Belajar Bahasa Inggris
Para pelajar Muslim Cendekia Madani belajar bahasa Inggris langsung dengan native speaker.
Keberangkatan Alumni Belajar di Al-Azhar University Cairo
Para pelajar Muslim Cendekia Madani bersama-sama mengantar alumni yang diterima kuliah di Al-Azhar University Cairo.
Going To Al-Azhar University
Para pelajar Muslim Cendekia Madani sedang mengantarkan salah seorang alumni yang diterima di Al-Azhar University.
Bermain Futsal
Para pelajar Muslim Cendekia Madani sedang bermain futsal.
Berpetualang di Jungle Land
Para pelajar Muslim Cendekia Madani sedang berpetualang sambil belajar di Jungle Land, Sentul City.
Kunjungan Rombongan Cikgu dari Singapura
Rombongan dari Singapura, staff pembina dan para siswa Muslim Cendekia Madani - Islamic Boarded Home Schooling.
Belajar bahasa Arab di alam
Para siswa Muslim Cendekia Madani sedang belajar bahasa Arab di alam terbuka.
Belajar Bahasa Arab
Para siswa Muslim Cendekia Madani - Islamic Boarded Home Schooling belajar Bahasa Arab.
16 December 2021
08 December 2021
Gagasan Pemikiran Pendidikan A. Hassan vs Nadiem Makarim

MERDEKA BERPIKIR vs MERDEKA BELAJAR*
Berbicara judul di atas, terkesan dipaksakan. Ya, begitulah aromanya. Tapi bila kita telusuri pemikiran para tokoh Islam masa lampau dalam konteks pendidikan dan pengajaran—termasuk dari Tuan Guru A. Hassan (1887-1958), maka tampak ada signal gagasan yang menuju pada titik yang serupa, meskipun tak sama.
Demikian pula jika menelisik istilah ‘merdeka’ yang dilakukan oleh Ki. Hajar Dewantara (1889-1959) dalam menggerakan mimpi Pendidikan Nasional jauh sebelum negeri ini merdeka. Maka pemaknaan itu tidak saja dalam tataran proses dan sistem Pendidikan, tapi juga ada sebuah pengharapan bahwa negeri ini pada satu waktu nanti akan merdeka dari penjajahan. Sebab merdeka pada masa itu bukan saja menjadi harapan dan mimpi para kaum cerdik pandai saja, tapi juga kerinduan seluruh masyarakat dan bangsa ini. Salah satu pemaknaan merdeka itu adalah berkaitan dengan sistem diskriminasi pendidikan era kolonial. Melihat kondisi anak negeri saat itu yang hidup dalam kemisikinan, pas-pasan, jangankan bermimpi akan dapat pendidikan layak masa itu, membayangkan pergi ke sekolah saja belum terlintas dalam pikiran.
Pendidikan masa itu memang sangat elitis. Sekolahan ‘hebat’ masa itu harus selalu ada embel-embel Bahasa Belanda dan diperuntukan bagi kelas masyarakat tertentu saja. Terasa kata Merdeka ketika itu—bila dikaitkan pada dunia pendidikan—amat sangat berarti dan bermakna dalam. Bahkan ada juga tokoh muslim yang ‘terimbas’ gelombang dengan pendidikan modern gaya Belanda, lalu ia mendirikan Adabiyah School (1916) untuk anak-anak pribumi. Padahal sistem dan pendidikan yang dihadirkan di Nusantara seperti HIS, menurut Dr. Soetomo, lebih seperti racun bagi bangsa ini (Mihardja, 2008: 77). Maka, mungkinkah kata-kata merdeka bermakna terbebas dari racun yang dimaksud.
Terkait dengan judul di atas, apa signal gagasan yang menuju pada titik yang serupa walaupun tak sama versi A. Hassan dan Nadiem Makarim? Setidaknya ada dua yang paling mendasar pada aktivitas pendidikan dan pengajaran. Pertama, topik Guru dan kedua, metode atau proses Pengajaran.
A. Hassan memaknai guru sebagai berikut, “tiap-tiap orang yang mengajarimu sesuatu ilmu, maupun dari bangsamu atau bukan, se-agama denganmu atau tidak, itu dinamakan gurumu. Oleh sebab ilmu dan pelajaran yang diajarkan di tempat-tempat pelajaran ada bermacam-macam: guru mengaji, guru agama, guru Bahasa, guru pertukangan, guru pesawat, guru jentera, guru obat-obatan, guru undang-undang, guru pertanian, guru perdagangan, dan lain-lain,” (A. Hassan, 2020: 5). Lebih lanjut dikatakannya bahwa setiap orang tidak akan belajar satu saja ilmu, maka logis jika seseorang akan menjadi murid dari banyak guru-guru. Maka proses pembelajaran dilakukan terhadap banyak guru, tidak terbatas, namun sesuai kebutuhan pelajar.
Sedangkan terkait dengan proses dan teknik Pengajaran bagi A. Hassan adalah melalui kemerdekaaan berpikir. Sebagai contoh pada proses pembelajaran pemahaman hukum Islam di lembaga yang didirikan, oleh A. Hassan diibaratkan ‘membuat roti’. Siapa yang lebih paham cara membuat roti, ia akan menghasilkan roti yang lebih baik. “Yang diajarkan kepada para santri dalam interaksi dengan ilmu-ilmu itu bagaikan ‘membuat’ roti, bukan hanya cara memakan roti.” Hanya saja proses pengajaran tersebut tidak hanya berkenaan dengan ilmu-ilmu sains, tapi juga diimplementasikan dalam proses ilmu-ilmu agama. Proses dan pengajaran semacam ini amat memberi ruang diskusi, dialog, belajar secara kalaborasi dan tim, bahkan debat antara pelajar, juga tentunya melibatkan guru dalam diskusi dan pencarian pemahaman suatu kesimpulan ilmu pengetahuan. Maka dalam proses pengajaran yang terjadi muncul kesimpulan bahwa memahami ajaran agama bukan sekedar berdasar pada teks-teks agama, apalagi hanya sekedar tagline al-Quran dan Hadis, namun harus juga dilengkapi dengan perangkat metodologi guna mehamaminya, sehingga menghasilkan produk ilmu dan pemahaman keislaman yang sempurna, serta jauh dari kesalahan dan merusak. Proses pembelajaran yang cenderung menggunakan pendekatan analisis dan penelitian ini, biasanya tidak bermula dari titik pendapat salah satu mazhab, tapi dari dalil dan beberapa analis ulama, meskipun pada akhirnya pendapat yang dihasilkan bisa jadi sama dengan salah satu ulama mazhab.
Inilah contoh merdeka berpikir pada proses pengajaran fikih. Cara pengajarannya lebih cenderung mendidik dan melatih pelajarnya dengan teknik pendekatan yang dilakukan oleh para peneliti, yaitu meneliti bagaimana proses hukum itu ditetapkan. Diharapkan cara tersebut dapat membiasakan para pelajar dalam menghadapi soal-soal, termasuk topik-topik dan soal keagamaan, memiliki sifat analisis dan kritis.
Pada implementasi di level tertentu, dalam pembelajaran fikih yang terkait ayat al-Qur’an dan Hadis misalnya, prosesnya diawali dengan pembekalan ilmu-ilmu dasar, yaitu ilmu Bahasa Arab, usul fikih, ilmu mantik dan ilmu Hadis. Hukum fikih dalam proses pembelajaran tersebut bukan semata pada konteks fikih murni, tapi lebih pada fikih hadis yang dapat melahirkan hukum. Sebab jika hanya pada kajian hukum fikih semata, berarti yang mesti dibahas adalah hukum fikih menurut imam-imam mazhab.
Jika melihat proses pembelajaran ini, penulis teringat pada ungkapan indah dari Prof. Zuhal, Menteri Riset dan Teknologi era kabinet Reformasi Pembangunan) yang juga cucu dari A. Hassan, ketika memberikan sambutan dalam satu acara di pesantren kakek beliau di Bangil Jawa Timur. Beliau berkata, “ada kesamaan antara kita, kalau saya menghitung angka, maka kalian menghitung kalimat”.
Adapun era sekarang, terlebih di saat pendidikan di dunia termasuk Indonesia dihempaskan oleh gelembang pandemi, maka yang paling terdampak adalah proses pengajaran dan termasuk di dalamnya peran dan eksistensi seorang guru. Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim sejak bertugas di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sudah mencoba melihat pendidikan di negeri ini dengan cara dan kaca mata yang berbeda. Tentunya yang dimaksud bukan sekedar tampil beda, tapi lebih utamanya adalah menanamkan harapan agar generasi Indonesia masa depan berwujud unggul sesuai dengan kondisi jaman.
Pada gagasan perubahan dan reformasi pendidikan, beliau mengunakan istilah merdeka belajar. Merdeka belajar ini bukan pepesan kosong, tapi diisi dengan ide dan kebijakan pendidikan nasional, termasuk di dalamnya merevisi yang dianggap bermasalah selama ini. Maka istilah merdeka belajar bisa saja terinspirasi dengan kata-kata yang sama pada masa dahulu kala, hanya substansi yang diinginkan pada kebijakan masa kini banyak perbedaan, karena era dan masalah yang dihadapi pun tak semuanya sama.
Hingga saat ini, penjelasan konsep merdeka belajar gagasan Mas Menteri sudah berada pada edisi keempat belas, yaitu yang berkenaan dengan merdekanya kampus dari kekerasan seksual. Adapun yang berkenaan dengan kontek Guru sekaligus merubah filosofis pengajaran berada pada edisi kelima, yaitu Guru Penggerak.
Pada konsep guru pengerak, capaian utama adalah terwujudnya generasi unggul yang muncul dari profil pelajar Pancasila, yaitu: 1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak Mulia; 2) Kreatif; 3) Bergotong-royong; 4) Berkebinekaan Global; 5) Bernalar Kritis; 6) Mandiri.
Bagi Nadiem Anwar Makarim, posisi guru hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu. Karena tidak jaman lagi melihat kemampuan guru hanya dari kompetensinya. Guru merdeka esensinya bagi dunia pendidikan adalah mereka yang bisa memberdayakan dirinya sekaligus memberdayakan para pelajarnya. Mereka wujud dari guru-guru inspiratif. Di era beliau, kebijakan yang berkenaan dengan guru menjadi titik penting, termasuk menyentuh masalah yang lawas di kementerian tersebut, yaitu masalah guru honorer. Bagi Mas Menteri, pendidik honorer tetap memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi guru ASN dengan melalui seleksi PPPK 2021.
Namun, permasalahan guru tidak saja berkaitan dengan kesejateraan mereka, tapi juga terhubung dengan peningkatan kualitas mereka sebagai ujung tombak pendidikan. Dengan beberapa kebijakan terkait guru, penulis punya pemikiran yang sama, bahwa sebaik apapun sistem pendidikan, kurikulum dan metode, maka yang menentukan di lapangan adalah guru-guru yang tersedia. Dalam hal ini, proses pembelajaran dan pendidikan secara umum di NKRI mesti berpihak pada anak didik atau murid, bukan sekedar kejar target, apalagi mengejar kognitif seperti selama ini terjadi.
Dalam buku Pendidikan bukan-Bukun yang penulis tulis, dijelaskan setidaknya ada tujuh poin opini kritik pada dunia pendidikan nasional, termasuk pendidikan Islam yang selama ini hadir dalam masyarakat, satu poin yang penting itu adalah berkenaan tentang guru, “Bagaimanapun juga, jika para pendidik melakukan pengajaran dan proses pendidikan bukan karena panggilan jiwa, maka tidak akan banyak bermanfaat untuk memajukan dan menguatkan pendidikan di NKRI yang hampir ratusan tahun tertinggal” (Syafri, 2021:39).
Dalam prakteknya, para guru haruslah tenaga-tenaga yang terampil karena berhadapan langsung dengan para tunas-tunas baru, calon manusia terdidik. Maka, sebaik apapun konsep pendidikan yang ada, mereka para gurulah yang menentukan hasil di lapangan. Apa jadinya bila dari mereka banyak karena ‘kebetulan’ jadi guru dan dosen?
Penulis sangat mendukung bila eksistensi guru difokuskan utamanya pada proses pengajaran dan selalu menginspirasi dalam mendampingi tumbuh kembangnya anak didik secara baik. Guru tidak lagi dibebani tugas-tugas administrasi yang membuat berat dan menguras waktu mereka yang seharusnya bersama pelajarnya atau merancang proses pembelajaran untuk hari esok dan seterusnya. Penulis juga sangat mendukung bila Mas Menteri Nadiem juga melirik masalah yang dihadapi tidak saja oleh guru-guru di satuan pendidikan, tapi juga dosen-dosen Universitas dan Perguruan tinggi di negeri ini. Kampus memang punya agendanya yang dikenal dengan Tridarma Perguruan Tinggi, tapi sudah beberapa tahun ini dosen selalu dituntut dan dikejar-kejar efek kebijakan yang berkait dengan publikasi ilmiah dengan standar yang aneh bin ajaib. Penulis berpendapat, kecil sekali kolerasinya dengan kualitas pengajaran untuk mahasiswa dibanding jika dosen tersebut lebih fokus pada penelitiannya terkait inovasi pembelajaran dan bahan ajar yang terus berkembang yang dibutuhkan para mahasisiwanya.
Aktifitas publikasi ilmiah pada jurnal level-level tertentu dalam meningkatkan jabatan fungsional dosen tidaklah sederhana. Bukan saja butuh waktu dan dana, tapi yang paling tak nyaman adalah menghadapi antrian untuk dipublikasikan. Seperti penantian yang memalukan eksistensi dosen sendiri. Bagaimana tidak malu jika ada satu kampus kecil sudah punya jurnal Sinta 2, lalu para dosen dari berbagai universitas antri di situ agar hasil penelitiannya di publish pada jurnal level tersebut. Jadinya terlihat seperti model transaksi semi pasar bebas. Anehnya lagi, kampus malah membeberi reward dana hingga 30 juta bagi dosen mereka yang bisa mempublikasikan karya mereka di jurnal papan atas. Padahal kalau pun karya dosen tersebut lolos dan dipublikasikan di jurnal papan atas, dana 30 juta itu tidaklah cukup untuk menggantikan waktu dan dana yang telah dikeluarkan terkait biaya publikasi ilmiah tersebut.
Ini juga yang menjadi problem dosen. Satu sisi hal tersebut menjadi kebutuhan kampus dengan berbagai argumen karena kondiri tuntutan kampus, satu diantaranya tuntutan memiliki Guru Besar agar kualitas kampus dan pengajarannya meningkat. Namun di sisi lain, media jurnal yang dimaksud amat terbatas sehingga mempersulit aktivitas dosen.
Maka, alangkah baiknya para pengajar lebih mengutamakan kualitas pengajaran dan lebih banyak mendorong proses pembentukan anak didik ke arah yang lebih berkualitas
*Dr. Ulil Amri Syafri, MA.
13 November 2021
Ada apa dengan Istilah ULAMA?
Saat ini
terkesan bahwa penyebutan istilah ulama direndahkan kualifikasinya. Demikian juga tentang keadaban ulama itu sendiri, seakan penyebutan dan penggunaan istilah ‘ulama’ semau
gue. Padahal tak semua orang-orang yang berada dalam proses tafaqquh
fi al-diin berakhir menjadi ulama. Bisa saja masih jadi tetap ‘calon ulama’ selamanya.
Artinya, biarlah
gelar ulama itu hanya diberikan oleh Sang Pencipta.
Ya, Ulama kelak di akhirat punya kedudukan istimewa. Maka berusaha jadi ulama oke, tapi ngaku-ngaku jadi ulama itu bukan adabnya ulama.
‘Alim,
‘Amil bi ilmihi, Mua’lim, dan Muhklis adalah
sedikit dari kompetensi dasar keulamaan dalam penjelasan KH. M. Hasyim Asy'ari rahimahullahu.
Dalam syair Arab yang disebutkan,
“Ilmu membawa kaum ke puncak kemuliaan, orang berlimu terjaga dari kerusakan, sedangkan
kebodohan menghancurkan
kemuliaan dan kehormatan.
لعلم بلغ قوما ذروة الشرف
وصاحب العلم محفوظ من التلف.. والجهل يهدم بيت العز و الشرف
تعلموا العلم
وكونوا من أهله . تعلموا العلم واعملوا به.
تعلموا العلم وعلمواه الناس
Pelajarilah ilmu dan jadilah ahlinya. Tuntutlah
ilmu dan beramalah dengan ilmu tersebut. Pelajarilah ilmu dan ajarkanlah kepada
manusia ilmu itu.
Tapi Ulama memang ada kualifikasinya dalam ajaran Islam, keagungan ilmu, dan kemuliaan pribadinya adalah bagiannya.
kini,—saking semangatnya— juga muncul istilah ‘ulama saintis’. Jangankan kualifikasi ulama yang benar, ditambah dengan ‘embel-embel’ saintis, maka bagai ‘pungguk merindukan bulan.’
01 November 2021
ORANG ACEH
Namun tetap tak kunjung berhasil. Masyarakat Aceh yang memiliki paham agama ahl Sunnah wal jamaah, berakidah al-Asyariah, berfikih madzhab Syafi’i dan berkembang tarekat-tarekat sufiyah, tumbuh menjadi masyarakat yang gigih teguh dan kokoh pendirian dalam menghadapi kolonial Belanda. Menghadapi situasi tersebut—atas saran penasehat ahli dari negaranya—Belanda kemudian berusaha merusak budaya masyarakatnya. Mereka mengutus Christian Snouck Hurgronje untuk menyamar ke pedalaman Aceh dan melakukan penelitian budaya dengan tujuan untuk menghancurkan nilai-nilai masyarakat Aceh.
Baca selengkapnya di buku 'Pendidikan Bukan-bukan' yang ditulis oleh Dr. Ulil Amri Syafri,Lc., MA
30 October 2021
PERSIS BANGIL
Tujuan awal dari ide pendirian pesantren A. Hassan adalah untuk menyediakan tenaga muballigh yang memiliki kompetensi penyiaran Islam, serta membela dan mempertahankan ajaran Islam di tengah masyarakat. Tentu saja apa yang digariskan ustadz A. Hassan itu sangat berkait dengan alam yang sedang dihadapai umat Islam ketika itu.
21 October 2021
Selamat Hari Santri Indonesia 2021- Resolusi Jihad dan KH. M. Hasyim Asy’ari.
![]() |
Pendidikan Bukan-Bukan |
09 October 2021
Surau Roboh, tapi Pesantren Kokoh, kenepa?
![]() |
#Pendidikan Bukan-bukan |
Sejak awal kemunculannya,
surau tak mudah terhempas oleh tekanan kolonial Belanda dan gaya sekolah
sekuler mereka. Namun, surau justru malah dihempaskan oleh gerakan perubahan dari
saudara sendiri, yaitu geliat modernisasi pendidikan Islam.
Namun demikian, apa
yang terjadi saat itu bisa dipahami karena memang kebijakan kolonial Belanda yang kurang menguntungkan
terhadap perkembangan pendidikan Islam di bumi Nusantara secara umum, dan di
Minangkabau secara khusus, walaupun gagasan dan gerakan pembaruan itu berdampak
besar pada peran dan fungsi surau yang bersifat kultural. Wallahu a’lam
baca selengkapnya di Pendidikan Bukan-Bukan, Dr. #UlilAmriSyafri,MA
Karismatik Sang Kiai Tak Lekang oleh Waktu
Dalam satu buku yang mengulas ketokohan Sang Kiai Hasyim Asy’ari, disebutkan oleh Muhammad Rifai, penulisnya, bahwa Sang Kiai merupakan seorang ‘pembaru’. Meski tidak dijelaskan secara spesifik, namun dapat dipahami bahwa makna ‘pembaru’ yang disematkan pada diri Sang Kiai adalah terkait hal pembaruan dalam pendidikan. Disebutkan dalam tulisan itu bahwa Sang Kiai telah membuat pembaruan dalam sistem pendidikan di Pesantren Tebu Ireng dengan memasukan ilmu-ilmu sekuler ke kurikulum pesantren.[1]
Pendapat itu mungkin tidak
memiliki tendensi buruk, bahwa Sang Kiai juga berpikiran maju dalam
mengelola dan mengembangkan lembaga pendidikan pesantren saat itu. Namun, jika
kita ikuti kultur dan budaya pembaruan yang umum berlaku di Nusantara sejak
awal abad ke-20, maka terasa kurang tepat bila beliau dianggap sebagai tokoh ‘pembaru’,
baik dalam gagasan sistem pendidikan, apalagi dalam pemikiran keislaman.
Setidaknya ada dua alasan
yang melatarbelakangi mengapa penyematan ‘pembaru’ itu terasa kurang tepat. Pertama,
sosok Sang Kiai adalah khadimun al-‘ilmi, satu julukan
yang beliau berikan sendiri pada dirinya saat menyelesaikan tulisannya.
Artinya, dapat dimaknai bahwa beliau sangat mencintai tradisi keilmuan dan
metodologi Islam dalam khazanah pengetahuan, khususnya yang bercorak klasik.
Hal ini telah dibuktikan dalam fase-fase perjalanan proses thalabul ilmi
Sang Kiai. Dalam persoalan fikih, akidah, dan tauhid, Sang Kiai
juga merupakan sosok yang istikamah dalam merujuk pendapat atau qaul
ulama-ulama sebelumnya. Oleh karena itu, penyebutan ‘pembaru’ kepada Sang
Kiai tidaklah cocok. Sebab, tradisi merujuk pada pendapat para ulama dan
imam mazhab bukanlah ciri yang dimiliki kalangan yang menyebut dirinya
sebagai tokoh ‘pembaru’.
Tokoh pembaruan biasanya
mengedepankan olah pikir, menggunakan logika pada persoalan agama, dan tidak
mengutamakan rujukan yang berasal dari pendapat para ulama klasik, meskipun
mereka berdalih menggunakan basis al-Qur’an dan Hadis juga.
07 October 2021
Amazing Natsir
Sekilas bisa saja orang akan menyamakan PENDIS dengan HIS Adabiyah Padang tempo dulu,
dimana Natsir pernah belajar dan menjadi
murid di sekolahan yang didirikan Syaikh Abdullah Ahmad itu. Namun seperti yang sudah penulis
jelaskan, ada perbedaan yang cukup signifikan diantara keduanya, serupa tapi tak sama.
Pun demikian
apa yang dilakukan Natsir dengan
PENDIS-nya ditahun 1932-1942 akan bisa diceritakan dengan lebih indah oleh
orang-orang yang ada di masanya.
Menurut penulis, masa
kecil seorang Natsir sama seperti seperti kebanyakan anak Indonesia saat itu,
miskin dan pas-pasan. Namun beliau terus tumbuh dan berkembang dengan semangat
juangnya. Qadarullah, beasiswa Belanda--meskipun diskriminatif—telah membawa
Natsir menjadi berbeda. Jalan hidupnya membawa warna tersendiri dalam rangkaian
kisah tempo dulu para tokoh negeri ini yang terlahir kaya dan berkecukupan. Misalnya
Sutan Syahrir kecil (1909-1966), Perdana Menteri Indonesia Pertama. Ia berasal
dari keluarga kaya, sekolah dasarnya saja di kelas lebih mahal dan bayar
sendiri, yaitu ELS, sekolah dasar untuk kelas anak-anak Eropa (Europeesche
lagere School) bukan di HIS, Hollandsch Inlandsche School (sekolah
dasar untuk anak pribumi berbahasa Belanda). Demikian pula sosok tokoh Ki Hajar
Dewantara (1889-1959). Karena ia anak dari bangsawan Jawa, maka ia berhak menempuh
pendidikan sekelas anak-anak Eropa dan bersekolah juga di ELS. Juga tokoh
Bahder Djohan (1902-1981) yang kelak menjadi menteri Pendidikan, Pengajaran,
dan Kebudayaan di era Kabinet Natsir. Seorang Bahder Djohan bisa bersekolah di HIS Padang karena
ia anak orang kaya dan ayahnya jaksa
terpandang di Sumatra Barat saat itu. Kesemua jalan hidup para tokoh ini tentunya amat berbeda dengan Natsir
yang bisa sekolah hingga AMS karena bergantung pada beasiswa karena prestasinya.
Natsir, meskipun sejak
kecil tumbuh dengan segala keterbatasan, memiliki kecerdasan akal dan ruhani. Sikapnya
kritis, peduli dengan penderitaan rakyat, dan memiliki nalarasasi yang baik,
sehingga dengan bekal tersebut membawa Natsir muda mengawali karir kemasyarakatannya
dengan berhidmat secara totalitas pada Pendidikan Islam yang dirancangnya.
Natsir memang bukan produk sistem
madrasah atau Diniyah School
masa itu. Juga bukan menempuh jalan santri seperti KH. Hasyim Asy’ari (1871-1847) yang usianya jauh diatas Natsir. Pendidikan agama
Natsir lebih banyak berupa pengajaran
sikap beragama dari pada teori-teori
ilmu agama. Namun demikian mulazamah beliau dengan Tuan Guru A.
Hassan turut mempengaruhi cara
pikir keagamaan dan cita-cita hidupnya,
termasuk rancang bangun
PENDIS.
Kegiatan kepemudaan
masa di AMS juga membuat Natsir muda bertemu banyak tokoh besar termasuk dengan
H. Agus Salim (1884-1954), H.O.S. Tjokroaminoto (1883-1934), dan lainnya. Hal ini
juga yang menjadi bagian dari proses pendidikan dan pengajaran yang didapatnya.
Artinya, pendidikan bagi Natsir tidak dihalangi oleh batas tembok dan dinding
sekolahan, tapi alam ciptaan-Nya juga bisa menjadi guru berharga, termasuk orang-orang
hebat yang ditemuinya.
Dengan berbagai
latar belakang yang dilalui seorang Natsir, PENDIS menjelma menjadi pendidikan
Islam yang punya kebaruan meski tidak berada dalam basis istilah tafaqquh fī
al-dīn. Ia tidak bisa dimasukan dalam klasifikasi model pendidikan Islam
masa itu. PENDIS bukanlah Diniyah School, bukan madrasah, bukan juga pesantren,
apalagi surau. Lalu?, yang jelas PENDIS bukan ‘pendidikan bukan-bukan’ Wallahu
a’lam
(baca selengkapnya Pendidikan Bukan-Bukan Dr. Ulil Amri Syafri, MA)
Ahmad Hassan Sang Inspirator dari Melayu
Pesantren PERSIS Bangil berdiri pasca era perubahan dan pergolakan pendidikan Islam di Nusantara, khususnya di tanah Minangkabau. Hasil pergolakan tersebut telah menghasilkan model pendidikan kombinasi dengan desain kurikulum kombinasi. Meskipun PERSIS Bangil dinamai pesantren, tapi kurikulumnya sudah mengunakan kurikulum madrasah sejak awal berdirinya, sehingga bisa disebut pesantren kombinasi. Desain kurikulum ini juga berwujud di pesantren Tebu Ireng (1933) setelah KH. Wahid Hasyim, putra dari KH. Hasyim Asy’ari kembali dari Makkah. Namun perubahan tersebut tetap menjaga implementasi model belajar pesantren salafiyah berbasis kultur klasik.
Dibanding pesantren
umumnya masa itu, pesantren ala A. Hassan ini memiliki ciri khas tersendiri
pada proses pembelajarannya. Model berpikir merdeka dalam pembelajarannya
menghasilkan proses riset mandiri yang melatih santri untuk melakukan
implementasi berbagai macam keilmuan, seperti bahasa Arab, kaidah fikih, usul
fikih, ilmu hadis, ilmu mantik, dan lainnya, menuju istimbath ahkam.
Tentu saja cara pembelajaran seperti ini tidaklah mudah karena memerlukan
nalarisasi dan sikap kritis yang tinggi, diikuti kecerdasan santri. Akan selalu
ada nilai positif dan negatifnya, akan selalu tampak kelebihan dan
kelemahannya.
Kelemahan yang
dimaksud adalah bahwa tidak semua santri punya kesiapan dengan pola belajar
seperti itu, sehingga outcome yang ada biasanya ‘jomplang’, antara
mereka yang cerdas plus disiplin dengan pribadi santri yang sebaliknya. Bagi santri
yang lulus tidak sesuai harapan, tentu saja tidak bisa hadir dalam masyarakat
dengan kemampuan riset dan nalarisasi yang berkembang. Mereka cenderung stag
seperti masa-masa nyantri dulu. Padahal konteks-konteks keagamaan yang terkait
hukum Islam terus berkembang, apalagi berkenaan dengan hukum muamalah.
Ke depan, ada
baiknya bila proses pengajaran yang unik dan luar biasa ala pesantren PERSIS
Bangil ini mempertimbangkan dua hal berikut, pertama memperkaya
bahan ajar dan obyek pembahasan yang bersifat komparasi pada sistem istimbath
ahkam. Ini bisa dilakukan pada metode istimbath ahkam imam-imam
fikih, khususnya imam mazhab yang empat. Hal ini bisa dilaksanakan di kelas
akhir untuk memperluas wawasan dan sikap santri, khususnya pada pemahaman tentang
metodologi hukum Islam. Kemudian dilakukan penataan secara disiplin pada
ilmu-ilmu alat: bahasa Arab, ilmu usul fikih, ilmu mantik. Setidaknya mulai tahun
ketiga atau keempat para santri sudah menguasai dan memahami ilmu-ilmu
tersebut, sehingga proses integrasi pembelajarannya bisa meminimalkan
hambatan-hambatan yang terkait penguasaan ilmu alat dan tentunya para santri
akan lebih menikmati proses pembelajarannya.
Kedua, karena metode dan proses pembelajaran tersebut sangat
unik, maka perlu juga setiap tahunnnya diadakan evaluasi secara menyeluruh. Bagi
santri yang kemampuannya di bawah standar, harus dicarikan solusi yang tepat terkait
proses pembelajarannya, tanpa terbebani oleh metode tersebut. Tentu
saja hal ini sebagai usaha assesment
menyeluruh agar para santri bisa berhasil dengan maksimal. Kemudian pada tahun keempat, para santri bisa saja diklasifikasikan menjadi 3-4 kelompok belajar setelah dievaluasi oleh pihak
pesantren. Sehingga
pada ujian akhir
tahun keenam berupa paper bisa lebih bervariasi dan sesuai minat para
santri. Ibaratnya, pohon
rambutan jangan dipaksa berbuah
mangga, tapi diupayakan bisa menghasilkan buah rambutan
yang berkualitas.
Kini, setelah puluhan tahun tetap eksis sebagai bagian dari ikon pendidikan Islam di
Indonesia, kebaruan apa saja yang bisa dihadirkan oleh pesantren ala Tuan Guru A. Hassan ke depan? Wallahu a’lam
(baca selengkapnya di Pendidikan Bukan-Bukan Dr. Ulil Amri Syafri, MA)
![]() |
Pendidikan Bukan-bukan |