Cluster Casablanca, Sentul City, Bogor - Jawa Barat - 16810 | Hotline: 0813-1112-5384 (Call/SMS/WA)

09 October 2021

Karismatik Sang Kiai Tak Lekang oleh Waktu

Dalam satu buku yang mengulas ketokohan Sang Kiai Hasyim Asy’ari, disebutkan oleh Muhammad Rifai, penulisnya, bahwa Sang Kiai merupakan seorang ‘pembaru’. Meski tidak dijelaskan secara spesifik, namun dapat dipahami bahwa makna ‘pembaru’ yang disematkan pada diri Sang Kiai adalah terkait hal pembaruan dalam pendidikan. Disebutkan dalam tulisan itu bahwa Sang Kiai telah membuat pembaruan dalam sistem pendidikan di Pesantren Tebu Ireng dengan memasukan ilmu-ilmu sekuler ke kurikulum pesantren.[1]

Pendapat itu mungkin tidak memiliki tendensi buruk, bahwa Sang Kiai juga berpikiran maju dalam mengelola dan mengembangkan lembaga pendidikan pesantren saat itu. Namun, jika kita ikuti kultur dan budaya pembaruan yang umum berlaku di Nusantara sejak awal abad ke-20, maka terasa kurang tepat bila beliau dianggap sebagai tokoh ‘pembaru’, baik dalam gagasan sistem pendidikan, apalagi dalam pemikiran keislaman.

Setidaknya ada dua alasan yang melatarbelakangi mengapa penyematan ‘pembaru’ itu terasa kurang tepat. Pertama, sosok Sang Kiai adalah khadimun al-‘ilmi, satu julukan yang beliau berikan sendiri pada dirinya saat menyelesaikan tulisannya. Artinya, dapat dimaknai bahwa beliau sangat mencintai tradisi keilmuan dan metodologi Islam dalam khazanah pengetahuan, khususnya yang bercorak klasik. Hal ini telah dibuktikan dalam fase-fase perjalanan proses thalabul ilmi Sang Kiai. Dalam persoalan fikih, akidah, dan tauhid, Sang Kiai juga merupakan sosok yang istikamah dalam merujuk pendapat atau qaul ulama-ulama sebelumnya. Oleh karena itu, penyebutan ‘pembaru’ kepada Sang Kiai tidaklah cocok. Sebab, tradisi merujuk pada pendapat para ulama dan imam mazhab bukanlah ciri yang dimiliki kalangan yang menyebut dirinya sebagai tokoh ‘pembaru’.

Tokoh pembaruan biasanya mengedepankan olah pikir, menggunakan logika pada persoalan agama, dan tidak mengutamakan rujukan yang berasal dari pendapat para ulama klasik, meskipun mereka berdalih menggunakan basis al-Qur’an dan Hadis juga.


Baca selengkapnya Pendidikan Bukan-Bukan. Dr. Ulil Amri Syafri, MA




[1]Muhammad Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: Garasi, 2020, hlm. 13.

0 komentar:

Post a Comment