Cluster Casablanca, Sentul City, Bogor - Jawa Barat - 16810 | Hotline: 0813-1112-5384 (Call/SMS/WA)

30 June 2017

Guruku Teladanku

Oleh : Dr. Ulil Amri Syafri

Di media sosial beredar ramai tulisan tentang pola pendidikan di negeri yang di sebut negara maju. Dikisahkan, bahwa seorang guru di Jepang pernah berkata, “Kami tidak terlalu khawatir anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai Matematika. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.” Mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang mereka kemukakan.  

Pertama, “kita hanya perlu melatih anak tiga bulan saja secara intensif untuk bisa Matematika, sementara kita perlu melatih anak hingga dua belas tahun atau lebih untuk bisa mengantri dan selalu ingat pelajaran di balik proses mengantri”. Kedua, karena tidak semua anak kelak menggunakan ilmu matematika kecuali Ilmu TAMBAH, KALI, KURANG DAN BAGI. Lagi pula Sebagian mereka anak jadi penari, atlet, musisi, pelukis, dsb. Ketiga, semua murid sekolah pasti lebih membutuhkan pelajaran Etika Moral dan ilmu berbagi dengan orang lain saat dewasa kelak.

Apa yang menjadi perhatian dunia pendidikan tingkat dasar di negeri tersebut bisa menjadi hal baru atau aneh bagi dunia pendidikan dasar di negeri lain. Sebut saja di Indonesia, meskipun tidak bisa digeneralisasi, tapi setidaknya apa yang berkembang pada masyarakat dan terjadi dalam pergaulan anak di masyarakat bisa memperlihatkan andil dunia pendidikan dalam pembentukan karakter anak-anak.

Fakta yang kerap terjadi di masyarakat kita sebagai berikut; Banyak anak-anak karena tidak sabar mengantri lalu biasa menyusup ke depannya dengan mengambil hak anak lain dalam barisannya. Lebih konyol lagi, hal ini dibiarkan oleh orang tuanya, bahkan tidak sedikit orang tua yang senang melihat pelangaran tersebut. Mereka malah memarahi anaknya bila enggan untuk menyusup ke dalam antrian di depan dengan kata-kata ‘penakut’ kata-kata ‘tidak gagah’ dan sebagainya. Singkatnya, budaya antri yang tertib ternyata tidak saja menjadi masalah anak-anak Indonesia, bahkan masalah ini juga bermula dari kedua orangtuanya sebagai pendidik dan tauladan anak-anak tersebut.

Dari kasus kecil di atas yang berdampak besar, yaitu tentang pendidikan kedisiplinan atau etika melalui budaya antrian, maka dapat terlihat orientasi pendidikan suatu bangsa. Pada kenyataannya, ada lembaga pendidikan yang amat memperhatikan pembangunan karakter anak didiknya. Tapi sangat banyak sekolah seakan tidak terlalu peduli dengan hal semacam itu. Anak-anak menurut mereka cukup menjadi pintar dan berprestasi dalam akademik.  Bahkan guru-guru akan bangga bila anak didiknya lulus dan diterima pada sekolahan favorit, meskipun karakter dan etika anak didik tersebut nol besar.

Sesungguhnya orientasi pendidikan adalah pilihan. Dan itu adalah pilihan yang mudah, bukan pilihan yang berat, apalagi beresiko. Pilihan yang membuat setiap orangtua akan menjadi bahagia dan semakin percaya kepada lembaga pendidikan.

Menurut Ahmad Tafsir, ‘inti (core) pendidikan adalah ahklak mulia’. Lebih lanjut dikatakannya, bahwa pembinaan akal dan keterampilan itu sangat gampang bila anak didik berakhlak mulia. Dan orang yang tidak berakhlak mulia adalah orang yang gagal menjadi manusia. Dengan demikian, lembaga pendidikan yang mengutamakan kepintaran saja tanpa memprioritaskan pembinaan mental, etika, atau akhlak mulia bisa dikatakan bahwa lembaga itu turut bertangungjawab membuat anak didiknya gagal menjadi manusia.  Akhirnya, sekolah yang tidak memberi perhatian lebih pada aspek etika dan akhlak Mulia, tentu dalam perkembangannya tidak akan mendapat kepercayaan maksimal dari masyarakat, apapun status sekolahnya. Baik itu sekolah negeri ataupun swasta, mahal maupun murah, demikian pula pada lembaga pendidikan ber-beasiswa ataupun non-beasiswa.

Banyak variabel yang harus diperhitungkan jika berbicara tentang lembaga pendidikan agar mampu mengantarkan perkembangan anak didiknya kepada tingkat yang sempurna sebagai manusia. Baik dari sisi manajemen, proses pendidikannya, kurikulum, dan lain sebagainya. Namun demikian, ada topik utama dan sangat penting yang harus dibicarakan, yaitu bicara tentang guru atau kualitas guru.

Guru adalah asset dan icon terpenting dalam proses pendidikan, atau jika bisa dikatakan sebagai ‘modal’ termahal dalam kegiatan pendidikan. Bila suatu lembaga pendidikan tidak menempatkan guru demikian, maka lembaga pendidikan tersebut sebenarnya tidak bicara pendidikan yang sesungguhnya. Sebab sehebat apapun konsep pendidikan yang dimiliki suatu lembaga, bila tidak didukung Guru yang sesuai, maka konsep hebat tidak ada artinya dalam proses pendidikan yang berjalan.

Guru adalah laksana motor, penggerak dari sebuah perangkat mesin besar. Guru bagaikan energi yang menjadikan suatu program bisa hidup dan berkembang. Guru adalah ruh dari sebuah tempat pendidikan. Guru adalah cahaya. Dalam Islam, tugas guru setingkat di bawah tugas kenabian. Guru merupakan pewaris tradisi kerja nabi dan rasul  karena guru itu harus mengajar, mendidik, membina dan memberi tauladan. Pada diri gurulah sebagian ilmu dan pengetahuan itu tersimpan. Maka dalam filsafat Islam disebutkan, bahwa meninggalnya seorang berilmu mendalam berarti hilangnya segudang ilmu yang sulit tergantikan. Tingginya kedudukan guru dalam perspektif Islam merupakan realitas dari ajaran Islam tersebut. Tentunya pemahaman ini menempatkan Islam sebagai ajaran yang juga sangat memuliakan ilmu pengetahuan dan sangat menghargai kegiatan pendidikan.

Di negeri kita Indonesia, guru disebut bagai pelita dalam kegelapan, pahlawan tanpa jasa. Pujian terhadap guru terungkap indah dalam bait bait lagu yang berjudul ‘Guruku Tersayang’. Lagu yang diunggah di youtube tersebut sudah dinikmati puluhan juta putra-putri Indonesia. Bahkan negeri tetangga pun menyukai lagu tersebut. Lagu yang ditulis Melly Goeslaw tersebut melukiskan kedudukan dan kecintaan terhadap guru yang diungkapkan lewat ucapan terima kasih yang mendalam. Dikatakan, tanpamu guru apa jadinya aku, tak bisa baca tulis dan mengerti banyak hal, terima kasih guruku. Demikian pula pada bait-bait lagu yang lain, semisal Hymne guru dan Terima Kasih Guru.

Dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia, guru di tempatkan pada tempat yang terhormat. Para pelajar mencium tangan dan mengucapkan salam, menunduk dan tenang saat berhadapan, santun dan lembut saat berbicara pada gurunya. Tradisi ini menurut Ahmad Tafsir tidak membangun hubungan antara anak didik dan guru dalam untung dan rugi, tapi disana ada hubungan keagamaan yang disebutnya nilai Kelangitan. Lebih lanjut kata Ahmad Tafsir, hubungan guru dan anak didik amat berbeda dengan yang yang berlaku di dunia Barat.

Di Barat, hubungan antara guru dan anak didik tidak ada nilai Kelangitannya, hanya seperti hubungan antara orang yang lebih banyak pengetahuan dengan anak didik yang membutuhkan dan sedikit ilmu pengetahuannya. Hubungannya juga seperti pemberi dan penerima, bahkan terkadang sampai pada tingkat pemberi jasa dan pembayar jasa. Maka hitungan dan akad ekonominya sangat menonjol. Hal ini tentunya sangat kering dari nilai Kelangitan. Maka, cara pandang dalam membangun hubungan sebuah proses pendidikan terhadap guru dan posisi guru itu sendiri sangat berpengaruh dalam proses implementasi pendidikan, yang tentunya juga mempengaruhi hasil didikannya.

Saat semakin baik cara pandang lembaga dan stake holder lembaga pendidikan terhadap guru, kualitas guru, dan eksitensinya, maka hal itu merupakan upaya meningkatkan mutu pendidikan dan prosesnya. Demikian pula sebaliknya, bila rendah dan buruk cara pandang kepada guru, tentu berimbas pada rendahnya kualitas proses pendidikan.

Selain itu, paradigma guru dan orang tua dari anak didik pun perlu pembenahan, khususnya tentang ‘bentuk hubungan’ yang dijelaskan di atas. Begitu juga dengan arti pendidikan, jangan hanya dipersempit pada makna pengajaran saja. Tapi pendidikan harus dimaknai luas melalui keteladanan oleh guru, bimbingan, dan pembinaannya sehingga pengajaran dan pembinaan menjadi satu dari proses yang dilakukan oleh guru dan tidak terpisah. Maka pada akhirnya, keteladanan guru menjadi hal yang amat penting, khususnya ketika menanamkan nilai-nilai kebaikan. Sebab, tanpa ada keteladanan maka tidaklah ada artinya pendidikan akhlak mulia bagi anak didik.

Juga tentang makna ‘tugas guru’. Setiap guru—apapun materi yang diampu—harus merasa gundah dan risau serta memiliki tangung jawab bila ada adab dan etika anak didik yang belum sempurna, sehingga setiap guru dapat memberikan perhatiannya. Demikian halnya pada setiap orang tua. Sebagai guru pertama, orang tua tidak bisa berlepas diri 100% dengan telah perginya anak ke sekolah. Sebab sekolah sifatnya adalah membantu pendidikan anak-anak. Maka dalam hal akhlak mulia, setiap orang tua masih memikul beban yang sama berat. Tentunya beban berat pendidikan akhlak tersebut masih bisa dilakukan melalui cara nasehat, memberi semangat, memberi reward and punishment, dan juga melalui keteladanan di lingkungan keluarga.

Maka, terkait dengan budaya antri yang lebih diutamakan dari pada pelajaran matematika pada kasus guru di Jepang tersebut, tentunya sudah bisa dipahami bahwa pembangunan karakter pada anak didik sangat membutuhkan pendekaatan pembiasaan dan keteladanan langsung secara terus-menerus. Siapa pun dia, guru atau orang tua, keduanya dapat banyak memberi pengaruh positif kepada anak didik.

Mengharapkan anak didik memiliki karakter, adab, maupun akhlak mulia tanpa membicarakan siapa dan bagaimana gurunya, maka sampai kapan pun harapan itu hanyalah mimpi. Konsep tentu penting, tapi membahas implementasi konsep jauh lebih penting. Dalam proses pendidikan, sebaik dan sehebat apapun konsepnya jika tidak serius membicarakan guru-guru yang menjadi bagian penting dalam proses tersebut, maka upaya itu masih sebatas gagasan. Sedangkan kompetensi lulusan ataupun hasil pendidikan sangat berkaitan dengan praktek di lapangannya. Oleh karena itu, penanaman nilai pada anak didik menjadi sejalan dengan slogan ‘guruku teladanku’.

1 komentar: