, durasi waktu 6 tahun yang begitu panjang akan lebih
menyenangkan. Anak tidak boring
dengan sekedar materi agama, tapi ada edukasi hidup beragama hingga proses
belajar juga dibuat gembira, tak terasa beban berat pada tuntutan kognitifnya.
Kemudian
pada satuan MTs, ilmu fardhu ‘ain tersebut lebih diperluas dengan
dalil-dalil dan argumentasi, sehingga anak-anak berlatih menarasikan pendapat
hingga berbeda pandang sekalipun. Hal ini bisa menjadi dasar pengembangan sikap
kolaborasi, bernalar kritis, kreatif, dan aktif. Pada satuan ini bisa diperkaya
dengan materi agama, tapi jiwa beragama anak tetap ditumbuhkembangkan dengan
baik, yang menjelma menjadi akhlaqul karimah.
Selanjutnya
pada satuan MA, bisa dikembangkan ke arah jurusan dan skill masa depan dengan varian yang menarik dan memang dibutuhkan.
Bahkan tidak terbatas pada tipe yang disebut di atas, namun lebih rinci lagi,
sehingga kompetensi dan kesiapan anak muslim yang akan masuk dunia karya dan
kerja pasca MA betul-betul siap dan mampu dengan kualifikasi yang relevan.
Sehingga masing-masing jurusan memiliki kualifikasi pada lulusan dengan
kekhasan yang memang berbeda. Bisa saja ada MA kejuruan IT, MA bisnis digital,
MA olah raga, MA Seni & fashion Islami , MA multimedia & desain, MA e-commerce, MA desain dan komunikasi Virtual, MA gizi dan
kesehatan, MA keperawatan & kebidanan, MA tata boga & perhotelan, MA
publikasi & jurnalistik, MA
pemikiran dan keagamaan Islam, dan lainnya.
Jadi, tak
masalah jika jumlah madrasah itu puluhan ribu, asal kehadirannya tidak satu
model saja. Para pengelola yang mempunyai SDM juga bisa membuat MA bidang
kompetensi tertentu dengan memanfaatkan teknologi digital.
Adapun MA
jurusan keulamaan, tetap menggunakan pola kepesantrenan yang klasik dan khas
yang telah ada selama ini, dimana kemampun dan kualifikasi santri dan
lulusannya harus berkualitas dan mendapat gemblengan adab secara khusus. Ilmu
tidak saja diukur dengan selembar kertas ijazah, seperti MA yang biasa, tapi
lebih dari itu, yaitu mereka mampu dalam penguasaan kitab-kitab keagamaan
beserta referensi yang kompatibel, dan lain sebagainya. Sehingga lulusan MA
jurusan keulamaan betul-betul tumbuh sebagai calon ulama.
Bila
mereka terus tafaqquh fi al-diin,
melakukan proses tradisi ilmiah ulama dan rihlah
ilmiyah ulama, maka akan hadir ulama
sungguhan di masyarakat, meskipun jumlahnya sedikit. Karena menjadi ulama
bukanlah kewajiban seluruh muslim, namun kewajiban fardhu kifayah, sebagian
kecil saja. Jangan lagi menjadikan sorban dan gamis besar sebagai simbul
keulamaan. Tapi ulama itu adalah tempat ke-faqih-an
ilmu ‘alim, amil bisa jadi tauladan, mu’allim
mampu menjadi guru dan referensi bagi umat, serta mukhlis yang terpancar keikhlasan jiwanya.
Demikianlah,
gagasan-gagasan varian madrasah di atas tidak saja berbeda dalam hal desain
kurikulumnya, tapi tentu proses dan implementasi pendidikannya juga amat berbeda.
Kembali
pada permasalahan madrasah masa kini. Madrasah identik dengan sekolah
keagamaan, walaupun sebenarnya sejak tahun 1975 desain kurikulumnya berubah
menjadi 30% materi keagamaan dan materi ilmu lain 70%. Pun demikian pada
prakteknya, seluruh beban pembelajaran di sekolah umum diajarkan juga di
madrasah. Artinya, para siswa madrasah seakan memiliki beban 200% pelajaran,
yaitu 100% agama yang memang bagian utama madrasah selama ini, dan 100%
pelajaran umum seperti sekolah umumnya. Meskipun demikian kenyataannya, stakeholder madrasah sendiri cenderung
memperlakukan seperti sekolah madrasah agama. Bukan sekolah ilmu-ilmu umum
berbasis keagamaan.
Tulisan
ini dikutip dari buku penulis yang berjudul ‘Pendidikan Bukan-Bukan: Menyingkap
Sejarah Pendidikan Islam Indonesia’, Dalam buku tersebut diulas potret
pemikiran tokoh penting pendidikan masa lampau. Semoga gagasan dan analisis
yang ada dalam buku tersebut bisa memberi inspirasi, khususnya bisa menjadi
agenda ke depan pendidikan Islam untuk Indonesia yang lebih baik dan maju.
0 komentar:
Post a Comment