Cluster Casablanca, Sentul City, Bogor - Jawa Barat - 16810 | Hotline: 0813-1112-5384 (Call/SMS/WA)

21 November 2025

Pemikiran Ulil Amri Syafri tentang Filsafat Pendidikan Islam

Menurut Ulil Amri Syafri, ada satu hal mendasar yang harus dikembalikan dalam wacana pendidikan Islam: bahwa filsafat bukan barang asing dalam tradisi kita. Ia bukan sekadar warisan Yunani atau produk akademik modern. Dalam pandangan ini, akar terdalam filsafat sesungguhnya telah hidup dalam fitrah manusia, sebagaimana ditunjukkan Al-Qur’an melalui kisah pencarian Tuhan oleh Nabi Ibrahim AS.

Kisah Qur’ani (Al-An‘ām 76–79) dipahami sebagai potret paling jernih dari kerja intelektual manusia. Ketika Nabi Ibrahim AS menatap bintang, bulan, dan matahari, menurut Ulil Amri Syafri, ia sedang mengaktifkan potensi berfikir yang Allah tanamkan sebagai fitrah manusia: mempertanyakan, menimbang, dan menguji kebenaran. Inilah aktivitas filosofis yang paling autentik—pencarian makna yang tumbuh dari dorongan batin, bukan dari kurikulum formal.

#ulilamrisyafri


Karena itu, Ulil Amri Syafri menegaskan bahwa fithrah al-‘aql merupakan fondasi awal filsafat pendidikan Islam. Akal dianugerahkan untuk mencari kebenaran, tetapi tetap membutuhkan wahyu sebagai orientasi final. Dalam konstruksinya, filsafat dan wahyu bukan dua entitas yang berlawanan, melainkan dialog abadi antara pencarian manusia dan petunjuk Tuhan. Di sinilah letak karakter khas filsafat pendidikan Islam.

Filsafat pendidikan Islam, sebagaimana dibangun Ulil Amri Syafri, adalah kerangka pemikiran yang menempatkan pencarian makna sebagai inti pendidikan. Pendidikan adalah upaya menyeimbangkan potensi manusia—akal, ruh, dan rasa—sehingga ia berfungsi sebagai jantung peradaban. Hubungan antara akal dan wahyu harus berjalan saling menuntun, melahirkan pencarian kebenaran yang berakar pada petunjuk Ilahi.

Lebih dari teori, filsafat pendidikan Islam dipahami sebagai jalan hidup yang mengintegrasikan iman, ilmu, dan kemanusiaan dalam satu kesatuan nilai. Dari sini lahir orientasi pembaruan: bahwa pendidikan harus kembali kepada hakikatnya, yakni membentuk manusia yang utuh—beriman, berilmu, kritis dalam berpikir, beradab dalam bertindak, dan halus rasa dalam membangun relasi kemanusiaan.

Dalam konteks Nusantara, Ulil Amri Syafri melihat bahwa filsafat pendidikan Islam mendapatkan kekuatan khasnya bukan dari abstraksi, tetapi dari pengalaman sosial dan spiritual yang hidup dalam masyarakat. Tradisi surau, pesantren, relasi guru–murid, serta nilai adab yang mengalir dalam kehidupan intelektual menjadi sumber artikulasi filsafat yang dinamis. Karena itu, pemikiran pendidikan tokoh seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Syekh Abdullah Ahmad, A. Hasan Bangil, M. Natsir, dan lainnya—dalam perspektif Ulil Amri Syafri—harus dibaca sebagai ekspresi filsafat pendidikan Islam yang mengakar, bukan konsep yang terapung dalam ruang teori.

Dengan demikian, bagi Ulil Amri Syafri, filsafat pendidikan Islam adalah:
— ekspresi fitrah intelektual manusia,
— dialog akal dan wahyu,
— kerangka peradaban,
— dan jalan hidup yang membentuk manusia beradab

#ulilamrisyafri


13 November 2025

Pesan Pendidikan Perempuan saat ini

Mendidik anak perempuan bukan perkara mudah. Dunia pendidikan—baik di sekolah maupun di rumah—sering memperlakukan mereka secara berbeda, dan itu bukan tanpa alasan. Sejak masa kanak-kanak, perempuan membawa dinamika psikologis yang khas: kepekaan emosi yang lebih halus, kemampuan membaca situasi sosial yang lebih cepat, tetapi juga kerentanan yang membutuhkan bimbingan lembut dan bijaksana.

Ketika beranjak remaja, kompleksitas itu tumbuh: pencarian jati diri, kebutuhan untuk merasa dihargai, perubahan emosi yang lebih sensitif, serta dorongan untuk menemukan makna dalam hubungan dan lingkungan sekitarnya. Pada masa dewasa, perempuan memikul lapis-lapis peran—anak, istri, ibu, pendidik, pekerja, sekaligus penjaga keseimbangan rumah tangga—yang menjadikan dunia batinnya semakin dalam dan tak selalu mudah dibaca.

Karena itu, kehadiran perempuan adalah kelengkapan utama bagi kehidupan manusia: unik, istimewa, dan penuh kedalaman. Mereka bukan sekadar subjek pendidikan, tetapi fondasi psikologis dan moral bagi generasi yang akan datang.

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Rahmah al-Yunusiyah merupakan penghormatan besar bagi perempuan Indonesia. Mungkin ini juga pesan: bahwa menuju era keemasan 2045, bangsa ini membutuhkan perempuan yang dipahami, dihargai, dan dididik dengan sungguh-sungguh—bukan perempuan yang diabaikan atau disederhanakan.

Kepahlawanan Rahmah al-Yunusiyah menjadi cermin terang bagi perempuan masa kini yang hidup di tengah dua arus ekstrem: di satu sisi, banyak perempuan terseret ke dunia “hitam”—eksploitasi tubuh, kekerasan domestik, perundungan digital, hingga tekanan standar kecantikan yang merampas martabat; di sisi lain, perempuan juga menembus ruang-ruang kesuksesan—ilmuwan, pemimpin, pendidik, dan inovator—namun tetap dibayangi beban ganda, diskriminasi halus, serta tuntutan sosial yang tak pernah menepi. Dalam konteks itulah ketokohan Rahmah hadir sebagai kritik dan inspirasi: ia membuktikan bahwa keberhasilan perempuan bukanlah pengecualian, tetapi buah dari kesempatan, pendidikan, dan penghormatan terhadap martabat perempuan. Kepahlawanannya adalah pesan bahwa bangsa yang ingin maju tidak boleh membiarkan perempuan terperangkap di jurang kerentanan, tetapi harus menuntun mereka memasuki puncak potensinya—sebab dari tegaknya perempuan, tegak pula peradaban manusia.

Mengapa?

Karena perempuan adalah tiang peradaban. Jika tiang itu goyah atau roboh, maka runtuh pula keseimbangan manusia dan masa depan bangsa. 

#ulilamrisyafri

12 November 2025

Rahmah El Yunusiyyah: Kepahlawanan Pendidikan Indonesia (Habis)

 Maka, berhentilah memenjarakan perempuan muslimah hanya pada peran domestik semata. Kita sering mengagungkan kehebatan Aisyah ra. dalam sejarah, tetapi ternyata kurang cakap dalam memberikan ruang yang sama bagi wanita masa kini untuk meniti jalan dan jejaknya. Peran perempuan muslimah masih sering dibatasi pada "dapur, sumur, dan kasur". Bukankah itu ironi yang memerlukan perbaikan berpikir?

Rahmah El Yunusiyah. Sebagai seorang ulama perempuan, ia memadukan pendidikan modern dengan nilai-nilai keislaman. Rahmah mendirikan Diniyah Puteri pada 1923, sekolah khusus perempuan pertama di Asia Tenggara yang memberikan pendidikan agama sekaligus ilmu pengetahuan umum.

Rahma El Yunusiyah (1900–1969) adalah seorang tokoh pendidikan Islam yang berpengaruh, terutama dalam memajukan pendidikan bagi perempuan di Indonesia. Lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, ia merupakan anak bungsu dari lima bersaudara dalam keluarga ulama. Ayahnya, Syaikh Muhammad Yunus, adalah seorang qadhi dan ahli ilmu falak, sementara ibunya, Rafi’ah, berasal dari garis keturunan ulama Paderi.

Dalam salah satu kesempatan, Rahmah menyampaikan bahwa perempuan tidak hanya perlu dididik untuk menjadi ibu yang baik tetapi juga sebagai pemimpin di komunitas mereka. Ide ini menjadi dasar pendirian sekolah-sekolah perempuan yang ia kelola, yang menjadi model bagi pendidikan Islam modern di Sumatera Barat.

Kiprah Rahma tidak hanya di tingkat lokal tetapi juga internasional. Ia pernah diundang ke Al-Azhar, Kairo, untuk membahas pendidikan perempuan dan mendapat penghargaan gelar "Syekhah" sebagai pengakuan atas kontribusinya dalam pendidikan Islam. Gagasannya berpusat pada pentingnya pendidikan sebagai sarana pemberdayaan perempuan untuk mencapai kesetaraan dalam kehidupan sosial dan agama.

#RahmahElYunusiyah

Rahmah sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Ia menyatakan bahwa perempuan harus mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki, bukan hanya pendidikan dasar untuk memenuhi peran domestik. Pemikirannya ini dituangkan dalam usaha mendirikan Diniyyah Puteri, sekolah khusus perempuan yang mengintegrasikan kurikulum agama dan ilmu umum. Hal ini terlihat dari pernyataannya yang menyebutkan bahwa pendidikan perempuan adalah ‘jembatan untuk mempersiapkan generasi bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia’.

Sebagai tokoh perempuan Minangkabau, Rahmah menentang pandangan patriarki yang meremehkan kemampuan perempuan. Ia berpendapat bahwa perempuan sebagai penggerak perubahan dalam keluarga dan masyarakat, dan pendidikan adalah ibadah dan alat untuk mengangkat derajat perempuan.

Rahmah mengkritik norma tradisional yang membatasi akses pendidikan perempuan. Ia percaya bahwa melalui pendidikan, perempuan dapat keluar dari lingkaran ketidaktahuan dan memiliki kontribusi signifikan terhadap masyarakat. Ide-idenya ini kemudian menginspirasi pendirian pendidikan berbasis Islam yang lebih progresif bagi perempuan.

Ketokohan para perempuan hebat dalam sejarah mencerminkan eksistensi perempuan sesuai jamannya. Dalam sejarah Islam tua, sosok Aisyah ra. menjadi sumber keteladanan para perempuan dunia yang mampu menghidupkan dan merawat lentera cahaya ilmu, iman, dan amal di zamannya, namun tetap relevan dalam konteks sosial saat itu hingga akhir zaman.


 


Rahmah El Yunusiyyah: Kepahlawanan Pendidikan Indonesia (Part 1)

Pada 10 November 2025, #Rahmah ElYunusiyyah resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, mengikuti penghargaan yang sama untuk Syekh Kholil Bangkalan. Keputusan pemerintah ini merupakan penanda penting dalam sejarah pendidikan negara selain mengakui dua tokoh penting. Dua individu dari berbagai tradisi dan pendekatan filosofis sekarang berkumpul di satu panggung kehormatan: panggung perjuangan dan keilmuan anak negeri.

Syekh Kholil Bangkalan bukan nama asing dalam perjalanan sejarah Islam dan pendidikan Indonesia. Ia adalah guru KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari, dua tokoh besar pendiri organisasi Islam terbesar di negeri ini — Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama — yang lebih dahulu mendapat gelar Pahlawan Nasional. Kini, sang guru akhirnya menyusul murid-muridnya, sebuah simbol penuh makna bahwa ilmu dan keteladanan sejati tak lekang oleh waktu.

Sementara itu, nama Rahmah El Yunusiyyah memancarkan cahaya yang berbeda namun sama terangnya. Sosok perempuan Minangkabau ini bukan hanya pendidik, tetapi juga pembaharu, pendiri Madrasah Diniyah Putri Padang Panjang — lembaga pendidikan perempuan pertama di dunia Islam modern.

Sebagai Pahlawan Nasional, dia sangat istimewa karena jarang sekali wanita mendapatkan pengakuan sebesar ini. Beberapa tokoh laki-laki, seperti Syekh Sulaiman Ar-Rasuli dan Syekh Abdullah Ahmad, yang merupakan ulama besar dan tokoh pendidikan dan perjuangan, bahkan belum diakui walaupun sudah beberapa kali di ajukan di tanah kelahirannya, Sumatera Barat. Namun, Rahmah El Yunusiyyah kali ini melampaui dua tokoh yang sudah digadang-gadang sebelumnya. Adapun Syekh Abdullah Ahmad tercatat mentor bagi Rahmah El Yunusiyyah.

#ulilamrisyafri

Sumatera Barat memang tanah subur bagi lahirnya para pemikir dan pejuang bangsa. Dari ranah ini, lahir gagasan, semangat, dan perjuangan yang tak pernah padam demi kemajuan anak negeri. Rahmah El Yunusiyyah hadir melanjutkan api itu — dengan wajah lembut perempuan, namun jiwa sekeras baja seorang pejuang.

Penetapan Rahmah El Yunusiyyah menghadirkan arti baru tentang kepahlawanan: bahwa perempuan bukan pelengkap dalam sejarah bangsa, melainkan penentu arah dan penopang masa depan. Keberanian, visi, dan dedikasinya mengingatkan kita bahwa dari tangan dan hati perempuanlah lahir generasi unggul dan beradab.

Di tengah langkah Indonesia menuju Era Emas 2045, semangat Rahmah El Yunusiyyah terasa semakin relevan: bahwa di pundak perempuan Indonesia kini kita titipkan cita-cita bangsa — untuk melahirkan generasi tangguh, cemerlang, dan menyala dengan cahaya ilmu serta akhlak.


07 November 2025

Camping, yuk !

Yang unik dari Camping Madrasah Internasional  Technonatura 

Sistem camping ini memiliki beberapa hal yang menonjol. Yang pertama, struktur peran yang didasarkan pada usia dan tingkat kedewasaan pelajar. Siswa SMP di kelas 7 berpartisipasi dan bertindak sebagai ketua regu, siswa SMP di kelas 8 bertindak sebagai panitia penuh dari persiapan hingga pelaksanaan, dan siswa SMP di kelas 9 bertindak sebagai pengawas dan pendamping mentor bagi adik-adiknya. Ini bukan hanya pembagian peran administratif; ini adalah latihan kepemimpinan kontekstual yang dilakukan secara bertahap.

#ulilamrisyafri

Kedua, siswa kelas 8 harus membuat proposal kegiatan lengkap sebelum kegiatan dimulai. Proposal ini harus mencakup latar belakang, tujuan, dasar, jadwal, dan estimasi biaya. Survei lokasi, daftar logistik, pengaturan transportasi, dan pengelolaan dana sekolah semuanya dilakukan melalui sistem laporan keuangan yang transparan. Saat ini, integritas dan kecakapan manajemen yang jarang ditemukan di usia mereka muncul. Dalam masyarakat pendidikan yang kecil, siswa ini seolah-olah berlatih menjadi masyarakat sipil.

Ketiga, empat dimensi kecerdasan dibangun melalui kegiatan lapangan selama tiga hari. Spiritual Quotient (SQ) adalah kesadaran tadabbur alam dan tafakur yang melatih rasa kehadiran Allah di antara ciptaan-Nya; Emotional Quotient (EQ) adalah pembentukan karakter seperti sabar, berani, bekerja sama, dan berempati; dan Intelligence Quotient (IQ) adalah penerapan pengetahuan teknis dan ilmiah dalam situasi nyata seperti mendirikan tenda, mengatur makanan, dan sebagainya. Physical Quotient (PQ) yaitu ketahanan tubuh dan ketangguhan mental melalui aktivitas alam yang menuntut keseimbangan antara tenaga dan pikiran.

Keempat, Selain itu, kemampuan siswa untuk membuat dokumen formal, mengelola dana, dan mengatur acara lintas jenjang termasuk untuk adik-adik Sekolah Dasar (SD) menunjukkan bahwa budaya kerja sistemik telah terinternalisasi di madrasah. Mereka bekerja karena rasa tanggung jawab kolektif daripada arahan. Di sini terlihat benih-benih kebiasaan sipil, yaitu kebiasaan hidup yang teratur dan teratur yang membangun ketahanan fisik dan kekuatan mental melalui aktivitas alam yang membutuhkan keseimbangan antara tenaga dan pikiran.

Observasi lokasi oleh mereka, menunjukkan pertimbangan yang teliti dan sistematis, termasuk luas parkiran yang dapat menampung sebelas truk besar, kualitas fasilitas seperti mushalla dan toilet, serta faktor keamanan, kebersihan, dan daya dukung lingkungan sekitar. Mereka membuat pilihan berdasarkan proses belajar berbasis rasa dan tanggung jawab kolektif, bukan hanya keputusan teknis. Para pelajar tidak hanya melihat, tetapi mereka juga menimbang nilai dan konsekuensi dari setiap keputusan yang mereka buat. Hal ini menunjukkan keberhasilan pendidikan yang mengasah kecerdasan praktis (al-‘aql al-‘amali). Dalam istilah Ibnu Khaldun disebut ʿaql al-madani, sekaligus moralitas dalam bertindak (al-‘aql al-akhlaqī), yaitu dua dimensi yang menjadi ruh dari pendidikan sejati.

Sukses untuk para pelajar hebat, teruslah jadi insan pembelajar !

#ulilamrisyafri

06 November 2025

Pemikiran Pendidikan Ulil Amri Syafri (Part 2 habis)

Al-Qur'an menjadi sumber inspirasi utama dalam seluruh pertimbangannya dan gagasannya.  Ayat-ayat Tuhan, yang berbunyi, “Wa laqad karramnā banī Ādam” (QS. Al-Isra: 70)—“Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak cucu Adam,” mengajarkan Ulil Amri Syafri tentang nilai-nilai pendidikan.  Dari ayat ini, ia meletakkan dasar gagasan bahwa pendidikan adalah upaya untuk memuliakan manusia, menjaga fitrah ilahiah, dan menanamkan rasa tanggung jawab moral. 

#ulilamrisyafri

 Pokok-pokok Pemikiran Pendidikan Ulil Amri Syafri.

 1. Pendidikan sebagai Penjaga Fitrah dan Pengembang Potensi.

Ulil Amri mengatakan bahwa pendidikan harus dilakukan dalam dua arah: "Himāyatul fiṭrah wa tanmiyatul mawāhib." Dengan kata lain, pendidikan harus menumbuhkan kreativitas, rasa ingin tahu, dan bakat insani untuk membuat orang menjadi individu yang bermanfaat, bukan mengikis kemurnian hati dan akal.  Ia percaya bahwa pendidikan dapat membantu memajukan potensi kemanusiaan dan mempertahankan fitrah yang murni.

2. Pendidikan Berbasis Adab dan Rasa

Ulil Amri Syafri mengatakan bahwa adab adalah dasar peradaban. Ia menolak paradigma pendidikan modern yang hanya mengukur keberhasilan dari hasil kognitif. Dia percaya bahwa pendidikan yang benar harus mencapai dimensi qalb, atau hati dan rasa. “Kematangan budi dan kehalusan adab kini dikesampingkan, padahal di situlah letak kemuliaan manusia.” Adab bukan sekadar etika sosial, tetapi kehalusan batin yang memancar dari kesadaran spiritual dan tanggung jawab moral.

 3. Kritik terhadap 'Pendidikan bukan-bukan,

Ulil Amri menegaskan dalam bukunya "Pendidikan Bukan-Bukan" bahwa sistem pendidikan nasional telah kehilangan nilai kemanusiaan dan kejujuran. Ia menunjukkan bahwa siswa didorong untuk mengejar status dan gelar tetapi mengabaikan moralitas, kesantunan, dan tanggung jawab sosial. "Wahai pelajar, jangan menjadi koruptor di masa depan.  Jaga moralitas Anda, karena orang bodoh dapat menghancurkan negara." Buku ini berfungsi sebagai seruan moral untuk memastikan bahwa pendidikan tidak menghasilkan generasi cerdas yang tidak bermoral, tetapi orang-orang yang berilmu dan berakhlak. 

#ulilamrisyafri

 4. Pendidikan sebagai Peradaban.

Menurut Ulil Amri, pendidikan dan peradaban adalah satu dan sama.  Sistem pendidikan yang berjiwa, berkarakter, dan berpijak pada nilai-nilai budaya bangsa menciptakan peradaban. Karenanya ia menghubungkan pemikiran tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, Mbah Hasyim Asy‘ari, dan ulama-ulama lokal Nusantara sebagai pilar konseptual untuk membangun “Peradaban Pendidikan Nasional.”

 5. Nasionalisme dan Kearifan Lokal.

Bagi Ulil Amri, nasionalisme yang tumbuh dari pendidikan bukanlah nasionalisme sempit, melainkan nasionalisme kultural dan spiritual.  Cinta tanah air, dalam pandangannya, bersumber dari kesadaran akan anugerah Tuhan yang termanifestasi dalam budaya, bahasa, dan nilai-nilai luhur bangsa. Ia mendorong agar pendidikan karakter di Indonesia berakar pada kearifan lokal dan nilai-nilai religius.

 6. Pendidikan sebagai Dialog Hati dan Ilmu.

Ulil Amri menekankan pentingnya "kedekatan hati" antara guru dan murid dalam praktik dan pandangan filosofisnya.  Dia percaya bahwa pendidikan adalah percakapan langsung antara orang-orang dan bukan sekadar penyebaran pengetahuan.  Guru bukan hanya penyampai pelajaran; mereka adalah pembimbing jiwa.  Relasi itu harus dilandasi kasih, keikhlasan, dan penghormatan timbal balik — sebagaimana nilai-nilai yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan tradisi para ulama terdahulu.

Pemikiran pendidikan Dr. Ulil Amri Syafri menampilkan sintesis antara spiritualitas Qur’ani, kebudayaan lokal, dan visi kebangsaan.  Ia menawarkan arah baru bagi pendidikan Indonesia: pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan akal, tetapi juga menyucikan hati; pendidikan yang tidak sekadar menghasilkan tenaga kerja, tetapi melahirkan manusia yang beradab, merdeka, dan berjiwa bangsa


Pemikiran Pendidikan Ulil Amri Syafri (Part 1)

Dalam arus modernitas dan kemajuan teknologi yang cepat, pendidikan sering terjebak dalam batas-batas pemahaman kecil: nilai ujian, ijazah, dan produktivitas ekonomi.  Orang diajarkan untuk bekerja, bukan untuk menjadi manusia yang sebenar-benar manusia.  Dalam konteks ini, Dr. Ulil Amri Syafri — sebagai seruan moral dan intelektual — menegaskan bahwa pendidikan adalah jalan kemanusiaan, jalan menjadi manusia sejati, bukan sekadar mekanisme pasar. Menurutnya, pendidikan adalah taman jiwa, tempat fitrah manusia dilindungi dan potensinya dikembangkan.  Ia menganggap pendidikan sebagai lembah dari peradaban, sebuah proses yang berkelanjutan yang menumbuhkan rasa, menanamkan adab, dan mengokohkan nilai-nilai kemanusiaan hingga mereka berakhlak mulia. Ia menolak industrinisasi pendidikan dan menegaskan bahwa rasa dan akhlak adalah dasar pendidikan. Ilmu dan kemajuan industri itu boleh, tapi berdiri di atas rasa, adab dan budaya yang tinggi bukan semata nilai materealisme, ini sesungguhnya yang unik konsep pendidikan Indonesia yang tak terbaca utuh selama ini.

Teorinya berasal dari keprihatinan yang mendalam tentang tujuan pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara, yang seharusnya memupuk moralitas, kebebasan berpikir, dan tanggung jawab nasional.  Ia percaya bahwa tugas pendidikan adalah menjaga keseimbangan antara kecerdasan dan kebajikan, kemajuan dan kemanusiaan, dan ilmu dan hati. Gagasan Ulil Amri ini lebih dari sekadar teori; itu adalah panggilan spiritualitas dan kebangsaan untuk memastikan bahwa institusi pendidikan tidak kehilangan ruhnya, guru tidak kehilangan kemuliaannya, dan siswa tidak kehilangan jati dirinya.  Untuk mewujudkan individu yang berakhlak mulia, merdeka, dan berjiwa bangsa, ia mendorong bangsa ini untuk kembali ke hakikat pendidikan sejati, yaitu pendidikan yang menjaga fitrah (ḥimāyatul fiṭrah) dan mengembangkan potensi (tanmiyatul mawāhib). 

#ulilamrisyafri

Pendidikan Membutuhkan Islamic Worldview?

Pendidikan yang dibangun dalam kerangka Islamic Worldview memiliki landasan yang kuat, sebab kerangka tersebut mengarahkan kita untuk melihat setiap aspek kehidupan—termasuk pendidikan—dari perspektif yang menyeluruh, yang memadukan nilai-nilai dunia dan akhirat, serta meletakkan iman sebagai dasar tindakan. 

Islamic Worldview (Paradigma Islam) adalah cara pandang yang berdasarkan pada prinsip-prinsip ajaran Islam dalam memahami segala aspek kehidupan. Ia mencakup cara berpikir dan bertindak yang berlandaskan pada akidah (keyakinan dasar dalam Islam) dan ajaran Islam secara umum, dengan orientasi yang memadukan dunia dan akhirat. Paradigma ini mencakup cara pandang terhadap kehidupan manusia, alam semesta, masyarakat, kemajuan, nilai-nilai moral, dan hubungan manusia dengan Tuhan serta sesama. Dalam Islamic Worldview, segala sesuatu di alam  dilihat sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki tujuan dan keteraturan, termasuk akal manusia, ia adalah karunia Ilahi yang saling memadu fungsi dan keterkaitannya dengan wahyuNya.

Hadirnya Islamic Worldview terletak pada kemampuannya untuk memberikan landasan yang komprehensif bagi seseorang dalam menghadapi berbagai realitas hidup, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Hal ini melibatkan pemahaman terhadap tema-tema besar seperti kebahagiaan, prestasi, kemuliaan, kejujuran, beradab, kebudayaan, kematian, maksiat, dan agama itu sendiri.

Dalam konteks di atas, Islamic Worldview mengarahkan individu untuk berpikir secara kritis dan beradab dalam artian terstuktur, runut, sistimatis dan dapat dipertangungjawabkan sebagai ilmiyah, dengan landasan pada fiqh teks, fiqh waqi', sunnatullah, dan fiqh awliyat—yang kesemuanya ini berfokus pada pemahaman terhadap wahyu, hukum alam, dan kehidupan manusia dalam dimensi religus dan budaya yang luas.

Islamic Worldview memberikan landasan yang kokoh untuk membangun sistem pendidikan yang berakar pada nilai-nilai Islam. Hal ini mencakup:

Pertama, Konsep Tujuan Pendidikan: Mencapai keseimbangan antara kebahagiaan dunia dan akhirat. Membentuk insan yang bertakwa, berilmu, dan berakhlak mulia, meskipun alam modernitas terus menerpa rancangan tujuan pendidikan yang beralih kepada matrealisme.

Kedua, Kurikulum: Mengenalkan materi yang bersifat pengetahuan yang luas agar terhubung kepada kebudayaan ilmu dalam budaya Islam kemudian berikutnya memberi pengetahuan yang disertakan pelatihan pengembangan potensi diri.

Ketiga, Model dan Proses Pembelajaran: Menanamkan nilai-nilai Islam melalui keteladanan dan pembiasaan. Menggunakan pendekatan integratif yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Keempat, Evaluasi: Mengukur pencapaian siswa tidak hanya pada aspek akademik, tetapi juga akhlak dan keberagamaan. Menggunakan indikator yang sesuai dengan nilai-nilai Islam

Namun, untuk benar-benar menginternalisasi Islamic Worldview dalam proses pendidikan dan kehidupan sehari-hari, seorang muslim harus memperkuat literasi Islamis dan kemampuan berpikir kritis.

Literasi Islamis di sini berarti pemahaman yang mendalam terhadap ajaran-ajaran Islam, termasuk pemahaman terhadap Al-Qur'an, Hadis, serta fikih, akhlak, dan sejarah Islam. Sedangkan untuk mengembangkan Islamic Worldview yang efektif, seorang Muslim harus mampu berpikir kritis, yakni kemampuan untuk mengevaluasi informasi, analisis, dan situasi berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang terkandung dalam wahyu ilahi dan Sunnah, serta atas bimbingan dan sudut pandang ulama yang kompeten.

#ulilamrisyafri

Berpikir kritis memungkinkan individu untuk tidak hanya menerima apa adanya, tetapi juga untuk mempertanyakan, merenung, dan mengkritisi sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam dan sesuai kemerdekaan fungsi akal dan kemuliaannya. Tanpa dua hal tersebut maka Islamic Worldview tak akan berwujud pada individu muslim itu sendiri.

Manfaat Islamic Worldview dalam Pendidikan antara lain Pembentukan Karakter Islami tidak kehilangan identitas, Pengembangan Potensi Manusia secara natural sesuai tujuan hidup manusia, Keselarasan Ilmu dan Agama, serta lahirnya profil bijaksana dalam Pengambilan Keputusan melalui latihan siswa untuk berpikir kritis dan adil, dalam artian bersikap dan berpihak pada kebenaran yang telah ditemukan bukan hanya berdasar emosional. Dengan demikian, Islamic Worldview dalam pendidikan sangat penting sebagai identitas. Ia menanamkan tujuan hidup yang lebih tinggi, lebih mendalam, dan lebih mengarah kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. #ulilamrisyafri #pendidikanbukanbukan #gurumanusia

Pendidikan & Akal Manusia

Bagi Ibnu Khaldun, ide pemikiran manusia harus mengarah pada kemaslahatan bersama, bukan sekadar memuaskan ego atau naluri dasarnya. Dalam hal ini, Imam Al-Ghazali mengatakan, "Kalaulah tidak karena pendidikan, maka manusia itu seperti bahā’im (binatang ternak)." Ini adalah kritik tajam terhadap sifat dasar manusia yang tanpa pendidikan akan kembali pada naluri hewani—hidup hanya untuk memenuhi hawa nafsu, tanpa rasa malu dan tanpa arah moral.
#ulilamrisyafri

Ali Abdul Halim Mahmud, ulama tersohor al-Azhar Mesir, pernah menulis topik penting tentang ‘pendidikan akal’. Pendidikan akal yang dimaksud adalah mengarahkan, menghargai, membebaskan, atau memerdekaan akal dari penyimpangan, serta menjaganya dari hilangnya kemuliaan. Pendidikan akal manusia dilakukan agar bisa menuju pada derajat yang terbaik (ahsanul mustawa).

Lebih jelas disampaikan Ali Abdul Halim Mahmud bahwa pendidikan akal memiliki tujuan, antara lain membiasakan akal berkembang dan mendapatkan pencerahan, mengokohkan akal berpikir secara saintis, hingga tidak dipenuhinya pikiran dengan khurafat dan hawa nafsu; kemudian membebaskan akal tapi juga merawatnya, seperti adanya ruang bagi akal untuk berijtihad, menolak taklid buta, dimubahkan melakukan kritik, bahkan juga mubah untuk berbeda pendapat. Ini semua berfungsi untuk menghargai akal tersebut, sekaligus menegaskan posisi akal dalam kehidupan dan memberi ruang pada akal untuk bermusyawarah pada perselisihan. Hal itu semua menjadi bagian dari proses pendididikan untuk akal. Berbeda dengan pandangan filsuf Barat seperti Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa "manusia adalah serigala bagi manusia lainnya" (homo homini lupus), Ibnu Khaldun justru memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi luhur. Naluri memang ada, bahkan tak jarang manusia berperilaku seperti binatang—membunuh, menyakiti, dan merusak. Namun, manusia diberikan akal sebagai penuntun untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Di sinilah pendidikan memainkan peran krusial. Pendidikan membimbing manusia untuk mengendalikan nafsu dan memaksimalkan potensi berpikirnya. Ini ada kemiripan dengan teori Plato (w. 347 SM) yang mengatakan bahwa rasio bertugas mengendalikan roh dan nafsu agar ketiganya selaras. Dengan demikian, argumen Ibnu Khaldun dan Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa manusia bukan sekadar makhluk berpikir seperti yang diyakini René Descartes, melainkan makhluk yang memiliki akal, yang kecerdasannya diproses melalui pendidikan, agar mencapai martabat yang sebenarnya.

#ulilamrisyafri



01 November 2025

Guru: Retaknya Ekonomi & Kehormatan?

Pendidikan adalah fondasi peradaban. Kalimat ini sudah lama disepakati secara ijma'. Namun fondasi itu kini retak bukan karena kurangnya teknologi, melainkan karena lunturnya martabat guru. Krisis pendidikan Indonesia bukan terletak pada sarana digital, tetapi pada pergeseran nilai yang menempatkan guru hanya sebagai pelaksana kurikulum, bukan penuntun akal dan pembimbing jiwa.

Guru terjebak di banyak hal: birokrasi yang kaku hingga para guru terpenjara jiwanya oleh tuntutan birokrasi; Berlanjut pada beban administrasi yang menyesakkan, bahkan setingkat guru pun ada kewajiban publikasi ilmiah. Padahal tugas mendidik saja sudah amat berat. Kesejahteraannya jauh dari layak. Belum lagi ketimpangan distribusi guru, minimnya pelatihan bermakna, dan pudarnya penghargaan sosial; semua itu telah melahirkan generasi pendidik yang lelah dan kehilangan ruh kemanusiaan.

Akibatnya, pendidikan kehilangan arah esensi dan moral. Melenceng dari harapan Bapak Pendidikan kita, Ki. Hajar Dewantara. Sekolah kini lebih sibuk mencetak tenaga kerja daripada membentuk manusia beradab, manusia yang sanggup menciptakan peradaban yang adil, makmur, dan kelak bisa hidup sejatera dan harmonis masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, wacana mengembalikan guru kepada makna pamong adalah keniscayaan, yakni sosok penuntun yang tidak hanya mengajar, tetapi membimbing, mengasuh, dan menumbuhkan manusia agar mengenal dirinya, lingkungannya, dan Tuhannya.

Pamong adalah wajah sejati guru: menuntun dengan kasih, menegur dengan hikmah, dan mendidik dengan keteladanan. Dalam makna pamong inilah, guru menjadi jiwa dari pendidikan itu sendiri — bukan semata pengisi kurikulum, apalagi menempatkan diri hanya bekerja yang mendapatkan upah, tentu tidak! Pamong adalah penjaga kehidupan dan peradaban bangsa di setiap detik pengabdiannya.

Dalam pandangan Islam, pembaruan pendidikan yang sejati harus dimulai dari pengembalian maqām guru ke posisi aslinya: penjaga fitrah, pewaris nilai kenabian, dan penuntun jiwa bangsa. Guru bukan sekadar pengajar materi, tetapi perancang peradaban yang menanamkan adab, akal sehat, ilmu dan integritas moral. Negara harus menegakkan kembali martabat guru dengan kebijakan yang adil — kesejahteraan yang memanusiakan, pembinaan profesional berkelanjutan, serta ruang otonomi moral dan intelektual yang bebas dari tekanan politik dan birokrasi.

Karena itu, gerakan dan tuntutan guru hari ini tidak boleh berhenti pada soal kesejahteraan, tetapi harus diarahkan pada pemulihan wibawa dan martabat maqām guru yang telah lama direduksi. Sebab guru tidak boleh retak di dua sisi — ekonomi dan kehormatan. Bila salah satu rapuh, maka pilar peradaban bangsa akan ikut runtuh di satu abad Indonesia merdeka 2045. by: #Ulilamrisyafri

14 August 2025

Inyiak Daud Rasyidi, Ulama Adab dan Budaya

Balingka adalah kampung yang indah dan sejuk—terhampar di pelukan bukit dan Gunung Singgalang, ditenun kabut pagi, dan disiram cahaya kenangan.Tanah ini menyimpan sejarah besar dan jejak-jejak kebijaksanaan yang nyaris terlupakan. Di desa kecil ini, konon pernah hadir bapak angkat dan guru jiwa Tan Malaka (1897–1949), tokoh revolusioner yang kelak mengguncang dunia dengan pemikirannya. Balingka bukan sekadar titik di peta, melainkan pelataran sunyi tempat tumbuhnya kesadaran, keberanian, dan cinta tanah air.

Salah satu sosok agung dari tanah ini adalah Inyiak Haji Daud Rasyidi rahimahullah—ulama kharismatik, penyulam adab, guru ruhani, dan pemelihara budaya tinggi. Ia dikenal sebagai guru dari sang guru jiwa Tan Malaka, sekaligus penjaga nilai yang menerangi zamannya.

Buku Inyiak Daud Karya Dr, Ulil Amri Syafri
Pada 1895, beliau berguru kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860–1915), Mufti Syafi‘i di Tanah Haram dan guru dari tokoh-tokoh besar seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy‘ari, dan Inyiak Haji Sulaiman Ar-Rasuli (PERTI)—para peletak dasar perjuangan Islam di Nusantara. Persahabatannya dengan Syekh Tahir Jalaluddin, sepupu Ahmad Khatib sekaligus tokoh pembaru Islam di Malaysia, memperluas cakrawala keilmuannya. Ia juga menjalin hubungan erat dengan ayahanda Buya HAMKA, serta bersinergi dengan Syekh Djamil Djambek dalam perjuangan dan dakwah.

Tak hanya melalui kitab dan mimbar, Inyiak Daud juga memberi sentuhan ruhani kepada Syekh Adam BB, pendekar silat yang berubah menjadi ulama dan pendakwah. Dari garis keluarganya lahir pula Muchtar Luthfi (1900–1950), murid didikannya yang menjadi pejuang gigih hingga dibuang ke Tanah Merah Digul bersama H. Jalaluddin Thaib. Sementara dari rahimnya sendiri lahir Buya Datuk Palimo Kayo, sahabat Buya HAMKA dan Mohammad Natsir, yang juga tumbuh dalam cahaya didikannya.

Inyiak Daud tak hanya mendidik, ia membentuk pribadi-pribadi merdeka—berpikir tajam, berhati jernih, dan berjiwa pemberani. Jejak langkahnya masih menyuburkan tanah Balingka hingga kini—bagai akar halus yang menyalurkan ruh pengabdian, ilmu, dan adab kepada generasi demi generasi.
Ia bukan sekadar ulama kampung, tapi penjaga nyala peradaban, dari tangannya ruh kebaikan mengalir luas: kepada santri, pendekar, pejuang, hingga tokoh bangsa

 #DrUlilAmriSyafri #InyiakDaudRasyidi #UlamaMinangkabau