Dalam suasana kuliah bersama mahasiswa program Magister Pendidikan Islam beberapa tahun ini, penulis sering mendiskusikan persoalan pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Tak jarang diskusi akan menjadi hangat dan ‘panas’ saat menyingkap sejarah pendidikan Islam yang pernah menggeliat di bumi Nusantara. Pertanyaan mahasiswa terkadang nyeleneh—penulis sangat suka dengan model pertanyaan ini—pun ada yang kritis. Salah satu pertanyaan menarik dari salah satu mahasiswa yang penulis suka seperti, “Apakah dengan modal sejarah pendidikan Islam yang pernah ada di Nusantara bisa ‘mengangkat’ Pendidikan nasional dan pendidikan Islam secara khusus pada masa ke depan?” Begitulah kira-kira.
Jika boleh diibaratkan, pendidikan Islam di Indonesia
saat ini laksana kereta yang sudah berjalan di lintasan waktu yang panjang, melewati
alam yang sejuk, panas, dingin,
terik, melintasi lembah yang
terjal, hutan rimba yang gelap gulita, serta berbagai kondisi lainnya, sebagai
tempaan jejak
jalan Pendidikan Islam di Nusantara. Kondisi ini setidaknya bisa menjadi kilatan potret
bagi generasi berikutnya, meskipun jepretan masa lalu tak setajam penglihatan masa kini. Artinya,
meski jejak dan perjuangan pendidikan masa lampau tak bisa terbaca secara jelas
dan tepat oleh generasi saat ini, namun tetap dapat diamati dan dicermati.
Pendidikan memang persoalan yang amat luas dan pelik.
Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat muslim, beruntung memiliki sejarah
yang meski
samar masih bisa dibaca, khususnya
sejak tahun 1900. Paling tidak, hasil bacaan itu bisa menjadi input dalam memetakan pendidikan di
Indonesia. Meskipun kita juga paham
tidak semua masa depan bisa diselesaikan dengan cara-cara lama, termasuk agenda pendidikan. Pendidikan dan pengajaran adalah sesuatu yang
hidup, terus bernafas dan berjalan, meski paradenya menuju ke depan, bukan ke
belakang.
Salah
satu pembahasan yang ada dalam buku ini adalah tentang madrasah. Madrasah
muncul—bisa dikatakan begitu—ketika kedigdayaan surau mulai pudar sebagai pusat
pendidikan Islam tempoe doeloe. Awal mula sistem dan kelembagaan
madrasah dengan pola klasikal muncul dari ide dan gagasan Syaikh Abdullah Ahmad
dan kawan-kawan. Meskipun misi kehadiran surau dan madrasah berangkat dari
kesadaran akan pentingnya pendidikan Islam bagi masyarakat, namun tetap saja
madrasah memiliki orientasi berbeda. Hal ini dilihat dari desain kurikulumnya
yang telah dikombinasikan dengan keilmuan pengetahuan umum. Berbeda dengan
surau yang pure mengajarkan ilmu-ilmu
agama.
Kini, setelah
berjalan satu abad lebih, madrasah tetap seperti dahulu, masih dideskripsikan pada
satu model saja, yaitu pendidikan keagamaan. Para pengelolanya memfokuskan
hanya pada ilmu-ilmu agama dan turunannya, dengan mengikutkan
perubahan-perubahan yang tidak terlalu signifikan. Hal ini sebenarnya bertolak
belakang dengan teori desain kurikulum dan model pembelajaran yang menekankan
pada perubahan inovasi dan rekayasa sesuai perkembangan jaman, sekaligus
kebutuhan minat anak didik sepanjang masanya. Sebab perubahan adalah unsur
kemajuan, tanpa mau berubah dan mengubah, bisa jadi benih-benih kemunduran
telah masuk di dunia pendidikan.
Istilah
madrasah itu sendiri muncul karena merujuk pada kecerdasan berpikir para tokoh
muslim memasuki era pergerakan kemerdekaan Indonesia masa lampau. Saat itu, muncul
dua gerakan yang tidak dapat dipisahkan namun tidak mudah pula disatukan.
Pendidikan Keagamaan dan Pendidikan Nasional. Di awal kemerdekaan, dua istilah
ini cukup menguras pikiran.
Dari
sudut pandang pendidikan keagamaan, penyebutan agama akan selalu terhubung
dengan sistem pendidikannya. Misalnya, Pendidikan Kristen lahir dalam bentuk
sekolah-sekolah untuk mereka yang beragama Kristen. Demikian pula untuk agama
lainnya di Indonesia. Dalam masyarakat muslim, istilah yang secara masif
digunakan untuk merujuk pada sekolah Islam itu adalah madrasah, meskipun
sebenarnya dalam Islam sendiri memiliki varian pendidikan yang amat bervariasi.
Jika kita telusuri pada Islam masa silam, kelembagaan pendidikan amatlah
banyak. Sebut saja ada yang model rumah pendidikan—dan ini amat tertua—yaitu Bait al-Arqam era Nubuwwah. Kemudian terus berkembang dengan model masjid, kuttab,
istana, pustaka, bahkan model rumah ulama—homeschooling
dalam istilah saat ini. Ada juga dalam bentuk-bentuk majlis,
sanggar-sanggar sesusatraan, ribath
tempat latihan jiwa, zawiyah, bahkan
tempat observasi di pasar, dan juga rihlah
ilmiyah dalam bentuk mulazamah yang telah melembaga dan
melahirkan imam-imam besar yang faqih
pada bidang keilmuan Islam.
Dari
kesemua itu bisa disimpulkan bahwa esensi pendidikan Islam bukan terletak pada
bentuk dan namanya, tapi pada NILAINYA. Penyematan kata ‘Islam’ pada lembaga
dan pendidikan itu sendiri bukan sekedar aksesoris. Ketika pendidikan Islam
hanya dimaknai dari satu sudut nama saja, atau lebih suka copy paste konsep
terdahulu, maka esensi pendidikan berbasis falsafah Islam akan hilang dan tak
akan berkembang pada model-model yang dibutuhkan jaman. Tentu hal ini tak
menguntungkan peradaban dan kebaruan pendidikan Islam yang terus hidup dan
bertumbuh.
Di Nusantara
sendiri pendidikan Islam menjelma dalam bentuk pesantren di tanah Jawa, Surau
di tanah Minangkabau Sumatra, Meunasah, Dayah, Rangkang di Aceh, dan penyebutan
lainnya sesuai dengan kilas sejarahnya di masing-masing daerah. Lembaga ini
biasa dinisbatkan kepada tempat atau lokasi, semisal Surau Ulakan Syaikh
Burhanuddin dan Surau Jembatan Besi. Demikian pula Pesantren, ada yang dinisbahkan
kepada nama kiainya, atau tempat pesantren itu berdiri, juga ada dengan
nama-nama berbahasa arab. Bahkan di beberapa wilayah kerajaan Islam Nusantara, tradisi
pendidikan masa lampau masih membudaya bagi masyarakat di sana hingga kini.
Lalu,
bagaimana gambaran madrasah masa kini? (Bersambung)
0 komentar:
Post a Comment