Cluster Casablanca, Sentul City, Bogor - Jawa Barat - 16810 | Hotline: 0813-1112-5384 (Call/SMS/WA)

03 July 2016

Antara Evaluasi dan Muhasabah



Di dunia pendidikan dikenal istilah Evaluasi. Evaluasi, seperti yang pernah dijelaskan, memiliki bermacam-macam tujuannya, antara lain untuk mengetahui seberapa jauh tingkat pencapaian kemajuan ke arah tujuan yang telah ditentukan. Evaluasi bisa juga digunakan untuk menentukan faktor biaya, waktu, dan tingkat keberhasilan kurikulum keseluruhan. Evaluasi juga terkadang untuk mengukur efektivitas kurikulum. Yang jelas, dunia pendidikan tidak bisa lepas dari kegiatan evaluasi.

Dalam proses pembinaan pribadi muslim, kita pun mengenal istilah muhasahah atau biasa disebut dengan muhasabah diri. Lalu pertanyaannya, samakah makna muhasahah pribadi muslim dengan evaluasi yang ada dalam dunia pendidikan?
Dari sisi fungsi keduanya memiliki persamaan. Namun dua istilah itu tetap memiliki makna di ranah masing-masing.

Dalam riwayat pada kitab Imam Tirmizi disebutkan hadis tentang muhasabah. Dalam terjemahan singkatnya bisa dikatakan, “Hisablah diri kalian sebelum engkau di hisab nanti, timbanglah amal kalian sebelum di timbang nanti ….” Sekilas hadis ini berbicara tentang evaluasi diri atau muhasabah diri pada dunia pendidikan akhlak dalam Islam. Seperti halnya evaluasi yang menjadi factor penting dalam dunia pendidikan, muhasabah pun demikian pada kehidupan setiap muslim. Artinya, menghitung atau menghisab amal itu diajarkan syariah.
Teori muhasabah ada dua macam. Pertama, muhasabah sebelum mengamalkan suatu pekerjaan. Muhasabah ini berfungsi untuk memeriksa orientasi atau maksud dari perbuatan tersebut. Bila orientasi mengerjakan suatu amal tersebut baik, dalam arti tidak cacat secara syariah, maka pekerjaan tersebut hendaknya disegerakan, layak untuk dilanjutkan. Tapi bila orientasinya buruk bahkan cacat secara hukum, maka hentikan dan jangan teruskan keinginan untuk melakukan pekerjaan tersebut.

Kedua, muhasabah setelah melakukan amal perbuatan. Muhasabah setelah melakukan amal perbuatan ini ada kemiripan dengan evaluasi dalam pendidikan. Evaluasi semacam ini pada dunia pendidikan terkadang dapat menentukan nilai akhir bagi setiap peserta didik. Muhasabah pasca melakukan amal perbuatan ini berfungsi menilai kualitas amal tersebut. Alat ukur yang disepakati para ulama kebanyakan adalah ikhlas dan ittiba’ atau bertauladan pada Rasulullah saw. Bila amal tersebut berkualitas, tentu kebahagian yang akan didapat, dan apabila tidak berkualitas sudah pasti akan mendapat kerugian dan penyesalan tak berakhir.
Ajaran Islam tentang muhasabah ini sangat penting karena erat hubungannya dengan tangung jawab hidup bagi setiap muslim. Muhasabah yang dahsyat ada pada Mahkamah Ilahi. Ada beberapa ayat yang bisa dijadikan alasan pemikiran tersebut, diantaranya:

             Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua (QS. Al-Hijr: 92)
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu) (QS. Al-Takasur: 8) 

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya (QS. Al-Isra’: 36)

Ayat ayat di atas selain berbicara tentang Mahkamah Muhasabah Ilahi juga berbicara tentang tanggung jawab diri seorang muslim.

Saya akan memberi gambaran lebih jelas tentang Muhasabah pada Mahkamah Ilahi. Tentu saja amat berbeda dengan evaluasi yang kerap ditemui pada dunia pendidikan. Dalam Evaluasi Pendidikan biasa diikuti dengan istilah perbaikan nilai, penambahan nilai dari aspek X, ujian susulan, dan seterusnya. Tentunya setiap guru dan sekolah berharap bahwa proses evaluasi itu harus menggambarkan keberhasilan dan kesuksesan.
Dalam muhasabah, proses yang terjadi amat berbeda dengan Evaluasi tersebut. Al-Quran sangat sempurna mendeskripsikan hal tersebut (baca QS. Yasin: 54-65).

Yang Allah ingin sampaikan pada ayat tersebut adalah, “di suatu hari yang amat penting, Aku tidak akan mendzalimi setiap jiwa sedikit pun. Artinya, Aku tidak akan mengurangi kebaikan kalian dan juga tidak akan menambah keburukan kalian.  Semua tidak akan diberi balasan kecuali sesuai dengan apa yang telah kalian kerjakan.” Suasana muhasabah pun akan bertambah ‘mencekam’ karena manusia dibuat bisu sejenak. Dikatakan lagi “pada hari ini kami tutup mulut-mulut kalian, membisu tidak bisa berbicara. Yang akan berbicara adalah tangan-tangan kalian dan kaki-kaki kalian yang akan menjadi saksi terhadap apa saja yang telah kaliah kerjakan selama ini”. Itulah proses Muhasabah yang amat menegangkan.
Setiap manusia pasti akan melaluinya, baik yang meninggal pada saat masih kecil, muda, apalagi meninggal dalam usia tua. Tentu saja akan banyak hal yang di-hisab dan ditimbang darinya. Tidak ada yang bisa lari, tidak pula menghindar, karena proses itu sesuatu yang pasti dan harus dilalui. Sudah tidak ada perbaikan nilai dari kualitas amal masing-masing, apalagi ujian susulan.

Hanya ada dua penempatan, naik tingkat atau gagal. Tempat Pertama, kelompok yang berhasil masuk kelas bernama Surga. Diceritakan di banyak ayatNya bahwa nantinya komunitas surga ini sibuk dengan nikmat-nikmat Allah SWT, ditemani pasangan dari bidadari-bidadari di tempat yang teduh. Mereka memperoleh berbagai buah-buahan surga dan dikabulkan setiap permintaan mereka. Bahkan Allah SWT mengunjungi mereka seraya mengucapkan, ‘Salam.’
Menurut Ibn Abbas, “Allah SWT akan mengucapkan Assalâmualaikum yâ Ahl Jannah … Lalu Allah melihat mereka dan mereka pun melihat Allah SWT, sampai-sampai mereka yang ada di dalam surga tersebut tidak berpaling pandang sedikit pun dari Rabbul ‘alamin karena kagum yang tak terhingga, hingga Allah meninggalkan cahaya dan barakah untuk penduduk surga tersebut.  

Tempat Kedua, kelompok yang gagal. Diceritakan bahwa Allah SWT segera memisahkan mereka dari kelompok Ahl Jannah yang beruntung tadi. Mereka berjarak dan berjauhan, seiring dengan itu Allah SWT bertanya kepada mereka yang membuat mereka makin terhina Dikatakan, “wahai anak cucu Adam as., bukankah Aku telah melarang kalian untuk menyembah Syaitan, karena dia musuh kaliah yang nyata? Dan Aku perintahkan kalian untuk menyembahKu dan mengikuti jalan shirâthal mustaqîm? Kalian telah disesatkan sampai-sampai kalian tidak berpikir!” Allah SWT menambah MurkaNYA, kelompok gagal ini kemudian dipersilahkan oleh Allah SWT memasuki Jahannam yang sudah tersedia karena kekufuran mereka.
Muhasabah yang diungkapkan al Quran di atas pastinya akan kita lalui, insya Allah. Sebelum itu terjadi, ada muhasabah yang bisa lebih dulu kita pratekan dalam keseharian, yaitu dengan menggunakan teori muhasabah yang telah dijelaskan tadi. Cobalah selalu me-muhasabah diri dengan dua alat ukur. Pertama, bila dalam hati kita tidak ada keinginan melanggar dan berbuat dosa kepada Allah SWT, maka itu artinya diri kita sudah baik. Kedua, lanjutkanlah dengan berbuat amal shaleh. Maka itu sudah berada pada tingkat sempurna atau mumtaz.

Bila yang dilakukan kebalikan dari dua hal tersebut, maka itu berarti masalah besar. Artinya, muhasabah di dunia sudah memberi nilai gagal. Tapi tentu saja masih ada solusi dari kegagalan tersebut, karena kita masih berada di dunia, yaitu bertaubatlah, beristigfarlah, dan perbanyaklah berbuat amal shaleh sebagai usaha perbaikan nilai. Tanpa solusi tersebut, tentu Muhasabah Mahkamah Ilahi yang amat menakutkan itu akan menunggu kita pada hari yang telah ditentukan nanti. Na’uzubillah.
Tentu mudah bukan melakukan muhasabah di dunia? Silakan mencoba.
Wallâhu a’lam bi al-shawwâb.

(Sumber Bacaan: Kitab Tafsir Ibn Katsir dan Al-Sa’di, dan Kitab Al- Bahr Al-Râ’iq fî Zuhdi wa Al-Raqâiq A. Farid)
Written by: Dr. H. Ulil Amri Syafri, Lc., MA.




0 komentar:

Post a Comment