Berbicara filsafat pendidikan itu menarik. Bukan karena mampu mengasah kecerdasan dan menajamkan nalar, tetapi juga karena mampu memberikan makna baru melalui pembacaan literasi yang luas. Pikiran manusia yang selalu terbuka pada kebaruan, bisa melengkapi perspektif yang ada. Karenanya, mengkaji filsafat pendidikan tidak berhenti pada mereproduksi teori lama, tetapi juga berpotensi melahirkan teori baru yang relevan dengan kebutuhan zaman.
![]() |
| #ulilamrisyafri |
Namun terdapat realitas yang patut direnungkan: teori pendidikan yang dikembangkan melalui kajian filsafat sering kali tidak mampu diwujudkan dalam dunia nyata pendidikan. Di tingkat praktik, pendidikan kerap melenceng dari landasan filosofisnya. Misalnya, secara ontologis pendidikan memandang manusia sebagai subjek dan objek pendidikan yang harus berkembang sebagai pribadi utuh. Praktik di lapangan, pendidikan sering kali menyempit menjadi alat produksi ekonomi. Peserta didik direduksi menjadi komoditas dan tenaga kerja, bukan insan beradab yang tumbuh menyeluruh. Di sinilah terjadi jurang (gap) atau paradoks yang menyedihkan: praktik pendidikan tidak selalu bersumber dari teori, dan teori tidak selalu lahir dari landasan filosofisnya.
Lalu untuk apa filsafat pendidikan Islam dipelajari jika kenyataannya ia sering diabaikan dalam praktik? Jawabannya tegas: karena justru filsafatlah yang bisa menjadi penentu arah dan penuntun rel pendidikan ketika sistem telah menyimpang dan kehilangan kendali. Tanpa filsafat, pendidikan menjadi autopilot yang berjalan tanpa visi dan tanpa ruh.
Secara esensial, Filsafat Pendidikan Islam memuat empat prinsip penting:
Pertama, filsafat Pendidikan Islam merupakan rangkaian gagasan yang menegaskan pencarian makna pendidikan sebagai jantung peradaban, dengan menggunakan keseimbangan seluruh potensi manusia: spiritual, intelektual, emosional, dan sosial.Kedua, filsafat Pendidikan IsIam merupakan dialog abadi antara akal manusia dan wahyu Ilahi, di mana nalar berperan mencari makna dan wahyu menjadi penuntun kebenaran dan arah yang benar.
Ketiga, filsafat Pendidikan Islam menyatukan iman, ilmu, amal, dan kemanusiaan dalam satu kesatuan peradaban. Tanpa filsafat, pendidikan dapat jatuh pada otoritarianisme keyakinan atau kekacauan makna, karena hanya mengandalkan tradisi tanpa pertimbangan rasional.
Keempat, filsafat Pendidikan Islam memiliki potensi besar untuk mengembalikan orientasi pendidikan kepada rel yang telah jauh melenceng. Ketika pendidikan kehilangan orientasi, filsafat hadir sebagai kompas untuk menemukan kembali arah yang benar.
Pada titik ini, kita harus jujur bahwa pendidikan hari ini sedang mengalami krisis arah: ia bergerak tanpa panduan nilai, terperangkap dalam logika pasar, dan kehilangan jati diri sebagai proyek peradaban. Pendidikan Islam pun turut terseret arus industrialisasi pendidikan dan pragmatisme akademik yang dangkal. Ia menghadapi krisis serius karena kehilangan kedalaman filosofis yang seharusnya menjadi fondasinya. Karena itu, filsafat pendidikan Islam menjadi kebutuhan mendesak untuk menegakkan kembali martabat pendidikan dan membangun peradaban yang beradab.
Realitasnya kini, banyak lembaga pendidikan Islam berteriak ingin melahirkan peradaban besar, namun justru terjebak pada romantisme slogan tanpa proses intelektual yang matang. Semangat menggebu-gebu tetapi rapuh di ruang rasionalitas. Guru dipuja dengan kata-kata manis tentang keikhlasan, namun diperlakukan seperti buruh murah yang diberi upah seadanya atas nama pahala dan surga—sebuah ironi tragis ketika 'profesi kenabian' direduksi menjadi tenaga kerja murah. Ketika menghadapi persoalan substantif, sebagian pendidikan Islam lebih memilih berlindung di balik kata “takdir” daripada bekerja dengan nalar yang tajam dan metodologi ilmiah yang bertanggung jawab. Akibatnya, pendidikan Islam sering tampil penuh emosi spiritual dan retorika heroik, tetapi miskin desain, miskin konsep, dan miskin keberanian menghadapi realitas dengan analisis mendalam.
Bagi saya pribadi, pendidikan Islam hari ini tampak lebih sibuk menyempurnakan penampilan simbolik daripada memerdekakan akal dan memuliakan martabat guru yang sesungguhnya adalah tiang peradaban. Jika kondisi ini terus dibiarkan, pendidikan Islam hanya akan menghasilkan generasi pintar berbicara tentang kejayaan masa silam, tetapi gagal membangun masa depan.
Kini saatnya pendidikan Islam berhenti menjual mimpi dan mulai bekerja dengan kesungguhan. Jangan lagi menutup kegagalan dengan slogan peradaban dan membungkus ketidakadilan dengan kata “ikhlas”. Jika benar kita ingin melahirkan generasi beradab, maka mulailah dengan memuliakan guru, menguatkan nalar, dan menghormati proses berpikir. Berhentilah berlindung di balik takdir ketika logika ditinggalkan. Kembalikan pendidikan Islam pada akal sehat, adab, dan kejujuran—sebelum terlambat, sebelum kita hanya menjadi pengagum sejarah tanpa mampu menciptakan masa depan.
Sudah cukup memuji guru. Saatnya memuliakan mereka bukan dengan sekedar kata-kata.





.jpeg)
0 komentar:
Post a Comment