Dalam satu buku yang mengulas ketokohan Sang Kiai Hasyim Asy’ari, disebutkan oleh Muhammad Rifai, penulisnya, bahwa Sang Kiai merupakan seorang ‘pembaru’. Meski tidak dijelaskan secara spesifik, namun dapat dipahami bahwa makna ‘pembaru’ yang disematkan pada diri Sang Kiai adalah terkait hal pembaruan dalam pendidikan. Disebutkan dalam tulisan itu bahwa Sang Kiai telah membuat pembaruan dalam sistem pendidikan di Pesantren Tebu Ireng dengan memasukan ilmu-ilmu sekuler ke kurikulum pesantren.[1]
Pendapat itu mungkin tidak
memiliki tendensi buruk, bahwa Sang Kiai juga berpikiran maju dalam
mengelola dan mengembangkan lembaga pendidikan pesantren saat itu. Namun, jika
kita ikuti kultur dan budaya pembaruan yang umum berlaku di Nusantara sejak
awal abad ke-20, maka terasa kurang tepat bila beliau dianggap sebagai tokoh ‘pembaru’,
baik dalam gagasan sistem pendidikan, apalagi dalam pemikiran keislaman.
Setidaknya ada dua alasan
yang melatarbelakangi mengapa penyematan ‘pembaru’ itu terasa kurang tepat. Pertama,
sosok Sang Kiai adalah khadimun al-‘ilmi, satu julukan
yang beliau berikan sendiri pada dirinya saat menyelesaikan tulisannya.
Artinya, dapat dimaknai bahwa beliau sangat mencintai tradisi keilmuan dan
metodologi Islam dalam khazanah pengetahuan, khususnya yang bercorak klasik.
Hal ini telah dibuktikan dalam fase-fase perjalanan proses thalabul ilmi
Sang Kiai. Dalam persoalan fikih, akidah, dan tauhid, Sang Kiai
juga merupakan sosok yang istikamah dalam merujuk pendapat atau qaul
ulama-ulama sebelumnya. Oleh karena itu, penyebutan ‘pembaru’ kepada Sang
Kiai tidaklah cocok. Sebab, tradisi merujuk pada pendapat para ulama dan
imam mazhab bukanlah ciri yang dimiliki kalangan yang menyebut dirinya
sebagai tokoh ‘pembaru’.
Tokoh pembaruan biasanya
mengedepankan olah pikir, menggunakan logika pada persoalan agama, dan tidak
mengutamakan rujukan yang berasal dari pendapat para ulama klasik, meskipun
mereka berdalih menggunakan basis al-Qur’an dan Hadis juga.
0 komentar:
Post a Comment