Pendidikan Bukan-Bukan |
Praktek pendidikannya hampir tak memiliki pengaruh gaya pendidikan Belanda masa
itu. Bisa dibilang,
pemikiran Sang Kiai merupakan representatif
kultur budaya pendidikan Islam klasik yang sangat apik dengan visi
tafaqquh fī al-dīn.
Dengan pola konstan tersebut, kualitas pembelajaran dan hasil lulusannya
sangat berbeda dengan pola yang selalu mengalami
perubahan,
apalagi dengan lembaga yang suka
mengerdilkan
pendidikan Islam, meskipun masih menyematkan istilah tafaqquh
fī al-dīn pada
lembaga pendidikan mereka.
Dalam hal ini, ada
dua pemikiran pendidikan Sang Kiai yang amat istimewa. Pertama,
konsep ilmu. Ilmu yang Sang Kiai
maksud dalam proses pendidikannya adalah ilmu yang menjadikan para pelajar atau
santrinya kelak menjadi ulama. Karena arahnya
melahirkan ulama, maka proses yang dilalui calon ulama
tersebut betul-betul meniti standar jalan orang-orang ‘alim. Konsep inilah yang
pada akhirnya membuahkan hasil yang sangat mulia hingga berwujud munculnya
para kiai yang turun-temurun menghadirkan
tempat tafaqquh fī al-dīn yang
baik pula. Artinya, cita-cita Sang Kiai tampak rimbun, kokoh, kuat, dan berkarakter dalam bentuk pendidikan
Islam yang khas.
Jika kita
melongok pada era tersebut dan juga
beberapa masa sebelumnya, tempat tafaqquh fī al-dīn yang ada betul-betul melahirkan ulama dengan
sempurna, semisal guru-guru Sang
Kiai itu sendiri atau ulama-ulama besar Nusantara tempo dulu seperti Imam Nawawi al-Bantani, dan lainnya. Mereka lahir menjadi ulama dalam arti
yang ‘sesungguhnnya’ karena
proses dan jalan yang dilaluinya
adalah proses pendidikan yang tepat dengan meniti
jalan yang tepat pula.
Kini, yang
jadi problem adalah
banyak para pelajar yang bermimpi dan bercita-cita menjadi ulama, tapi proses pembelajaran yang dilalui mereka tidak sesuai dengan konsep tafaqquh fī
al-dīn, meskipun pemilik lembaga pendidikan tempat para pelajar itu menimba ilmu
menamakan sekolahannya atau programnya dengan konsep tafaqquh fi aldin. Apalagi di era teknologi ini, bila tidak melakukan mujahadah yang tepat dan
benar, meskipun bergelar S3,
bisa jadi derajat keulamaannya masih amat jauh dari kenyataan. Hal ini bisa saja terjadi karena pemahaman
dan penguasaan terhadap turats dan khazanah ilmu-ilmu naqliyah mereka
sangat terbatas, namun mereka ‘dipaksa’
untuk terus berpikir dan melakukan penelitian ilmiah modern. Tentu saja ini berbeda dengan pendidikan Sang Kiai
masa itu. Mereka tidak saja hapal ilmu-ilmu naqliyah, tapi
juga disiplin
dalam istimbath keilmuan, dan menjunjung tinggi
sikap kehati-hatian dalam memutuskan suatu perkara.
Sang Kiai dengan gelar ‘hadratussyaikh’-nya
lahir dengan segala proses dan kedalaman ilmunya. Jadi bila ada program dan usaha ingin melahirkan
‘ulama sungguhan’, bisa bercermin pada pemikiran Sang Kiai baik
filosofisnya, teoritisnya, konsep ilmu, juga proses pembelajaran dan
seterusnya. Tentu saja melahirkan ulama sebagai usaha yang mulia tidak ringan. Seperti
yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa penyebutan istilah ulama
saat ini jangan terkesan merendahkan kualifikasi proses pendidikan dan keadaban
ulama itu sendiri, tapi penyebutan dan penggunaan istilah itu juga harus
be-ADAB. Apalagi ada istilah ‘ulama saintis’. Jangankan kualifikasi ulama yang benar,
ditambah dengan embel-embel saintis jadinya ‘bagai pungguk merindukan bulan.’
Kedua, sakralisasi
nilai adab. Sebagai bagian dari proses
pendidikan dan pengajaran calon ulama, konsep sakralisasi adab dan akhlak dalam perspektif Sang Kiai adalah
keniscayaan yang sangat tepat. Hal ini sudah menjadi model sekaligus pemikiran
para ilmuwan muslim dan ulama tabi’in masa lampau, bahkan ijma’ diantara
para shababat nabi.
Hingga ada istilah dan ungkapan al-adāb fawqa ‘ilm, al-adāb qabla ‘ilm, faman lā adābu lahu lā syarīatun wa
lā ‘īmanun
wa lā tawhidun
lahu,
(adab di atas ilmu,
adab itu sebelum ilmu, siapa yang tidak beradab, maka seakan mereka sama saja
tidak memiliki syariah, iman dan tauhid), juga
istilah
lainnya. Dalam hal ini, sudah
banyak yang dijelaskan oleh para ulama masa
lalu tentang sakralisasi adab
dalam kontek thalabul ilmi.
Kini, pembicaraan tema adab dan akhlak
seakan jadi barang
baru dan trend
saat ini, padahal itu sudah terungkap berabad-abad lamanya. Bisa jadi karena tema adab dan akhlak
selama ini kurang mendapat perhatian, khususnya dalam proses pendidikan. Oleh
karena itu, usaha membangun pemikiran pendidikan dengan cara menghidupkan kembali
keindahan adab dan akhlak Islami tersebut menjadi menarik dicermati, apalagi
hal tersebut berasal rekaman perjalanan tokoh yang sudah lama makan garam
kenidupan, yaitu Sang Kiai Muhammad KH. Hasyim
Asy’ari dan kitabnya Adabu al Alim wa al-Mutaalim. Wallahu a’lam
0 komentar:
Post a Comment