M. Natsir Pendidikan Bukan-Bukan |
Wasathiyah
Islam adalah warna
umum konsep dan pemikiran dan ajaran Islam secara keseluruan. Artinya Islam
adalah agama yang selalu mampu mewujudkan suasana wasathiyah. Hal ini
yang dipahami oleh peneliti sekaligus dosen Univ. ummu Qara Makkah, Syekh
Abdurrahman Hasan al-Madani dalam karyanya al-wasathiyah fi al-Islam:
كل مسلم يحس بتلقائية شعورية ودون تفكير عميق بوسطية
الاسلام بين المبادئ والافكار والمذاهب
Maknanya, setiap muslim—baik secara spontan atau emosional tanpa pemikiran mendalam—akan merasakan wasathiyah Islam pada prinsip, pemikiran dan pada mazhab-mazhabnya.[1]
Secara bahasa, kata wasathiyah dimaknai adil. Kata tersebut sinonim dari kata tawadzun yaitu seimbang, seimbang dalam merealisasikan hak Allah aza wa jalla, hak jiwa manusia dan hak yang lain.[2] Syekh Abdurrahman Hasan al-Madani memaknai, bahwa istilah shiratul mustaqim juga disebut wasathiyah karena ia adalah jalan kehidupan yang Adil.[3] Dalam memahami Adil dan Seimbang, beliau memberikan perumpanaan mudah yaitu, ikatan tali yang paling tinggi adalah tengahnya, إن أعلي الحبل الممتد هو أوسطه)). Dengan demikian barang yang diikat dengan tali tersebut tidak condong ke kanan atau pun berat ke kiri jika ikatan atau pegangannya ada di kiri.
Meskipun
arti kata wasathiyah al-Madani dimaknai dengan mudah, namun beliau tidak
menyebutkan jika kontek persoalan agama dan berbagai persoalan harus dan
disyaratkan selalu berada dalam posisi tengah selalu. Dikatakannya bahwa hal
itu sulit sekali dalam memberikaan verifikasi secara pemikiran, kejiwaaan dan
sikap. Maka Syekh Abdurrahman Hasan al-Madani mengajak untuk memahami al-wasyatiyah
fi al- Islam dengan melihat contoh-contoh bahasan tersebut, artinya tidak
sedekar melihat pemaknaan sisi lughawi-nya saja.
Ada
lebih sepuluh bahasan atau contoh yang dijelaskan oleh Syekh Abdurrahman Hasan
al-Madani agar bisa paham secara komprehensif tentang nilai dan ruh wasathiyah
ajaran Islam itu. Sepuluh topik atau tema tersebut diantaranya,
Wasathiyah dalam memperoleh ilmu atau
pengetahuanya baik Sumber dan kaifiyah-nya. Wasathiyah dalam
melihat tuntutan dan kebutuhan duniawi dan ukhrawi manusia.:[4]
Kitab
al-Wasathiyah fī al-Islam karya Syekh Abdurrahman Hasan Al-Madani
diterbitkan para tahun 1995M/1416H oleh mua’sasah al-Rayan Makkah. Beliau mendapatkan
penghargaan dalam bentuk pujian dari sekjen Rabithah Alam Islam, Dr. Ahmad
Muhammad Ali, di tahun terbitnya. Dalam mukaddimahnya, Al-Madani menyebutkan
ada dua orientasi penelitianya. Pertama,
kepentingan eksternal atau bisa dikatakan sebagai jawaban atas adanya kesalahan
fatal masyarakat dunia melihat ajaran Islam. Kedua, sebagai tanggung jawab secara
syar’i atas dirinya untuk menjelaskan secara internal kepada umat Islam maksud al
wasathiyah. Dalam hal ini bahasan secara apik menjadi solusi dalam permasalahan
internal kaum muslimin ketika itu.
Tokoh
lainnya, Dr. Isham Basyir al-Sudani, pucuk pimpinan organisasi Internasional Wasathiyah
Center di Kuwait mengatakan, penting mencari pemaknaan asal
wasathiyah dari al-Quran. Namun demikian beliau memberi makna wasathiyah
dengan arti kata Adil menggunakan makna istilah shiratul mustaqim yang
ada pada surat al-Fatihah.[5] Pada
kontek bahasa, Syekh Abdurrahman Hasan Al-Madani memiliki beda pandangan.
Menurutnya wasathiyah tidak bisa mudah dipahami melalui bahasan lughawi.
Hal ini karena wasathiyah itu menjelma dalam Prinsip, landasan berpikir,
akhlak dan seterusnya.
Sedangkan bagi M. Natsir,[6] wasathiyah tidak saja dimaknai, tapi sudah direalisasikan dalam berbagai aktifitas, gerak pemikirannya dan sikap pendiriannya, baik pada bidang pemikiran keislaman, pendidikan, kemasyarakatan, dakwah dan juga Politik kenegaraan di Indonesia. Pada pemikiran keislaman, agama menurut Natsir, khususnya risalah nabi Muhmmad SAW, dapat diklasifikasikan pada tiga pokok hubungan, yaitu hubungan manusia dengan Khaliknya, hubungan manusia sesama manusia dan mengadakan hubungan yang seimbang, tawazun, dan adil diantara keduanya secara sejalan dan berjalin.[7] Demikian pula wasathiyah pemikiran pendidikan, Natsir berpendapat bahwa “bakat potensi yang ada dalam fitrah kejadian manusia jasmani dan ruhani itu dapat berkembang maju menurut fungsi masing-masing berkembang dalam keseimbangan dari satu tingkat ke tingat yang lebih tinggi”.[8]
Wasathiyah Natsir Dalam Pendidikan
Wasathiyah Natsir juga terlihat ketika
beliau berkeinginan melahirkan satu sistim pendidikan yang mampu mewujudkan
manusia yang seimbang. Baik seimbang dalam ketajaman akalnya maupun seimbang
dalam kemahiran tangannya untuk bekerja.[9] Realisasi
gagasan Natsir itu bisa dibaca pada desain kurikulum PENDIS Natsir di atas.
Baginya, pendidikan anak tidak saja menjadi fardhu ‘ain bagi ibu
dan bapak yang mempunyai anak, akan tetapi menjadi fardhu kifayah
bagi tiap–tiap anggota dalam masyarakat yang ada.
Teori wasathiyah
Natsir ini senada juga dengan para tokoh pendidikan Islam saat ini. Misalnya
pendapat Abdurrahman al-Nahlawi dalam karyanya ushl al-Tarbiyah
al-Islamiyah—dari kutipan kitab Madhal ila al-Tarbiyah, beliau
mengatakan tentang pendidikan Islam:
التربية تتكون من عناصر: المحافظة على فطرة الناشئ
ورعايتها, وتنمية مواهب واسـتعداداته كلها وهي كثيرة متنوعة
Pendidikan Islam dibangun atas
unsur-unsur, yaitu penjagaan fitrah manusia, pengembangan, dan penyiapan
bakat-bakat yang bervariatif.[10]
Demikian
pula pemikiran wasathiyah Natsir pada konteks masyarakat. Dalam
pemikiran pada aspek wasathiyah dakwah, Natsir berpendapat bahwa Islam
adalah agama risalah untuk manusia keseluruhan, sedangkan umat Islam adalah
pendukung amanah tersebut dengan jalan dakwah.[11]
Adapun dalam metode dakwah, beliau menjadikan hikmah sebagai puncak dan
setinggi-tingginya metode. Pemikiran ini dapat ditelusuri pada makna hikmah
dalam implementasi yang diinginkan Natsir.[12]
Secara
khusus, pemikiran wasathiyah Natsir tentang bernegara
tampak jelas dalam tulisannya yang berjudul Pancasila dan ajaran al Quran.[13] Dikatakan
dalam tulisan itu tentang dasar negara Indonesia yaitu Pancasila,
Bagi seorang yang beragama,
khususnya yang beragama Islam, kalau mereka melihat urutan sila-sila yang lima
itu (Pancasila), ia akan bertemu dengan barang-barang yang sudah dikenal dan
dihayati. Ambilah, ketuhanan yang maha Esa. Seorang muslim memulai ketuhanan
yang maha Esa itu dengan Tauhid dan kalimat Syahadat, begitu juga sila-sila
yang lain. Sila kemanusiaan, Keadilan Sosial, Kebangsaan, Kerakyatan dan
lain-lain itu bertemu semua dalam sila-sila yang terdapat dalam Islam. Jadi
tidak bisa kita mengatakan sebagai seorang Islam bahwa Pancasila bertetangan
dengan Islam. Pancasila itu adalah rumusah dari ide-ide moral.”[14]
[1]Pertama,Wasathiyah dalam memperoleh Ilmu atau Pengetahuanya baik
Sumber dan kaifiyah-nya. Kedua, Wasathiyah dalam melihat tuntutan dan kebutuhan duniawi dan
ukhrawi manusia. Ketiga, Wasathiyah dalam Kontek pembahasan Iman. keempat, Wasathiyah dalam Kontek pembicaraan Akhlak. Kelima, Wasathiyah dalam Kontek pembahasan Ibadah. Keenam, Wasathiyah dalam Kontek bahasan ikatan
pernikahan dan hubungan suami-istri. Ketujuh,
Wasathiyah dalam Kontek finansial, sumber dan pemanfaatanya. Kedelapan, Wasathiyah dalam Kontek pembahasan aturan
hukum dan menejemen. Kesembilan, Wasathiyah dalam antara pembahasan
perundang-undangan dan pengaturan civil society atau rakyat. Kesepuluh, Wasathiyah dalam Kontek pembicaraan edukasi
atau pengajaran. Kesebelas, Wasathiyah dalam Kontek pembahasan dakwah
amal Penyebaran ajaran agama Islam. Syekh Abdurrahman Hasan
Al-Madani, Al-Wasathiyah fī Al-Islam, Beirut: Muasasah al-Rayyan, 1996,
hlm. 9.
[2]https://www.youtube.com/watch?v=n3_x5NDHULo. Isham Basyir al-Sudani
adalah pucuk pimpinan organisasi Internasional Wasathiyah Center di Kuwait.
(pen.)
[3]Syekh Abdurrahman Hasan Al
Madani, al-Wasathiyah fī al-Islam, hlm. 9
[4]Ibid., hlm. 193.
[5]Lihat Isham Basyir al-Sudani di https://www.youtube.com/watch?v=n3_x5NDHULo,
atau bisa juga melihat pendapat Syeikh Ahmad Rabbi’ Al-Azhary tentang dasar
ajaran Islam yang wasathiyah di https://www.youtube.com/26obKj_GJGI
[6]M. Natsir merupakan tokoh
Indonesia yang jauh lebih senior bila dibandingkan dua tokoh dunia Islam di
atas, bahkan telah menjadi tokoh Islam terkenal di dunia internasional. Pada
tahun 1956 Natsir bersama Maulana Abu A’la Al-Maududi (Lahore) dan Abu Hasan
An-Nadwa memimpin sidang Alam Islamy
di Damaskus. Selain itu Natsir juga menjabat sebagai Wakil Presiden Kongres
Islam se dunia (Muktamar Alam Islami) yang berkedudukan di Karachi (1967),
sebagai anggota Rabithah Alam Islami (1969), dan anggota pendiri Dewan Masjid
se Dunia (1976) yang berkedudukan di Mekkah. Di wilayah tanah Melayu M, Natsir
dapat penghargaan dalam bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia
(1991), dan dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains dan Teknologi
Malaysia (1991). Bahkan di Eropa Pada tahun 1987 Natsir menjadi anggota Dewan
Pendiri The Oxford Center for Islamic Studies, London. (pen.)
[7]Mohammad Natsir, Fiqhud
Dakwah, hlm. 36
[8]Ibid., hlm. 25.
[9]Lukman Hakim, Biografi
Mohammad Natsir, hlm. 55
[10]Abdurraman Al-Nahlawi, Ushûl
Al-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, hlm. 13
[11]Mohammad Natsir, Fiqhud
Da’wah, hlm. 109.
[12]Ibid, hlm.
161-236. Sedangkan dalam aspek wasathiyah
politik dan kenegaraan, Natsir berpendapat bahwa agama bukan saja urusan
pribadi, tapi juga masyarakat. Bahkan hal tersebut terlihat pada garis-garis
aturan hak dan kewajiban bermasyarakat dalam ajaran Islam. Aturan tersebut akan
lebih jauh dan lebih luas lagi jika ada dalam masyarakat yang lebih luas pula.
Dalam konteks inilah Natsir berprisip harus ada suatu kekuatan dalam pergaulan
hidup berupa kekuasaan dalam negara, tidak boleh tidak. Bahkan Natsir
mengkritik Kemal Pasha Cs yang dalam ungkapan beliau menyerahkan Agama ke
tangan rakyat kembali, lepas dari urusan Negara. Dalam istilah selanjutnya
disebut netral agama. Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam
Persektif Islam, Jakarta: Media Da’wah, 2001, hlm. 78-79.
[13]Ibid., hlm. 123.
[14]Ibid., hlm. 267.
Pendidikan Bukan_Bukan |
0 komentar:
Post a Comment