Sekilas bisa saja orang akan menyamakan PENDIS dengan HIS Adabiyah Padang tempo dulu,
dimana Natsir pernah belajar dan menjadi
murid di sekolahan yang didirikan Syaikh Abdullah Ahmad itu. Namun seperti yang sudah penulis
jelaskan, ada perbedaan yang cukup signifikan diantara keduanya, serupa tapi tak sama.
Pun demikian
apa yang dilakukan Natsir dengan
PENDIS-nya ditahun 1932-1942 akan bisa diceritakan dengan lebih indah oleh
orang-orang yang ada di masanya.
Menurut penulis, masa
kecil seorang Natsir sama seperti seperti kebanyakan anak Indonesia saat itu,
miskin dan pas-pasan. Namun beliau terus tumbuh dan berkembang dengan semangat
juangnya. Qadarullah, beasiswa Belanda--meskipun diskriminatif—telah membawa
Natsir menjadi berbeda. Jalan hidupnya membawa warna tersendiri dalam rangkaian
kisah tempo dulu para tokoh negeri ini yang terlahir kaya dan berkecukupan. Misalnya
Sutan Syahrir kecil (1909-1966), Perdana Menteri Indonesia Pertama. Ia berasal
dari keluarga kaya, sekolah dasarnya saja di kelas lebih mahal dan bayar
sendiri, yaitu ELS, sekolah dasar untuk kelas anak-anak Eropa (Europeesche
lagere School) bukan di HIS, Hollandsch Inlandsche School (sekolah
dasar untuk anak pribumi berbahasa Belanda). Demikian pula sosok tokoh Ki Hajar
Dewantara (1889-1959). Karena ia anak dari bangsawan Jawa, maka ia berhak menempuh
pendidikan sekelas anak-anak Eropa dan bersekolah juga di ELS. Juga tokoh
Bahder Djohan (1902-1981) yang kelak menjadi menteri Pendidikan, Pengajaran,
dan Kebudayaan di era Kabinet Natsir. Seorang Bahder Djohan bisa bersekolah di HIS Padang karena
ia anak orang kaya dan ayahnya jaksa
terpandang di Sumatra Barat saat itu. Kesemua jalan hidup para tokoh ini tentunya amat berbeda dengan Natsir
yang bisa sekolah hingga AMS karena bergantung pada beasiswa karena prestasinya.
Natsir, meskipun sejak
kecil tumbuh dengan segala keterbatasan, memiliki kecerdasan akal dan ruhani. Sikapnya
kritis, peduli dengan penderitaan rakyat, dan memiliki nalarasasi yang baik,
sehingga dengan bekal tersebut membawa Natsir muda mengawali karir kemasyarakatannya
dengan berhidmat secara totalitas pada Pendidikan Islam yang dirancangnya.
Natsir memang bukan produk sistem
madrasah atau Diniyah School
masa itu. Juga bukan menempuh jalan santri seperti KH. Hasyim Asy’ari (1871-1847) yang usianya jauh diatas Natsir. Pendidikan agama
Natsir lebih banyak berupa pengajaran
sikap beragama dari pada teori-teori
ilmu agama. Namun demikian mulazamah beliau dengan Tuan Guru A.
Hassan turut mempengaruhi cara
pikir keagamaan dan cita-cita hidupnya,
termasuk rancang bangun
PENDIS.
Kegiatan kepemudaan
masa di AMS juga membuat Natsir muda bertemu banyak tokoh besar termasuk dengan
H. Agus Salim (1884-1954), H.O.S. Tjokroaminoto (1883-1934), dan lainnya. Hal ini
juga yang menjadi bagian dari proses pendidikan dan pengajaran yang didapatnya.
Artinya, pendidikan bagi Natsir tidak dihalangi oleh batas tembok dan dinding
sekolahan, tapi alam ciptaan-Nya juga bisa menjadi guru berharga, termasuk orang-orang
hebat yang ditemuinya.
Dengan berbagai
latar belakang yang dilalui seorang Natsir, PENDIS menjelma menjadi pendidikan
Islam yang punya kebaruan meski tidak berada dalam basis istilah tafaqquh fī
al-dīn. Ia tidak bisa dimasukan dalam klasifikasi model pendidikan Islam
masa itu. PENDIS bukanlah Diniyah School, bukan madrasah, bukan juga pesantren,
apalagi surau. Lalu?, yang jelas PENDIS bukan ‘pendidikan bukan-bukan’ Wallahu
a’lam
(baca selengkapnya Pendidikan Bukan-Bukan Dr. Ulil Amri Syafri, MA)
0 komentar:
Post a Comment