Cluster Casablanca, Sentul City, Bogor - Jawa Barat - 16810 | Hotline: 0813-1112-5384 (Call/SMS/WA)

07 October 2021

Amazing Natsir

 Satu kata yang terucap ketika membaca pemikiran dan melihat potret pendidikan ala PENDIS Natsir: Amazing! Ya, ibarat pembuat roti, produknya hadir dengan rasa spesial, rupa dan bentuknya pun belum pernah terlihat sebelumnya. Itulah PENDIS Natsir di Bandung tempo dulu.

Sekilas bisa saja orang akan menyamakan PENDIS dengan HIS Adabiyah Padang tempo dulu, dimana Natsir pernah belajar dan menjadi  murid di sekolahan yang didirikan Syaikh Abdullah Ahmad itu. Namun seperti yang sudah penulis jelaskan, ada perbedaan yang cukup signifikan diantara keduanya, serupa tapi tak sama. Pun demikian apa yang dilakukan Natsir dengan PENDIS-nya ditahun 1932-1942 akan bisa diceritakan dengan lebih indah oleh orang-orang yang ada di masanya.

Menurut penulis, masa kecil seorang Natsir sama seperti seperti kebanyakan anak Indonesia saat itu, miskin dan pas-pasan. Namun beliau terus tumbuh dan berkembang dengan semangat juangnya. Qadarullah, beasiswa Belanda--meskipun diskriminatif—telah membawa Natsir menjadi berbeda. Jalan hidupnya membawa warna tersendiri dalam rangkaian kisah tempo dulu para tokoh negeri ini yang terlahir kaya dan berkecukupan. Misalnya Sutan Syahrir kecil (1909-1966), Perdana Menteri Indonesia Pertama. Ia berasal dari keluarga kaya, sekolah dasarnya saja di kelas lebih mahal dan bayar sendiri, yaitu ELS, sekolah dasar untuk kelas anak-anak Eropa (Europeesche lagere School) bukan di HIS, Hollandsch Inlandsche School (sekolah dasar untuk anak pribumi berbahasa Belanda). Demikian pula sosok tokoh Ki Hajar Dewantara (1889-1959). Karena ia anak dari bangsawan Jawa, maka ia berhak menempuh pendidikan sekelas anak-anak Eropa dan bersekolah juga di ELS. Juga tokoh Bahder Djohan (1902-1981) yang kelak menjadi menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan di era Kabinet Natsir. Seorang Bahder Djohan bisa bersekolah di HIS Padang karena ia anak orang kaya dan ayahnya jaksa terpandang di Sumatra Barat saat itu. Kesemua jalan hidup para tokoh ini tentunya amat berbeda dengan Natsir yang bisa sekolah hingga AMS karena bergantung pada beasiswa karena prestasinya.

Natsir, meskipun sejak kecil tumbuh dengan segala keterbatasan, memiliki kecerdasan akal dan ruhani. Sikapnya kritis, peduli dengan penderitaan rakyat, dan memiliki nalarasasi yang baik, sehingga dengan bekal tersebut membawa Natsir muda mengawali karir kemasyarakatannya dengan berhidmat secara totalitas pada Pendidikan Islam yang dirancangnya. Natsir memang bukan produk sistem madrasah atau Diniyah School masa itu. Juga bukan menempuh jalan santri seperti KH. Hasyim Asy’ari (1871-1847) yang usianya jauh diatas Natsir. Pendidikan agama Natsir lebih banyak berupa pengajaran sikap beragama dari pada teori-teori ilmu agama. Namun demikian mulazamah beliau dengan Tuan Guru A. Hassan turut mempengaruhi cara pikir keagamaan dan cita-cita hidupnya, termasuk rancang bangun PENDIS.

Kegiatan kepemudaan masa di AMS juga membuat Natsir muda bertemu banyak tokoh besar termasuk dengan H. Agus Salim (1884-1954), H.O.S. Tjokroaminoto (1883-1934), dan lainnya. Hal ini juga yang menjadi bagian dari proses pendidikan dan pengajaran yang didapatnya. Artinya, pendidikan bagi Natsir tidak dihalangi oleh batas tembok dan dinding sekolahan, tapi alam ciptaan-Nya juga bisa menjadi guru berharga, termasuk orang-orang hebat yang ditemuinya.

Dengan berbagai latar belakang yang dilalui seorang Natsir, PENDIS menjelma menjadi pendidikan Islam yang punya kebaruan meski tidak berada dalam basis istilah tafaqquh fī al-dīn. Ia tidak bisa dimasukan dalam klasifikasi model pendidikan Islam masa itu. PENDIS bukanlah Diniyah School, bukan madrasah, bukan juga pesantren, apalagi surau. Lalu?, yang jelas PENDIS  bukan ‘pendidikan bukan-bukan’ Wallahu a’lam

(baca selengkapnya Pendidikan Bukan-Bukan Dr. Ulil Amri Syafri, MA)

0 komentar:

Post a Comment