Cluster Casablanca, Sentul City, Bogor - Jawa Barat - 16810 | Hotline: 0813-1112-5384 (Call/SMS/WA)

08 December 2021

Gagasan Pemikiran Pendidikan A. Hassan vs Nadiem Makarim


MERDEKA BERPIKIR vs MERDEKA BELAJAR* 

Berbicara judul di atas, terkesan dipaksakan. Ya, begitulah aromanya. Tapi bila kita telusuri pemikiran para tokoh Islam masa lampau dalam konteks pendidikan dan pengajaran—termasuk dari Tuan Guru A. Hassan (1887-1958), maka tampak ada signal gagasan yang menuju pada titik yang serupa, meskipun tak sama.

Demikian pula jika menelisik istilah ‘merdeka’ yang dilakukan oleh Ki. Hajar Dewantara (1889-1959) dalam menggerakan mimpi Pendidikan Nasional jauh sebelum negeri ini merdeka. Maka pemaknaan itu tidak saja dalam tataran proses dan sistem Pendidikan, tapi juga ada sebuah pengharapan bahwa negeri ini pada satu waktu nanti akan merdeka dari penjajahan. Sebab merdeka pada masa itu bukan saja menjadi harapan dan mimpi para kaum cerdik pandai saja, tapi juga kerinduan seluruh masyarakat dan bangsa ini. Salah satu pemaknaan merdeka itu adalah berkaitan dengan sistem diskriminasi pendidikan era kolonial. Melihat kondisi anak negeri saat itu yang hidup dalam kemisikinan, pas-pasan, jangankan bermimpi akan dapat pendidikan layak masa itu, membayangkan pergi ke sekolah saja belum terlintas dalam pikiran.

Pendidikan masa itu memang sangat elitis. Sekolahan ‘hebat’ masa itu harus selalu ada embel-embel Bahasa Belanda dan diperuntukan bagi kelas masyarakat tertentu saja. Terasa kata Merdeka ketika itu—bila dikaitkan pada dunia pendidikan—amat sangat berarti dan bermakna dalam. Bahkan ada juga tokoh muslim yang ‘terimbas’ gelombang dengan pendidikan modern gaya Belanda, lalu ia mendirikan Adabiyah School (1916) untuk anak-anak pribumi. Padahal sistem dan pendidikan yang dihadirkan di Nusantara seperti HIS, menurut Dr. Soetomo, lebih seperti racun bagi bangsa ini (Mihardja, 2008: 77). Maka, mungkinkah kata-kata merdeka bermakna terbebas dari racun yang dimaksud.

Terkait dengan judul di atas, apa signal gagasan yang menuju pada titik yang serupa walaupun tak sama versi A. Hassan dan Nadiem Makarim? Setidaknya ada dua yang paling mendasar pada aktivitas pendidikan dan pengajaran. Pertama, topik Guru dan kedua, metode atau proses Pengajaran.

A. Hassan memaknai guru sebagai berikut, “tiap-tiap orang yang mengajarimu sesuatu ilmu, maupun dari bangsamu atau bukan, se-agama denganmu atau tidak, itu dinamakan gurumu. Oleh sebab ilmu dan pelajaran yang diajarkan di tempat-tempat pelajaran ada bermacam-macam: guru mengaji, guru agama, guru Bahasa, guru pertukangan, guru pesawat, guru jentera, guru obat-obatan, guru undang-undang, guru pertanian, guru perdagangan, dan lain-lain,” (A. Hassan, 2020: 5). Lebih lanjut dikatakannya bahwa setiap orang tidak akan belajar satu saja ilmu, maka logis jika seseorang akan menjadi murid dari banyak guru-guru. Maka proses pembelajaran dilakukan terhadap banyak guru, tidak terbatas, namun sesuai kebutuhan pelajar.

Sedangkan terkait dengan proses dan teknik Pengajaran bagi A. Hassan adalah melalui kemerdekaaan berpikir. Sebagai contoh pada proses pembelajaran pemahaman hukum Islam di lembaga yang didirikan, oleh A. Hassan diibaratkan ‘membuat roti’. Siapa yang lebih paham cara membuat roti, ia akan menghasilkan roti yang lebih baik. “Yang diajarkan kepada para santri dalam interaksi dengan ilmu-ilmu itu bagaikan ‘membuat’ roti, bukan hanya cara memakan roti.” Hanya saja proses pengajaran tersebut tidak hanya berkenaan dengan ilmu-ilmu sains, tapi juga diimplementasikan dalam proses ilmu-ilmu agama. Proses dan pengajaran semacam ini amat memberi ruang diskusi, dialog, belajar secara kalaborasi dan tim, bahkan debat antara pelajar, juga tentunya melibatkan guru dalam diskusi dan pencarian pemahaman suatu kesimpulan ilmu pengetahuan. Maka dalam proses pengajaran yang terjadi muncul kesimpulan bahwa memahami ajaran agama bukan sekedar berdasar pada teks-teks agama, apalagi hanya sekedar tagline al-Quran dan Hadis, namun harus juga dilengkapi dengan perangkat metodologi guna mehamaminya, sehingga menghasilkan produk ilmu dan pemahaman keislaman yang sempurna, serta jauh dari kesalahan dan merusak. Proses pembelajaran yang cenderung menggunakan pendekatan analisis dan penelitian ini, biasanya tidak bermula dari titik pendapat salah satu mazhab, tapi dari dalil dan beberapa analis ulama, meskipun pada akhirnya pendapat yang dihasilkan bisa jadi sama dengan salah satu ulama mazhab.

Inilah contoh merdeka berpikir pada proses pengajaran fikih. Cara pengajarannya lebih cenderung mendidik dan melatih pelajarnya dengan teknik pendekatan yang dilakukan oleh para peneliti, yaitu meneliti bagaimana proses hukum itu ditetapkan. Diharapkan cara tersebut dapat membiasakan para pelajar dalam menghadapi soal-soal, termasuk topik-topik dan soal keagamaan, memiliki sifat analisis dan kritis.

Pada implementasi di level tertentu, dalam pembelajaran fikih yang terkait ayat al-Qur’an dan Hadis misalnya, prosesnya diawali dengan pembekalan ilmu-ilmu dasar, yaitu ilmu Bahasa Arab, usul fikih, ilmu mantik dan ilmu Hadis. Hukum fikih dalam proses pembelajaran tersebut bukan semata pada konteks fikih murni, tapi lebih pada fikih hadis yang dapat melahirkan hukum. Sebab jika hanya pada kajian hukum fikih semata, berarti yang mesti dibahas adalah hukum fikih menurut imam-imam mazhab.

Jika melihat proses pembelajaran ini, penulis teringat pada ungkapan indah dari Prof. Zuhal, Menteri Riset dan Teknologi era kabinet Reformasi Pembangunan) yang juga cucu dari A. Hassan, ketika memberikan sambutan dalam satu acara di pesantren kakek beliau di Bangil Jawa Timur. Beliau berkata, “ada kesamaan antara kita, kalau saya menghitung angka, maka kalian menghitung kalimat”.

Adapun era sekarang, terlebih di saat pendidikan di dunia termasuk Indonesia dihempaskan oleh gelembang pandemi, maka yang paling terdampak adalah proses pengajaran dan termasuk di dalamnya peran dan eksistensi seorang guru. Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim sejak bertugas di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sudah mencoba melihat pendidikan di negeri ini dengan cara dan kaca mata yang berbeda. Tentunya yang dimaksud bukan sekedar tampil beda, tapi lebih utamanya adalah menanamkan harapan agar generasi Indonesia masa depan berwujud unggul sesuai dengan kondisi jaman.

Pada gagasan perubahan dan reformasi pendidikan, beliau mengunakan istilah merdeka belajar. Merdeka belajar ini bukan pepesan kosong, tapi diisi dengan ide dan kebijakan pendidikan nasional, termasuk di dalamnya merevisi yang dianggap bermasalah selama ini. Maka istilah merdeka belajar bisa saja terinspirasi dengan kata-kata yang sama pada masa dahulu kala, hanya substansi yang diinginkan pada kebijakan masa kini banyak perbedaan, karena era dan masalah yang dihadapi pun tak semuanya sama.

Hingga saat ini, penjelasan konsep merdeka belajar gagasan Mas Menteri sudah berada pada edisi keempat belas, yaitu yang berkenaan dengan merdekanya kampus dari kekerasan seksual. Adapun yang berkenaan dengan kontek Guru sekaligus merubah filosofis pengajaran berada pada edisi kelima, yaitu Guru Penggerak.

Pada konsep guru pengerak, capaian utama adalah terwujudnya generasi unggul yang muncul dari profil pelajar Pancasila, yaitu: 1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak Mulia; 2) Kreatif; 3) Bergotong-royong; 4) Berkebinekaan Global; 5) Bernalar Kritis; 6) Mandiri.

Bagi Nadiem Anwar Makarim, posisi guru hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu. Karena tidak jaman lagi melihat kemampuan guru hanya dari kompetensinya. Guru merdeka esensinya bagi dunia pendidikan adalah mereka yang bisa memberdayakan dirinya sekaligus memberdayakan para pelajarnya. Mereka wujud dari guru-guru inspiratif. Di era beliau, kebijakan yang berkenaan dengan guru menjadi titik penting, termasuk menyentuh masalah yang lawas di kementerian tersebut, yaitu masalah guru honorer. Bagi Mas Menteri, pendidik honorer tetap memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi guru ASN dengan melalui seleksi PPPK 2021.

Namun, permasalahan guru tidak saja berkaitan dengan kesejateraan mereka, tapi juga terhubung dengan peningkatan kualitas mereka sebagai ujung tombak pendidikan. Dengan beberapa kebijakan terkait guru, penulis punya pemikiran yang sama, bahwa sebaik apapun sistem pendidikan, kurikulum dan metode, maka yang menentukan di lapangan adalah guru-guru yang tersedia. Dalam hal ini, proses pembelajaran dan pendidikan secara umum di NKRI mesti berpihak pada anak didik atau murid, bukan sekedar kejar target, apalagi mengejar kognitif seperti selama ini terjadi.

Dalam buku Pendidikan bukan-Bukun yang penulis tulis, dijelaskan setidaknya ada tujuh poin opini kritik pada dunia pendidikan nasional, termasuk pendidikan Islam yang selama ini hadir dalam masyarakat, satu poin yang penting itu adalah berkenaan tentang guru, Bagaimanapun juga, jika para pendidik melakukan pengajaran dan proses pendidikan bukan karena panggilan jiwa, maka tidak akan banyak bermanfaat untuk memajukan dan menguatkan pendidikan di NKRI yang hampir ratusan tahun tertinggal” (Syafri, 2021:39).

Dalam prakteknya, para guru haruslah tenaga-tenaga yang terampil karena berhadapan langsung dengan para tunas-tunas baru, calon manusia terdidik. Maka, sebaik apapun konsep pendidikan yang ada, mereka para gurulah yang menentukan hasil di lapangan. Apa jadinya bila dari mereka banyak karena ‘kebetulan’ jadi guru dan dosen?

Penulis sangat mendukung bila eksistensi guru difokuskan utamanya pada proses pengajaran dan selalu menginspirasi dalam mendampingi tumbuh kembangnya anak didik secara baik. Guru tidak lagi dibebani tugas-tugas administrasi yang membuat berat dan menguras waktu mereka yang seharusnya bersama pelajarnya atau merancang proses pembelajaran untuk hari esok dan seterusnya. Penulis juga sangat mendukung bila Mas Menteri Nadiem juga melirik masalah yang dihadapi tidak saja oleh guru-guru di satuan pendidikan, tapi juga dosen-dosen Universitas dan Perguruan tinggi di negeri ini. Kampus memang punya agendanya yang dikenal dengan Tridarma Perguruan Tinggi, tapi sudah beberapa tahun ini dosen selalu dituntut dan dikejar-kejar efek kebijakan yang berkait dengan publikasi ilmiah dengan standar yang aneh bin ajaib. Penulis berpendapat, kecil sekali kolerasinya dengan kualitas pengajaran untuk mahasiswa dibanding jika dosen tersebut lebih fokus pada penelitiannya terkait inovasi pembelajaran dan bahan ajar yang terus berkembang yang dibutuhkan para mahasisiwanya. 

Aktifitas publikasi ilmiah pada jurnal level-level tertentu dalam meningkatkan jabatan fungsional dosen tidaklah sederhana. Bukan saja butuh waktu dan dana, tapi yang paling tak nyaman adalah menghadapi antrian untuk dipublikasikan. Seperti penantian yang memalukan eksistensi dosen sendiri. Bagaimana tidak malu jika ada satu kampus kecil sudah punya jurnal Sinta 2, lalu para dosen dari berbagai universitas antri di situ agar hasil penelitiannya di publish pada jurnal level tersebut. Jadinya terlihat seperti model transaksi semi pasar bebas. Anehnya lagi, kampus malah membeberi reward dana hingga 30 juta bagi dosen mereka yang bisa mempublikasikan karya mereka di jurnal papan atas. Padahal kalau pun karya dosen tersebut lolos dan dipublikasikan di jurnal papan atas, dana 30 juta itu tidaklah cukup untuk menggantikan waktu dan dana yang telah dikeluarkan terkait biaya publikasi ilmiah tersebut.

Ini juga yang menjadi problem dosen. Satu sisi hal tersebut menjadi kebutuhan kampus dengan berbagai argumen karena kondiri tuntutan kampus, satu diantaranya tuntutan memiliki Guru Besar agar kualitas kampus dan pengajarannya meningkat. Namun di sisi lain, media jurnal yang dimaksud amat terbatas sehingga mempersulit aktivitas dosen. 

Maka, alangkah baiknya para pengajar lebih mengutamakan kualitas pengajaran dan lebih banyak mendorong proses pembentukan anak didik ke arah yang lebih berkualitas 

*Dr. Ulil Amri Syafri, MA

13 November 2021

Ada apa dengan Istilah ULAMA?


Melahirkan ulama tidaklah ringan. Teks-teks ajaran agama Islam bukan bertujuan untuk mengumbar-umbar sebutan dan istilah ‘ulama’, apalagi kedudukan ulama sepertinya setingkat di bawah Nubuwwah.

Namun demikian, dalam lintas sejarah keilmuan dan khazanah Islam, orang yang seperti dekat dengan Istilah ulama itu nyata adanya, sebut saja semisal Imam-imam Mazhab, imam Hadis, Tafsir, dan seterusnya.

Saat ini terkesan bahwa penyebutan istilah ulama direndahkan kualifikasinya. Demikian juga tentang keadaban ulama itu sendiri, seakan penyebutan dan penggunaan istilah ‘ulama’ semau gue. Padahal tak semua orang-orang yang berada dalam proses tafaqquh fi al-diin berakhir menjadi ulama. Bisa saja masih jadi tetap ‘calon ulama’ selamanya. Artinya, biarlah gelar ulama itu hanya diberikan oleh Sang Pencipta.

Ya, Ulama kelak di akhirat punya kedudukan istimewa. Maka berusaha jadi ulama oke, tapi ngaku-ngaku jadi ulama itu bukan adabnya ulama.

 Alim, ‘Amil bi ilmihi, Mua’lim, dan Muhklis adalah sedikit dari kompetensi dasar keulamaan dalam penjelasan KH. M. Hasyim Asy'ari rahimahullahu.

Dalam syair Arab yang disebutkan, “Ilmu membawa kaum ke puncak kemuliaan, orang berlimu terjaga dari kerusakan, sedangkan kebodohan menghancurkan kemuliaan dan kehormatan.

 لعلم بلغ قوما ذروة الشرف وصاحب العلم محفوظ من التلف.. والجهل يهدم بيت العز و الشرف

تعلموا العلم وكونوا من أهله . تعلموا العلم واعملوا به.  تعلموا العلم وعلمواه الناس

Pelajarilah ilmu dan jadilah ahlinya. Tuntutlah ilmu dan beramalah dengan ilmu tersebut. Pelajarilah ilmu dan ajarkanlah kepada manusia ilmu itu.

 Jadi, gelar ulama bukan sekedar panggilan dan sebutan yang diucapkan manusia. 

Tapi Ulama memang ada kualifikasinya dalam ajaran Islam, keagungan ilmu, dan kemuliaan pribadinya adalah bagiannya

kini,—saking semangatnya— juga muncul istilah ‘ulama saintis’. Jangankan kualifikasi ulama yang benar, ditambah dengan embel-embel saintis, maka bagai ‘pungguk merindukan bulan.’

 (silakan baca selengkapnya di Pendidikan Bukan-Bukan Dr. Ulil Amri Syafri)



01 November 2021

ORANG ACEH

Dari beberapa analisis tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia versi Mahmud Yunus, ada beberapa catatan yang bisa dijadikan data tentang cikal bakal datangnya Islam ke Nusantara, yaitu: Pertama, Bangsa Arab sudah mengenal pulau Sumatra dan beberapa pulau sekitarnya di Abad ke-9. Mereka sudah mulai mendatangi Sumatra dengan kepentingan awal untuk berniaga.


Kedua, Penjelajah dunia Macopolo (1292M) dan Ibn Batutah (1325M) dalam perjalanannya juga singgah di Sumatra. Dalam catatan Marcopolo saat berada di Perlakpelabuhan terbesar di Aceh yang menghadap ke selat Malakarakyat Perlak sudah beragama Islam. Lain halnya dengan Ibn Batutah saat rombongannya singah di Pase. Di wilayah tersebut sudah ada kerajaan Islam, yaitu Al-Malikuz Zahir. Dengan penamaan yang sudah bercorak Arab dapat diduga bahwa Islam sudah menjadi bagian kehidupan yang lama di sana.

Ketiga, Sejarawan tak berbeda pendapat tentang awal mula ajaran Islam yang berwujud di tanah Aceh, setelah itu menyebar ke wilayah Nusantara dengan berbagai cerita masing-masing. poin -poin selanjutnya silakan baca pada buku Aslinya. Kolonial Belanda memang memperlakukan Aceh dan wilayah sekitar dengan cara yang licik dan amat keji. Selama bertahun-tahun mereka mencoba menguasai wilayah tersebut, mengirimkan pasukannya secara besar-besaran untuk menaklukan masyarakat di sana, bahkan mengirimkan pasukan dari wilayah Nusantara lain yang berwajah non Eropa.

Namun tetap tak kunjung berhasil. Masyarakat Aceh yang memiliki paham agama ahl Sunnah wal jamaah, berakidah al-Asyariah, berfikih madzhab Syafi’i dan berkembang tarekat-tarekat sufiyah, tumbuh menjadi masyarakat yang gigih teguh dan kokoh pendirian dalam menghadapi kolonial Belanda. Menghadapi situasi tersebut—atas saran penasehat ahli dari negaranya—Belanda kemudian berusaha merusak budaya masyarakatnya. Mereka mengutus Christian Snouck Hurgronje untuk menyamar ke pedalaman Aceh dan melakukan penelitian budaya dengan tujuan untuk menghancurkan nilai-nilai masyarakat Aceh.

  Baca selengkapnya di buku 'Pendidikan Bukan-bukan' yang ditulis oleh Dr. Ulil Amri Syafri,Lc., MA





30 October 2021

PERSIS BANGIL

Tujuan awal dari ide pendirian pesantren A. Hassan adalah untuk menyediakan tenaga muballigh yang memiliki kompetensi penyiaran Islam, serta membela dan mempertahankan ajaran Islam di tengah masyarakat. Tentu saja apa yang digariskan ustadz A. Hassan itu sangat berkait dengan alam yang sedang dihadapai umat Islam ketika itu.
Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, para santri dibekali skill untuk menjadi guru. Dalam hal ini, M.Natsir-lah yang banyak memberi bahan ajar tentang ilmu-ilmu keguruan ketika pesantren masih di Bandung.
Corak Pesantren mengikuti arah pikiran dan gaya A. Hassan yang memang terkenal sebagai pemikir keislaman yang merdeka, ia kerap kali menghidupkan cara dialog dan debat untuk menyampaikan beberapa pemikirannya kepada masyarakat khusus sebelum kemerdekaan.

Hanya saja sangat disayangkan, tak lama setelah penjajah Jepang masuk Indonesia, banyak sekolahan partikelir yang harus ditutup, termasuk Persis Bangil. Pesantren ini baru dibuka kembali pada tahun 1951 oleh A. Hassan. Namun tepat tujuh tahun setelah dibuka, A. Hassan meninggal dunia diusia 71 tahun dan dimakamkan di pekuburan umum Segok Bangil.

Letak Pesantren Persis Bangil berdekatan dengan Pesantren Cangaan, salah satu pondok pesantren tua nan klasik yang terkenal itu. Jika melihat kehidupan sosial budaya yang berkembang di Bangil hingga saat ini, ditambah banyaknya ragam Pesantren yang ada dimana Pesantren Persis Bangil juga ikut tumbuh dan berkembang bersama, maka Pesantren milik A. Hassan ini sudah terbiasa dengan keragaman dan perbedaan yang amat mencolok sekalipun.

Dalam buku “Ulama Pendiri, Penggerak dan Intelektual NU dari Jombang”, nama A. Hassan disebut sebelum beliau menetap di Bandung pernah bersilaturrahim dan bertemu dengan KH. Wahab Habullah rahimahullah (1888-1971), salah satu kader terbaik dari Hadratusy syakh KH. Hasyim Asy’ari rahimahullah (1871-1947) dan juga tokoh penting dalam proses pendirian organisasi Nahdlatul Ulama (1926). 

baca selengkapnya Pendidikan Bukan_Bukan  Dr. Ulil Amri Syafri




21 October 2021

Selamat Hari Santri Indonesia 2021- Resolusi Jihad dan KH. M. Hasyim Asy’ari.

Banyak yang mengenal KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh dan ulama karismatik yang pernah dimiliki Indonesia. Beliau sosok penting di balik pendirian gerakan keagamaan dan kemasyarakatan kaum santri dan Kiai yang dikenal dengan nama Nadhatul Ulama (1926).
Tak hanya oleh kalangan para kaum cerdik pandai, para kiai, dan para santri, sosok Sang Kiai pun dihormati secara kenegaraan. Di jajaran pemerintahan, pengormatan itu dilakukan dengan penyematan gelar Pahlawan Nasional kepada Sang Kiai melalui keppres no 249/1964 yang diterbitkan oleh Presiden RI pertama Sukarno.
Dalam sejarah, melalui inisiatif Sang Kiai mengumpulkan para kiai di Jawa dan Madura guna membahas persoalan bangsa yang amat genting, yang kesemuanya undangan itu tergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Dari pertemuan itu hingga keluarlah fatwa sang Sang Kiai yang dikenal sebagai “Resolusi Jihad”. Fatwa tersebut bisa dimaknai sebagai maklumat dan kebijakan berbasis teks-teks serta kajian mendalam keagamaan yang pada akhirnya sangat menentukan langkah-langkah perjuangan Indonesia ketika itu yang mayoritas muslim.
Poin-poin revolusi Jihad 20 Oktober 1945 dari Sang Kiai yang sangat terkenal itu antara lain:
1. Kemerdekaaan Indonesia yang di proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan, 2. Republik Indonesia satu-satunya pemerintahan yang sah wajib dipertahankan,
3. Musuh RI utamanya Belanda yang datang membawa sekutu tentu akan menjajah lagi,
4. Umat Islam—utamanya warga NU—wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan sekutu,
5. Kewajiban tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban setiap orang muslim (fardhu ‘ain) 
yang berada dalam jarak radius 94 KM. sementara bagi mereka yang berada diluar jarak tersebut berkewajiban membantu saudaranya yang berada dalam jarrah 94 KM.

Dari musyawarah tersebut, setidaknya ada beberapa fatwa dari Sang Kiai yang dikeluarkan berkenaan dengan perhatian beliau kepada kebangsaan dan anti terhadap penjajah Belanda, yaitu:
1. perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan umat Islam Indonesia;
2. kaum muslimin diharamkan melakukan perjalanan ke Hajji mengunakan kapal penjajah Belanda;
3. kaum muslimin diharamkam memakai dasi dan atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah. 

Dari sekilas kisah di atas, Sang Kiai hadir laksana pelita untuk bumi Nusantara. Perjalanan hidup beliau sebagai ulama amat dihormati oleh semua lapisan anak negeri. Tentu saja kisah tersebut hanya bagian kecil dari goresan indah dan perjuangan heroik seorang kiai kharismatik. Maka, semangat dan kiprah Sang Kiai insyaAllah bisa menjadi referensi baik untuk perjuangan keagamaan dan sekaligus kebangsaannya.

Silakan baca selengkapnya di Pendidikan Bukan-Bukan. Dr, Ulil Amri Syafri, Lc., MA
Pendidikan Bukan-Bukan

09 October 2021

Surau Roboh, tapi Pesantren Kokoh, kenepa?

 

#Pendidikan Bukan-bukan


Sejak awal kemunculannya, surau tak mudah terhempas oleh tekanan kolonial Belanda dan gaya sekolah sekuler mereka. Namun, surau justru malah dihempaskan oleh gerakan perubahan dari saudara sendiri, yaitu geliat modernisasi pendidikan Islam.  

Namun demikian, apa yang terjadi saat itu bisa dipahami karena memang kebijakan kolonial Belanda yang kurang menguntungkan terhadap perkembangan pendidikan Islam di bumi Nusantara secara umum, dan di Minangkabau secara khusus, walaupun gagasan dan gerakan pembaruan itu berdampak besar pada peran dan fungsi surau yang bersifat kultural. Wallahu a’lam

baca selengkapnya di Pendidikan Bukan-Bukan, Dr. #UlilAmriSyafri,MA

Karismatik Sang Kiai Tak Lekang oleh Waktu

Dalam satu buku yang mengulas ketokohan Sang Kiai Hasyim Asy’ari, disebutkan oleh Muhammad Rifai, penulisnya, bahwa Sang Kiai merupakan seorang ‘pembaru’. Meski tidak dijelaskan secara spesifik, namun dapat dipahami bahwa makna ‘pembaru’ yang disematkan pada diri Sang Kiai adalah terkait hal pembaruan dalam pendidikan. Disebutkan dalam tulisan itu bahwa Sang Kiai telah membuat pembaruan dalam sistem pendidikan di Pesantren Tebu Ireng dengan memasukan ilmu-ilmu sekuler ke kurikulum pesantren.[1]

Pendapat itu mungkin tidak memiliki tendensi buruk, bahwa Sang Kiai juga berpikiran maju dalam mengelola dan mengembangkan lembaga pendidikan pesantren saat itu. Namun, jika kita ikuti kultur dan budaya pembaruan yang umum berlaku di Nusantara sejak awal abad ke-20, maka terasa kurang tepat bila beliau dianggap sebagai tokoh ‘pembaru’, baik dalam gagasan sistem pendidikan, apalagi dalam pemikiran keislaman.

Setidaknya ada dua alasan yang melatarbelakangi mengapa penyematan ‘pembaru’ itu terasa kurang tepat. Pertama, sosok Sang Kiai adalah khadimun al-‘ilmi, satu julukan yang beliau berikan sendiri pada dirinya saat menyelesaikan tulisannya. Artinya, dapat dimaknai bahwa beliau sangat mencintai tradisi keilmuan dan metodologi Islam dalam khazanah pengetahuan, khususnya yang bercorak klasik. Hal ini telah dibuktikan dalam fase-fase perjalanan proses thalabul ilmi Sang Kiai. Dalam persoalan fikih, akidah, dan tauhid, Sang Kiai juga merupakan sosok yang istikamah dalam merujuk pendapat atau qaul ulama-ulama sebelumnya. Oleh karena itu, penyebutan ‘pembaru’ kepada Sang Kiai tidaklah cocok. Sebab, tradisi merujuk pada pendapat para ulama dan imam mazhab bukanlah ciri yang dimiliki kalangan yang menyebut dirinya sebagai tokoh ‘pembaru’.

Tokoh pembaruan biasanya mengedepankan olah pikir, menggunakan logika pada persoalan agama, dan tidak mengutamakan rujukan yang berasal dari pendapat para ulama klasik, meskipun mereka berdalih menggunakan basis al-Qur’an dan Hadis juga.


Baca selengkapnya Pendidikan Bukan-Bukan. Dr. Ulil Amri Syafri, MA




[1]Muhammad Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: Garasi, 2020, hlm. 13.

07 October 2021

Amazing Natsir

 Satu kata yang terucap ketika membaca pemikiran dan melihat potret pendidikan ala PENDIS Natsir: Amazing! Ya, ibarat pembuat roti, produknya hadir dengan rasa spesial, rupa dan bentuknya pun belum pernah terlihat sebelumnya. Itulah PENDIS Natsir di Bandung tempo dulu.

Sekilas bisa saja orang akan menyamakan PENDIS dengan HIS Adabiyah Padang tempo dulu, dimana Natsir pernah belajar dan menjadi  murid di sekolahan yang didirikan Syaikh Abdullah Ahmad itu. Namun seperti yang sudah penulis jelaskan, ada perbedaan yang cukup signifikan diantara keduanya, serupa tapi tak sama. Pun demikian apa yang dilakukan Natsir dengan PENDIS-nya ditahun 1932-1942 akan bisa diceritakan dengan lebih indah oleh orang-orang yang ada di masanya.

Menurut penulis, masa kecil seorang Natsir sama seperti seperti kebanyakan anak Indonesia saat itu, miskin dan pas-pasan. Namun beliau terus tumbuh dan berkembang dengan semangat juangnya. Qadarullah, beasiswa Belanda--meskipun diskriminatif—telah membawa Natsir menjadi berbeda. Jalan hidupnya membawa warna tersendiri dalam rangkaian kisah tempo dulu para tokoh negeri ini yang terlahir kaya dan berkecukupan. Misalnya Sutan Syahrir kecil (1909-1966), Perdana Menteri Indonesia Pertama. Ia berasal dari keluarga kaya, sekolah dasarnya saja di kelas lebih mahal dan bayar sendiri, yaitu ELS, sekolah dasar untuk kelas anak-anak Eropa (Europeesche lagere School) bukan di HIS, Hollandsch Inlandsche School (sekolah dasar untuk anak pribumi berbahasa Belanda). Demikian pula sosok tokoh Ki Hajar Dewantara (1889-1959). Karena ia anak dari bangsawan Jawa, maka ia berhak menempuh pendidikan sekelas anak-anak Eropa dan bersekolah juga di ELS. Juga tokoh Bahder Djohan (1902-1981) yang kelak menjadi menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan di era Kabinet Natsir. Seorang Bahder Djohan bisa bersekolah di HIS Padang karena ia anak orang kaya dan ayahnya jaksa terpandang di Sumatra Barat saat itu. Kesemua jalan hidup para tokoh ini tentunya amat berbeda dengan Natsir yang bisa sekolah hingga AMS karena bergantung pada beasiswa karena prestasinya.

Natsir, meskipun sejak kecil tumbuh dengan segala keterbatasan, memiliki kecerdasan akal dan ruhani. Sikapnya kritis, peduli dengan penderitaan rakyat, dan memiliki nalarasasi yang baik, sehingga dengan bekal tersebut membawa Natsir muda mengawali karir kemasyarakatannya dengan berhidmat secara totalitas pada Pendidikan Islam yang dirancangnya. Natsir memang bukan produk sistem madrasah atau Diniyah School masa itu. Juga bukan menempuh jalan santri seperti KH. Hasyim Asy’ari (1871-1847) yang usianya jauh diatas Natsir. Pendidikan agama Natsir lebih banyak berupa pengajaran sikap beragama dari pada teori-teori ilmu agama. Namun demikian mulazamah beliau dengan Tuan Guru A. Hassan turut mempengaruhi cara pikir keagamaan dan cita-cita hidupnya, termasuk rancang bangun PENDIS.

Kegiatan kepemudaan masa di AMS juga membuat Natsir muda bertemu banyak tokoh besar termasuk dengan H. Agus Salim (1884-1954), H.O.S. Tjokroaminoto (1883-1934), dan lainnya. Hal ini juga yang menjadi bagian dari proses pendidikan dan pengajaran yang didapatnya. Artinya, pendidikan bagi Natsir tidak dihalangi oleh batas tembok dan dinding sekolahan, tapi alam ciptaan-Nya juga bisa menjadi guru berharga, termasuk orang-orang hebat yang ditemuinya.

Dengan berbagai latar belakang yang dilalui seorang Natsir, PENDIS menjelma menjadi pendidikan Islam yang punya kebaruan meski tidak berada dalam basis istilah tafaqquh fī al-dīn. Ia tidak bisa dimasukan dalam klasifikasi model pendidikan Islam masa itu. PENDIS bukanlah Diniyah School, bukan madrasah, bukan juga pesantren, apalagi surau. Lalu?, yang jelas PENDIS  bukan ‘pendidikan bukan-bukan’ Wallahu a’lam

(baca selengkapnya Pendidikan Bukan-Bukan Dr. Ulil Amri Syafri, MA)

Ahmad Hassan Sang Inspirator dari Melayu

Pesantren PERSIS Bangil berdiri pasca era perubahan dan pergolakan pendidikan Islam di Nusantara, khususnya di tanah Minangkabau. Hasil pergolakan tersebut telah menghasilkan model pendidikan kombinasi dengan desain kurikulum kombinasi. Meskipun PERSIS Bangil dinamai pesantren, tapi kurikulumnya sudah mengunakan kurikulum madrasah sejak awal berdirinya, sehingga bisa disebut pesantren kombinasi. Desain kurikulum ini juga berwujud di pesantren Tebu Ireng (1933) setelah KH. Wahid Hasyim, putra dari KH. Hasyim Asy’ari kembali dari Makkah. Namun perubahan tersebut tetap menjaga implementasi model belajar pesantren salafiyah berbasis kultur klasik.

Dibanding pesantren umumnya masa itu, pesantren ala A. Hassan ini memiliki ciri khas tersendiri pada proses pembelajarannya. Model berpikir merdeka dalam pembelajarannya menghasilkan proses riset mandiri yang melatih santri untuk melakukan implementasi berbagai macam keilmuan, seperti bahasa Arab, kaidah fikih, usul fikih, ilmu hadis, ilmu mantik, dan lainnya, menuju istimbath ahkam. Tentu saja cara pembelajaran seperti ini tidaklah mudah karena memerlukan nalarisasi dan sikap kritis yang tinggi, diikuti kecerdasan santri. Akan selalu ada nilai positif dan negatifnya, akan selalu tampak kelebihan dan kelemahannya.

Kelemahan yang dimaksud adalah bahwa tidak semua santri punya kesiapan dengan pola belajar seperti itu, sehingga outcome yang ada biasanya ‘jomplang’, antara mereka yang cerdas plus disiplin dengan pribadi santri yang sebaliknya. Bagi santri yang lulus tidak sesuai harapan, tentu saja tidak bisa hadir dalam masyarakat dengan kemampuan riset dan nalarisasi yang berkembang. Mereka cenderung stag seperti masa-masa nyantri dulu. Padahal konteks-konteks keagamaan yang terkait hukum Islam terus berkembang, apalagi berkenaan dengan hukum muamalah.

Ke depan, ada baiknya bila proses pengajaran yang unik dan luar biasa ala pesantren PERSIS Bangil ini mempertimbangkan dua hal berikut, pertama memperkaya bahan ajar dan obyek pembahasan yang bersifat komparasi pada sistem istimbath ahkam. Ini bisa dilakukan pada metode istimbath ahkam imam-imam fikih, khususnya imam mazhab yang empat. Hal ini bisa dilaksanakan di kelas akhir untuk memperluas wawasan dan sikap santri, khususnya pada pemahaman tentang metodologi hukum Islam. Kemudian dilakukan penataan secara disiplin pada ilmu-ilmu alat: bahasa Arab, ilmu usul fikih, ilmu mantik. Setidaknya mulai tahun ketiga atau keempat para santri sudah menguasai dan memahami ilmu-ilmu tersebut, sehingga proses integrasi pembelajarannya bisa meminimalkan hambatan-hambatan yang terkait penguasaan ilmu alat dan tentunya para santri akan lebih menikmati proses pembelajarannya.  

Kedua, karena metode dan proses pembelajaran tersebut sangat unik, maka perlu juga setiap tahunnnya diadakan evaluasi secara menyeluruh. Bagi santri yang kemampuannya di bawah standar, harus dicarikan solusi yang tepat terkait proses pembelajarannya, tanpa terbebani oleh metode tersebut. Tentu saja hal ini sebagai usaha assesment menyeluruh agar para santri bisa berhasil dengan maksimal. Kemudian pada tahun keempat, para santri bisa saja diklasifikasikan menjadi 3-4 kelompok belajar setelah dievaluasi oleh pihak pesantren. Sehingga pada ujian akhir tahun keenam berupa paper bisa lebih bervariasi dan sesuai minat para santri. Ibaratnya, pohon rambutan jangan dipaksa berbuah mangga, tapi diupayakan bisa menghasilkan buah rambutan yang berkualitas. 

Kini, setelah puluhan tahun tetap eksis sebagai bagian dari ikon pendidikan Islam di Indonesia, kebaruan apa saja yang bisa dihadirkan oleh pesantren ala Tuan Guru A. Hassan ke depan? Wallahu a’lam

(baca selengkapnya di Pendidikan Bukan-Bukan Dr. Ulil Amri Syafri, MA)

Pendidikan Bukan-bukan


Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari Pelita Nusantara

 

Pendidikan Bukan-Bukan
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari mendasari pemikiran pendidikannya pada orisinalitas keilmuan dan keulamaan sesuai dengan kultur Islam yang penuh kearifan. Praktek pendidikannya bersifat konstan, stabil atau tsabit berbasis masyarakat natural, dengan tetap menjaga narasi ahlu sunnah wal jamaah.

Praktek pendidikannya hampir tak memiliki pengaruh gaya pendidikan Belanda masa itu. Bisa dibilang, pemikiran Sang Kiai merupakan representatif kultur budaya pendidikan Islam klasik yang sangat apik dengan visi tafaqquh fī al-dīn.

Dengan pola konstan tersebut, kualitas pembelajaran dan hasil lulusannya sangat berbeda dengan pola yang selalu mengalami perubahan, apalagi dengan lembaga yang suka mengerdilkan pendidikan Islam, meskipun masih menyematkan istilah tafaqquh fī al-dīn pada lembaga pendidikan mereka.

Dalam hal ini, ada dua pemikiran pendidikan Sang Kiai yang amat istimewa. Pertama, konsep ilmu. Ilmu yang Sang Kiai maksud dalam proses pendidikannya adalah ilmu yang menjadikan para pelajar atau santrinya kelak menjadi ulama. Karena arahnya melahirkan ulama, maka proses yang dilalui calon ulama tersebut betul-betul meniti standar jalan orang-orang alim. Konsep inilah yang pada akhirnya membuahkan hasil yang sangat mulia hingga berwujud munculnya para kiai yang turun-temurun menghadirkan tempat tafaqquh fī al-dīn yang baik pula. Artinya, cita-cita Sang Kiai tampak rimbun, kokoh, kuat, dan berkarakter dalam bentuk pendidikan Islam yang khas.

Jika kita melongok pada era tersebut dan juga beberapa masa sebelumnya, tempat tafaqquh fī al-dīn yang ada betul-betul melahirkan ulama dengan sempurna, semisal guru-guru Sang Kiai itu sendiri atau ulama-ulama besar Nusantara tempo dulu seperti Imam Nawawi al-Bantani, dan lainnya. Mereka lahir menjadi ulama dalam arti yang ‘sesungguhnnya karena proses dan jalan yang dilaluinya adalah proses pendidikan yang tepat dengan meniti jalan yang tepat pula.

Kini, yang jadi problem adalah banyak para pelajar yang bermimpi dan bercita-cita menjadi ulama, tapi proses pembelajaran yang dilalui mereka tidak sesuai dengan konsep tafaqquh fī al-dīn, meskipun pemilik lembaga pendidikan tempat para pelajar itu menimba ilmu menamakan sekolahannya atau programnya dengan konsep tafaqquh fi aldin. Apalagi di era teknologi ini, bila tidak melakukan mujahadah yang tepat dan benar, meskipun bergelar S3, bisa jadi derajat keulamaannya masih amat jauh dari kenyataan. Hal ini bisa saja terjadi karena pemahaman dan penguasaan terhadap turats dan khazanah ilmu-ilmu naqliyah mereka sangat terbatas, namun mereka ‘dipaksa’ untuk terus berpikir dan melakukan penelitian ilmiah modern. Tentu saja ini berbeda dengan pendidikan Sang Kiai masa itu. Mereka tidak saja hapal ilmu-ilmu naqliyah, tapi juga disiplin dalam istimbath keilmuan, dan menjunjung tinggi sikap kehati-hatian dalam memutuskan suatu perkara.

Sang Kiai dengan gelar hadratussyaikh’-nya lahir dengan segala proses dan kedalaman ilmunya. Jadi bila ada program dan usaha ingin melahirkan ‘ulama sungguhan’, bisa bercermin pada pemikiran Sang Kiai baik filosofisnya, teoritisnya, konsep ilmu, juga proses pembelajaran dan seterusnya. Tentu saja melahirkan ulama sebagai usaha yang mulia tidak ringan. Seperti yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa penyebutan istilah ulama saat ini jangan terkesan merendahkan kualifikasi proses pendidikan dan keadaban ulama itu sendiri, tapi penyebutan dan penggunaan istilah itu juga harus be-ADAB. Apalagi ada istilah ‘ulama saintis’. Jangankan kualifikasi ulama yang benar, ditambah dengan embel-embel saintis jadinya bagai pungguk merindukan bulan.

Kedua, sakralisasi nilai adab. Sebagai bagian dari proses pendidikan dan pengajaran calon ulama, konsep sakralisasi adab dan akhlak dalam perspektif Sang Kiai adalah keniscayaan yang sangat tepat. Hal ini sudah menjadi model sekaligus pemikiran para ilmuwan muslim dan ulama tabi’in masa lampau, bahkan ijma diantara para shababat nabi. Hingga ada istilah dan ungkapan al-adāb fawqa ilm, al-adāb qabla ilm, faman lā adābu lahu lā syarīatun wa lā ‘īmanun wa lā tawhidun lahu, (adab di atas ilmu, adab itu sebelum ilmu, siapa yang tidak beradab, maka seakan mereka sama saja tidak memiliki syariah, iman dan tauhid), juga istilah lainnya. Dalam hal ini, sudah banyak yang dijelaskan oleh para ulama masa lalu tentang sakralisasi adab dalam kontek thalabul ilmi.

Kini, pembicaraan tema adab dan akhlak seakan jadi barang baru dan trend saat ini, padahal itu sudah terungkap berabad-abad lamanya. Bisa jadi karena tema adab dan akhlak selama ini kurang mendapat perhatian, khususnya dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, usaha membangun pemikiran pendidikan dengan cara menghidupkan kembali keindahan adab dan akhlak Islami tersebut menjadi menarik dicermati, apalagi hal tersebut berasal rekaman perjalanan tokoh yang sudah lama makan garam kenidupan, yaitu Sang Kiai Muhammad KH. Hasyim Asy’ari dan kitabnya Adabu al Alim wa al-Mutaalim. Wallahu a’lam

 

 -baca selengkapnya Pendidikan Bukan-Bukan Dr. Ulil Amri Syafri, MA-