MERDEKA BERPIKIR vs MERDEKA BELAJAR*
Berbicara judul di atas, terkesan dipaksakan. Ya, begitulah aromanya. Tapi bila kita telusuri pemikiran para tokoh Islam masa lampau dalam konteks pendidikan dan pengajaran—termasuk dari Tuan Guru A. Hassan (1887-1958), maka tampak ada signal gagasan yang menuju pada titik yang serupa, meskipun tak sama.
Demikian pula jika menelisik istilah ‘merdeka’ yang dilakukan oleh Ki. Hajar Dewantara (1889-1959) dalam menggerakan mimpi Pendidikan Nasional jauh sebelum negeri ini merdeka. Maka pemaknaan itu tidak saja dalam tataran proses dan sistem Pendidikan, tapi juga ada sebuah pengharapan bahwa negeri ini pada satu waktu nanti akan merdeka dari penjajahan. Sebab merdeka pada masa itu bukan saja menjadi harapan dan mimpi para kaum cerdik pandai saja, tapi juga kerinduan seluruh masyarakat dan bangsa ini. Salah satu pemaknaan merdeka itu adalah berkaitan dengan sistem diskriminasi pendidikan era kolonial. Melihat kondisi anak negeri saat itu yang hidup dalam kemisikinan, pas-pasan, jangankan bermimpi akan dapat pendidikan layak masa itu, membayangkan pergi ke sekolah saja belum terlintas dalam pikiran.
Pendidikan masa itu memang sangat elitis. Sekolahan ‘hebat’ masa itu harus selalu ada embel-embel Bahasa Belanda dan diperuntukan bagi kelas masyarakat tertentu saja. Terasa kata Merdeka ketika itu—bila dikaitkan pada dunia pendidikan—amat sangat berarti dan bermakna dalam. Bahkan ada juga tokoh muslim yang ‘terimbas’ gelombang dengan pendidikan modern gaya Belanda, lalu ia mendirikan Adabiyah School (1916) untuk anak-anak pribumi. Padahal sistem dan pendidikan yang dihadirkan di Nusantara seperti HIS, menurut Dr. Soetomo, lebih seperti racun bagi bangsa ini (Mihardja, 2008: 77). Maka, mungkinkah kata-kata merdeka bermakna terbebas dari racun yang dimaksud.
Terkait dengan judul di atas, apa signal gagasan yang menuju pada titik yang serupa walaupun tak sama versi A. Hassan dan Nadiem Makarim? Setidaknya ada dua yang paling mendasar pada aktivitas pendidikan dan pengajaran. Pertama, topik Guru dan kedua, metode atau proses Pengajaran.
A. Hassan memaknai guru sebagai berikut, “tiap-tiap orang yang mengajarimu sesuatu ilmu, maupun dari bangsamu atau bukan, se-agama denganmu atau tidak, itu dinamakan gurumu. Oleh sebab ilmu dan pelajaran yang diajarkan di tempat-tempat pelajaran ada bermacam-macam: guru mengaji, guru agama, guru Bahasa, guru pertukangan, guru pesawat, guru jentera, guru obat-obatan, guru undang-undang, guru pertanian, guru perdagangan, dan lain-lain,” (A. Hassan, 2020: 5). Lebih lanjut dikatakannya bahwa setiap orang tidak akan belajar satu saja ilmu, maka logis jika seseorang akan menjadi murid dari banyak guru-guru. Maka proses pembelajaran dilakukan terhadap banyak guru, tidak terbatas, namun sesuai kebutuhan pelajar.
Sedangkan terkait dengan proses dan teknik Pengajaran bagi A. Hassan adalah melalui kemerdekaaan berpikir. Sebagai contoh pada proses pembelajaran pemahaman hukum Islam di lembaga yang didirikan, oleh A. Hassan diibaratkan ‘membuat roti’. Siapa yang lebih paham cara membuat roti, ia akan menghasilkan roti yang lebih baik. “Yang diajarkan kepada para santri dalam interaksi dengan ilmu-ilmu itu bagaikan ‘membuat’ roti, bukan hanya cara memakan roti.” Hanya saja proses pengajaran tersebut tidak hanya berkenaan dengan ilmu-ilmu sains, tapi juga diimplementasikan dalam proses ilmu-ilmu agama. Proses dan pengajaran semacam ini amat memberi ruang diskusi, dialog, belajar secara kalaborasi dan tim, bahkan debat antara pelajar, juga tentunya melibatkan guru dalam diskusi dan pencarian pemahaman suatu kesimpulan ilmu pengetahuan. Maka dalam proses pengajaran yang terjadi muncul kesimpulan bahwa memahami ajaran agama bukan sekedar berdasar pada teks-teks agama, apalagi hanya sekedar tagline al-Quran dan Hadis, namun harus juga dilengkapi dengan perangkat metodologi guna mehamaminya, sehingga menghasilkan produk ilmu dan pemahaman keislaman yang sempurna, serta jauh dari kesalahan dan merusak. Proses pembelajaran yang cenderung menggunakan pendekatan analisis dan penelitian ini, biasanya tidak bermula dari titik pendapat salah satu mazhab, tapi dari dalil dan beberapa analis ulama, meskipun pada akhirnya pendapat yang dihasilkan bisa jadi sama dengan salah satu ulama mazhab.
Inilah contoh merdeka berpikir pada proses pengajaran fikih. Cara pengajarannya lebih cenderung mendidik dan melatih pelajarnya dengan teknik pendekatan yang dilakukan oleh para peneliti, yaitu meneliti bagaimana proses hukum itu ditetapkan. Diharapkan cara tersebut dapat membiasakan para pelajar dalam menghadapi soal-soal, termasuk topik-topik dan soal keagamaan, memiliki sifat analisis dan kritis.
Pada implementasi di level tertentu, dalam pembelajaran fikih yang terkait ayat al-Qur’an dan Hadis misalnya, prosesnya diawali dengan pembekalan ilmu-ilmu dasar, yaitu ilmu Bahasa Arab, usul fikih, ilmu mantik dan ilmu Hadis. Hukum fikih dalam proses pembelajaran tersebut bukan semata pada konteks fikih murni, tapi lebih pada fikih hadis yang dapat melahirkan hukum. Sebab jika hanya pada kajian hukum fikih semata, berarti yang mesti dibahas adalah hukum fikih menurut imam-imam mazhab.
Jika melihat proses pembelajaran ini, penulis teringat pada ungkapan indah dari Prof. Zuhal, Menteri Riset dan Teknologi era kabinet Reformasi Pembangunan) yang juga cucu dari A. Hassan, ketika memberikan sambutan dalam satu acara di pesantren kakek beliau di Bangil Jawa Timur. Beliau berkata, “ada kesamaan antara kita, kalau saya menghitung angka, maka kalian menghitung kalimat”.
Adapun era sekarang, terlebih di saat pendidikan di dunia termasuk Indonesia dihempaskan oleh gelembang pandemi, maka yang paling terdampak adalah proses pengajaran dan termasuk di dalamnya peran dan eksistensi seorang guru. Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim sejak bertugas di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sudah mencoba melihat pendidikan di negeri ini dengan cara dan kaca mata yang berbeda. Tentunya yang dimaksud bukan sekedar tampil beda, tapi lebih utamanya adalah menanamkan harapan agar generasi Indonesia masa depan berwujud unggul sesuai dengan kondisi jaman.
Pada gagasan perubahan dan reformasi pendidikan, beliau mengunakan istilah merdeka belajar. Merdeka belajar ini bukan pepesan kosong, tapi diisi dengan ide dan kebijakan pendidikan nasional, termasuk di dalamnya merevisi yang dianggap bermasalah selama ini. Maka istilah merdeka belajar bisa saja terinspirasi dengan kata-kata yang sama pada masa dahulu kala, hanya substansi yang diinginkan pada kebijakan masa kini banyak perbedaan, karena era dan masalah yang dihadapi pun tak semuanya sama.
Hingga saat ini, penjelasan konsep merdeka belajar gagasan Mas Menteri sudah berada pada edisi keempat belas, yaitu yang berkenaan dengan merdekanya kampus dari kekerasan seksual. Adapun yang berkenaan dengan kontek Guru sekaligus merubah filosofis pengajaran berada pada edisi kelima, yaitu Guru Penggerak.
Pada konsep guru pengerak, capaian utama adalah terwujudnya generasi unggul yang muncul dari profil pelajar Pancasila, yaitu: 1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak Mulia; 2) Kreatif; 3) Bergotong-royong; 4) Berkebinekaan Global; 5) Bernalar Kritis; 6) Mandiri.
Bagi Nadiem Anwar Makarim, posisi guru hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu. Karena tidak jaman lagi melihat kemampuan guru hanya dari kompetensinya. Guru merdeka esensinya bagi dunia pendidikan adalah mereka yang bisa memberdayakan dirinya sekaligus memberdayakan para pelajarnya. Mereka wujud dari guru-guru inspiratif. Di era beliau, kebijakan yang berkenaan dengan guru menjadi titik penting, termasuk menyentuh masalah yang lawas di kementerian tersebut, yaitu masalah guru honorer. Bagi Mas Menteri, pendidik honorer tetap memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi guru ASN dengan melalui seleksi PPPK 2021.
Namun, permasalahan guru tidak saja berkaitan dengan kesejateraan mereka, tapi juga terhubung dengan peningkatan kualitas mereka sebagai ujung tombak pendidikan. Dengan beberapa kebijakan terkait guru, penulis punya pemikiran yang sama, bahwa sebaik apapun sistem pendidikan, kurikulum dan metode, maka yang menentukan di lapangan adalah guru-guru yang tersedia. Dalam hal ini, proses pembelajaran dan pendidikan secara umum di NKRI mesti berpihak pada anak didik atau murid, bukan sekedar kejar target, apalagi mengejar kognitif seperti selama ini terjadi.
Dalam buku Pendidikan bukan-Bukun yang penulis tulis, dijelaskan setidaknya ada tujuh poin opini kritik pada dunia pendidikan nasional, termasuk pendidikan Islam yang selama ini hadir dalam masyarakat, satu poin yang penting itu adalah berkenaan tentang guru, “Bagaimanapun juga, jika para pendidik melakukan pengajaran dan proses pendidikan bukan karena panggilan jiwa, maka tidak akan banyak bermanfaat untuk memajukan dan menguatkan pendidikan di NKRI yang hampir ratusan tahun tertinggal” (Syafri, 2021:39).
Dalam prakteknya, para guru haruslah tenaga-tenaga yang terampil karena berhadapan langsung dengan para tunas-tunas baru, calon manusia terdidik. Maka, sebaik apapun konsep pendidikan yang ada, mereka para gurulah yang menentukan hasil di lapangan. Apa jadinya bila dari mereka banyak karena ‘kebetulan’ jadi guru dan dosen?
Penulis sangat mendukung bila eksistensi guru difokuskan utamanya pada proses pengajaran dan selalu menginspirasi dalam mendampingi tumbuh kembangnya anak didik secara baik. Guru tidak lagi dibebani tugas-tugas administrasi yang membuat berat dan menguras waktu mereka yang seharusnya bersama pelajarnya atau merancang proses pembelajaran untuk hari esok dan seterusnya. Penulis juga sangat mendukung bila Mas Menteri Nadiem juga melirik masalah yang dihadapi tidak saja oleh guru-guru di satuan pendidikan, tapi juga dosen-dosen Universitas dan Perguruan tinggi di negeri ini. Kampus memang punya agendanya yang dikenal dengan Tridarma Perguruan Tinggi, tapi sudah beberapa tahun ini dosen selalu dituntut dan dikejar-kejar efek kebijakan yang berkait dengan publikasi ilmiah dengan standar yang aneh bin ajaib. Penulis berpendapat, kecil sekali kolerasinya dengan kualitas pengajaran untuk mahasiswa dibanding jika dosen tersebut lebih fokus pada penelitiannya terkait inovasi pembelajaran dan bahan ajar yang terus berkembang yang dibutuhkan para mahasisiwanya.
Aktifitas publikasi ilmiah pada jurnal level-level tertentu dalam meningkatkan jabatan fungsional dosen tidaklah sederhana. Bukan saja butuh waktu dan dana, tapi yang paling tak nyaman adalah menghadapi antrian untuk dipublikasikan. Seperti penantian yang memalukan eksistensi dosen sendiri. Bagaimana tidak malu jika ada satu kampus kecil sudah punya jurnal Sinta 2, lalu para dosen dari berbagai universitas antri di situ agar hasil penelitiannya di publish pada jurnal level tersebut. Jadinya terlihat seperti model transaksi semi pasar bebas. Anehnya lagi, kampus malah membeberi reward dana hingga 30 juta bagi dosen mereka yang bisa mempublikasikan karya mereka di jurnal papan atas. Padahal kalau pun karya dosen tersebut lolos dan dipublikasikan di jurnal papan atas, dana 30 juta itu tidaklah cukup untuk menggantikan waktu dan dana yang telah dikeluarkan terkait biaya publikasi ilmiah tersebut.
Ini juga yang menjadi problem dosen. Satu sisi hal tersebut menjadi kebutuhan kampus dengan berbagai argumen karena kondiri tuntutan kampus, satu diantaranya tuntutan memiliki Guru Besar agar kualitas kampus dan pengajarannya meningkat. Namun di sisi lain, media jurnal yang dimaksud amat terbatas sehingga mempersulit aktivitas dosen.
Maka, alangkah baiknya para pengajar lebih mengutamakan kualitas pengajaran dan lebih banyak mendorong proses pembentukan anak didik ke arah yang lebih berkualitas
*Dr. Ulil Amri Syafri, MA.